Halaman

Selasa, 14 Oktober 2014

Tiga Puluh


Beberapa hari ini saya terkaget, ternyata salah satu kawan akrab saya sudah berumur tiga puluh tahun. Angka ini bukanlah deretan angka semata, lebih dari itu, konon angka itu merupakan peralihan menuju dewasa dan tentu saja pernikahan.

Alih-alih membicarakan pernikahan, yang terbersit di otak saya tentu saja adalah kesepian. Betapa tidak, jika kawan saya itu pasti menikah, saya harus bersiap untuk kehilangan dirinya. Sebab pastinya sudah memiliki istri, dan bakal hidup dengan pelbagai deret tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai suami.

Sedangkan saya, harus siap sendiri.

Lain halnya dengan kawan akrab saya yang lain. Ia pemuda betawi dengan intelektualitas yang sukar saya tandingi; agama, filsafat, sastra dan tentu saja terjemahan. Saya juga pernah menuliskan sedikit biografinya yang menurut saya mirip dengan apa yang diperbincangkan Gus Dur tentang tipe kiai kampung.

Tapi entah kenapa, saya merasa ia agak aneh belakangan ini. Usut punya usut, ia habis lamaran dengan seorang gadis. Bahkan konon orang tua sudah saling bertemu dan bersepakat tentang hubungan mereka.

Tentu saja saya terkaget dan agak terbelalak mendapat info itu. Apalagi ia cukup dekat dengan saya sejak dulu, khususnya kala berhubungan dengan kekasihnya yang terdahulu dan  obrolan tentang sastra.

Walaupun begitu, saya tetap bergembira. Ternyata kawan saya ini sudah bisa menyintas dari masa lalunya yang menyedihkan bersama kekasihnya dulu dan membuanya tampak suram.

Namun sejenak kemudian saya berpikir bahwa saya akan kehilangan salah satu kawan terbaik saya lagi.

Beda halnya dengan kawan saya satu lagi, ia adalah pemuda pilih tanding, seorang marxis sejati dan penata arsip yang paling baik di antara kami. Umurnya kira-kira akan mendekati tiga puluh tahun.

Kawan saya satu ini memang istimewa, jika banyak orang atau aktivis mendaku diri sebagai kiri, tapi di satu sisi kehidupannya masih borjuis dan cenderung menerima keadaan, maka rumus itu tidak ada dalam dirinya. Bahkan ia kerap menjulukinya dengan marxis yang kekanak-kanakan. Sebab seorang marxis tidak akan mendaku diri sebagai marxis, cukup dengan bekerja dan integritas. Begitulah.

Hampir dua tahun ini kawan saya ini menjalin hubungan dengan seorang gadis, ia merupakan seorang yang enerjik, cerdas dan menyukai sepakbola. Ia juga yang membuat kawan saya ini akhirnya untuk pertama kali menonton sepakbola di stadion.

Hubungan mereka laksana mendung dan hujan, sukar dipisahkan dan akan selalu bersama. Orang tua mereka pun sudah mengiyakan untuk saling mengikat janji ke pelaminan. Tapi sayangnya, kawan saya ini terganjal dengan kampusnya dan baru bisa lulus tahun depan.

“Jadi, kapan kamu menikah?” tanya salah seorang kawan di sebuah malam,

“Tahun depan,” ujarnya santai.

Saya bergembira dengan jawaban ini. Kawan saya bakal menikah. Dan, ah, kenapa saya merasa akan kehilangan salah satu kawan lagi.

Satu orang lagi, tentu saja dia adalah seorang kawan yang sudah menjalin cinta sejak jaman SMA. Pemuda ini merupakan seorang penulis paling produktif di antara kawan-kawan yang saya kenal, saat ini ia sedang menempuh jenjang master sembari menunggu kekasihnya merampungkan studi master juga.

Saya yakin, tinggal waktu yang akan membuatnya pergi meninggalkan kota ini dan menaiki kereta kencana bersama kekasih yang ia cinta itu. “Sudah diperkenalkan kok, Bung, tinggal selesai, lalu nikah. Itu saja,” tuturnya suatu waktu.

Betapa girangnya hati saya mendengar itu. Satu lagi kawan saya bakal menikah dan tentu saja umurnya masih sangat muda dan dibawah umur saya. Bahkan belum mencapai usia peralihan tiga puluh yang menakutkan itu.

Tapi entah kenapa, saya merasa saya bakal lebih sepi lagi.

Sebab ada satu orang kawan yang sejak saya mula menempuh studi sudah menjadi kawan sepenanggungan. Baik dalam tangis, duka maupun kecewa. Umurnya memang hampir menginjak tiga puluh, dan ia sudah bilang tidak akan lagi mencari pacar. Ia akan mencari istri—walaupun untuk itu ia beberapa kali gagal.

Kami pun baru satu bulan belakangan ini pindah kontrakan. Saya gembira sebab ia sudah hampir purna dalam studi dan konon sedang menjalin hubungan serius dengan seorang permpuan. Dan ia nanti akan sangat sibuk, baik dengan pekerjaan ataupun dengan istrinya.

Dan entah kenapa untuk satu hal ini, saya merasa bakal begitu kesepian. Saya merasa bakal berjalan menjalani belukar dengan kaki saya sendiri, mencecap kopi sendirian, baca buku sendirian dan akan menjalani kehidupan dengna penuh kesendirian.

Ya, saya gembira sebab mereka ini, kawan-kawanku ini, bakal menemukan jalan hidupnya sebagaimana orang normal lainnya. Mungkin juga kala mereka saya ajak untuk sekadar ngobrol, mereka akan menawarkan rumahnya untuk dikunjungi. Atau mereka tidak akan bisa lagi saya ajak berbincang hingga larut malam. Ada istri yang menunggu, mungkin ia mereka akan menjawab demikian. Saya hanya bisa memakluki.

Lalu, kamu kapan?

Ah, saya memang tidak berpikiran ke situ.
Dahulu memang saya sempat berpikiran hal serupa, umur tiga puluh adalah patokan. Dalam hal apapun; ekonomi, hidup, percintaan dan segalanya. Tapi itu dulu.

Sekarang ini saya justru menanggapinya dengan berbeda. Bagi saya, sebuah hubungan bukan kontrak. Jika jatuh cinta, ya jatuh cinta saja. jika ingin tinggal bersama, ya silakan tinggal bersama. Jika diperlukan untuk mengikatnya menjadi sebuah hubungan legal-formal berupa pernikahan, ya silakan dengan pelbagai konsekwensi antar keduanya.

Seorang kawan menyebutnya dengan istilah posmo. Bahkan ketika saya sempat berdebat dengannya perihal lembaga pernikahan ia menyebut saya sebagai generasi posmo yang terpengaruh dengan bacaaan yang eksistensialis. Ia tertawa, saya pun serupa.

Tapi ini penting, saya tetap berpikir  bahwa jalan utama menuju cinta memang pernikahan. Itu jalan utama. Pastinya ada jalan lain, bukan? Yang mungkin jalan itu bisa berbelok, penuh kerikil, bahkan harus melewati sungai. Tentu tujuannya sama; bahagia.
Lalu jika tujuannya sama, apakah salah jika memilih jalan lain yang mungkin lebih menantang dan menuntut ketahanan yang lebih tinggi. Ah, saya terlalu serius, mungkin saya kurang pikinik :p

Kembali ke soal tiga puluh itu.

Saya harusnya turut bergembira dengan pilihan yang diambil oleh kawan-kawan saya tadi. Ya, saya memang bahagia. Sangat malahan.

Pada akhirnya, betul kata Chairil, Nasib adalah kesunyian masing-masing. Dan aku mungkin akan terus di jalan sunyi itu, seperti halnya Zainudin dalam Van Der Wijk yang tidak bisa memilih atas jalan yang ia lalui itu, atau bahkan seperti Jean Viljean seperti yang dituturkan Victor Hugo dalam Les Miserables.

Menjadi tua itu bukan pilihan yang harus dirayakan, bahkan sekadar mengajak untuk menikmati secangkir kopi di tengah malam yang dingin penuh obrolan pun sebaiknya tak tak perlu dilakukan.

Ah, ada-ada saja saya ini.

Ciputat, 13 Ramadan

4 komentar:

  1. haaaaaaaaaaaa... gueeee juga habis bahas pernikahan, sebab gueeeeeee juga sedikit tidak mengamini soal lembaga pernikahan. kalau mau tinggal bersama ya bersama saja, gitu! :))))

    tapi yah, kadang gue juga merasa seperti lu lah. merasa sepi. jadi, kapan ngopi deh?! :))

    BalasHapus
  2. Ayok, kapan aja. Ah kau sibuk nian.

    BalasHapus
  3. Jean Valjean*
    Les Miserables*
    Kau salah mengetiknya, Mas Dedik, kau kan editor.

    BalasHapus
  4. Terima kasih, Prastica. Ini tulisan lawas saya, lawas sekali di blog lama dan kebetulan hari itu--tahun 2014--mereka yang saya tulis di sini menikah. Hahaha.

    Sekali lagi, terima kasih mengingatkan saya melihat kembali catatan lawas ini.

    Salam,

    dp

    BalasHapus