Halaman

Rabu, 09 Oktober 2013

Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta

Oleh: Seno Gumira Ajidarma

Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.

“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”

Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.

“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”

Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.

“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”

Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.

“Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.”

Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.

“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.

Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.

“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”

“Terlalu!”

“Sudah setengah jam.”

“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”

“Berapa lama lagi dia selesai?”

“Ini sudah setengah jam.”

“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”

“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”

“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”

“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”

***

Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.

“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”

Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.

“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”

Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan.

Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.

Pemandangan ini agak melegakan para pengantri. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.

“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”

Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.

“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”

“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”

“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”

“Masih cintakah kamu pada istrimu?”

***

Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.

“Masih cintakah kamu pada istrimu?”

Meluncur lagi satu koin.

“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.

“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”

Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.

“Sebentar, sebentar.”

Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.

“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentar saja.”

Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.

“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”

Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.

Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.

“Kamu masih tidur dengan dia?”

Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.

“Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”

Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.

“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”

Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.

“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”

Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?

“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”

Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?

“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”

Jeglek! Tuuuuuuttt…

Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.

Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantri yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.

Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.


Post Scriptum: Cerpen ini saya tulis ulang dari kumpulan cerpen SGA bertajuk 'Sebuah Pertanyaan untuk Cinta' (Gramedia, 1996). Cerpen ini sebelumnya di harian Kompas, 28 Maret 1993. Selain itu, cerita romantis tentang narasi cinta di tengah hiruk pikuk kota dan komunikasi urban awal 90-an ini pernah difilmkan dengan gabungan dari tiga cerpen bersama Putu Wijaya, dibuat oleh Enison Sinaro.

4 komentar:

  1. http://taipanqqgood.blogspot.co.id/2018/04/5-alasan-cinta-cenderung-hilang-setelah.html

    Taipanbiru
    QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus
  2. Selamat siang, untuk pecinta film apalagi dengan drama korea, kini hadir aplikasi untuk smartphone menonton film drama korea dengan mudah, MYDRAKOR sangat mudah digunakan tinggal download di GooglePlay gratis. MYDRAKOR

    https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in

    https://www.inflixer.com/

    BalasHapus
  3. Gilaaa, cerpen macam apa ini? Bisa-bisanya hatiku tertegun karenanya. HEBAAT. 👍👏🎉

    BalasHapus