Halaman

Rabu, 28 Mei 2014

Sayembara Menulis Humor: "Kencan Pertama yang Memalukan"

Kencan pertama tentu sangat menyenangkan, tapi di satu sisi acapkali menggelikan. Setiap orang, tentu saja pernah memilikinya--kecuali ia benar-benar cupu atau memang pemalu pada taraf yang akut, atau bisa jadi ia adalah alim yang unyu, atau apalah. 

Tentunya, kamu memiliki cerita yang demikian, seperti saya, atau kawan-kawanmu yang lain. Akan sangat menarik kiranya jika kamu mampu menceritakan dengan gaya yang lucu. Karena, tiap kencan terkadang menggelikan. Bukankah, menceritakan dengan orang lain akan membuatmu banyak kawan? Silakan ikuti sayembara yang digelar oleh Moka Media ini. Tentu, kami akan sangat senang dan menjadi kawan hangat dalam setiap kisahmu nanti.  


Mark Twain, raksasa kesusastraan Amerika Serikat sekaligus orang paling jenaka pada masanya, mengatakan bahwasanya berkah terbesar yang dipunyai umat manusia adalah humor. Mohandas Karamchand Gandhi, orang kudus yang sepintas lalu tampak terlampau kudus bagi kesenangan duniawi seperti tawa, bahkan berkata: “Seandainya tidak memiliki selera humor, tentu sudah lama saya bunuh diri.”

Demikianlah, humor, bagi sebagian orang, bukan semata pelepas penat. Ia tak sekadar melipur rasa bosan, letih akibat kerja, atau duka mendalam karena putus-cinta. Ia adalah berkah terbesar umat manusia. Moliere, Charlie Chaplin, Voltaire, Buster Keaton, Mark Twain, Gabriel Garcia Marquez, Groucho Marx, Mahbub Djunaidi, Kurt Vonnegut, Woody Allen.

Kita ingat nama-nama pembawa berkah tersebut. Sebagian di antara mereka, seperti Voltaire dan Chaplin, tak pernah kehabisan cara untuk menertawakan masyarakat, gagasan-gagasan besar, serta sejarah. Sementara Woody Allen, misalnya, dikenal terutama karena kelihaiannya mengolok-olok diri sendiri. Dari jenis yang pertama maupun yang belakangan, mereka adalah orang-orang yang bukan hanya perlu dikenang dengan mesra, tapi juga diteruskan kerjanya.

Sadar akan pentingnya hal tersebut, Moka Media ingin berkontribusi dengan cara menyelenggarakan sayembara menulis bertema “Kencan Pertama yang Memalukan”.

Kita boleh berharap, lewat sayembara tersebut penulis-penulis baru yang cerdas dan jenaka akan bermunculan di Indonesia bagai gurame dan nila dan lele muncul di permukaan tambak yang ditaburi pelet.

Berikut ini ketentuan-ketentuan teknis sayembara tersebut:

Naskah yang ditulis adalah kisah nyata.
Panjang tulisan berkisar antara 6.000 hingga 10.000 karakter, diketik dalam program MS Word, format *doc atau *docx. Kirimkan ke email: sayembara.moka@gmail.com, subjek: "Kencan Pertama"

Biodata dan nomor rekening penulis mohon dicantumkan di akhir file naskah.
Satu orang penulis maksimal mengirimkan dua naskah.

Batas terakhir pengiriman naskah adalah hari Selasa, 3 Juni 2014.

Kami akan memilih satu pemenang dan sembilan unggulan dan mengumumkannya pada hari Selasa, 10 Juni 2014 di www.mokamedia.net. Kesepuluh naskah tersebut kemudian akan diterbitkan oleh Moka Media dalam bentuk bunga-rampai (antologi).

Pemenang berhak atas hadiah sebesar Rp2.500.000,- dan paket buku Moka Media

Setiap pemenang unggulan berhak atas honor pemuatan sebesar Rp 500.000,- dan paket buku Moka Media.

Lebih lanjut info ini, silakan kunjungi website Moka Media.

Sabtu, 24 Mei 2014

Berbincang dengan Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma. Penyandang nama Jawa ini lahir di Boston, Amerika Serikat 19 Juni 1958. Ia memiliki tinggi badan di atas rata-rata orang Indonesia, perutnya sedikit buncit. Rambut gondrongnya mulai dipenuhi uban. Dari dulu sampai sekarang, jambang dan kumisnya tebal. Sorot matanya tajam, tapi terkesan cuwek. Tapi bukan ciri-ciri fisik yang membuat laki-laki anak Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo itu diperhitungkan di dunia kepenulisan, melainkan karya-karyanya.

Karya Seno bukan sekadar banyak dan menyentuh pelbagai ragam jenis tulisan, tapi juga selalu baru dan kreatif, dan oleh karena itu penerbit mencetak ulang karyanya, masyarakat mencarinya, mendiskusikannya serta menghargainya.

Seno menerima wawancara tiga kru Surah di mobil Avansa hitam yang joknya masih dibalut plastik. Seno nyupir sendiri, Dedik Priyanto duduk di sampingnya. Sementara Zakki Zulhazmi, M Sabqi, dan Hamzah Sahal, duduk di jok tengah. Bagian belakang mobil tampak penuh. Ada tas ransel, buku-buku, satu set CD Robert Johnson berjudul The Complete Recordings, sandal, sepatu, handuk, dan lain-lain.

Berikut ini sari wawancara yang berlangsung dua jam lebih, di sepanjang perjalanan dari Cikini hingga Kebon Jeruk. Kami menjadikan hujan deras dan macet saat itu sebagai teman, sehingga kami tetap ringan dan riang; wawancara, ketawa, wawancara, ketawa, sesekali berceloteh tentang motor polisi yang meraung-raung tak peduli, sesekali juga mengomentari bajaj yang cuwek.

Apa komentar Anda tentang sastra hari ini?

Saya itu tidak terlalu mengikuti.

Mengapa, Mas?

Enggaklah. Perhatian saya di yang lain. Saya kan bukan ahli sastra. Kalau ahli sastra itu bacasemua. Saya bukan. Ya, bebas saya..hahaha..

Apa yang sedang digeluti?

Apa saja, suka-suka.

Dalam sebuah wawancara, Anda katakan tidak ada sastra yang adiluhung. Bagaimana maksudnya?

Iya. Sastra saja tidak ada kok. Kenapa harus namanya sastra? Yang ada, tulisan semua itu boleh disebut sastra. Kenapa harus ada yang namanya sastra, dan ada yang bukan? Sudah kuno itu. Sastra dan bukan sastra itu nggak perlu ada. Kurang kerjaan itu.

Lalu disebut apa?

Sastra juga boleh, tapi ya tidak penting. Disebut tulisan juga boleh. Ya, kayak orang ngobrollah. Ngobrol boleh, tidak ngobrol juga tidak masalah. Sastra juga begitu.

Apa yang sedang Anda tulis sekarang?

Menamatkan Naga Bumi. Tapi dengan susah payah mengerjakannya. Ya seperti begini ini, macet, tidak ada waktu, dan lain sebagainya itu, yang harus disesuaikan. Harus a sosial dulu.

SGA tergolong penulis yang padat aktivitasnya. Mengajar di Institut Kesenian Jakarta, jadi pembicara di mana-mana, menulis untuk majalah, koran atau seminar, menulis novel dan skenario, melayani wawancara, dan tentu saja urusan keluarga. Tapi dia juga mengaku waktunya banyak habis di jalan, tapi juga tidak bisa menikmati suasana jalanan, tidak mampu cari makanan di tempat-tempat asyik di Jakarta, karena macet dan tidak aman.

“Saya suka sate kambing. Tapi tidak seperti Danarto yang mengejar warung sate di mana-mana. Saya cukup sate di sekitar TIM (Taman Ismail Marzuki, red.) saja. Kalau saya mengejar kabar warung sate andalan teman-teman, bisa gila saya..hahaha..,” ungkap Seno sambil terkekeh-kekeh.

: Judul di atas aslinya adalah 'Seno: Saya Hanya Ingin mengembara' dan dimuat di wawancara majalah Surah. Ingin lebih lanjut baca wawancara ini, sila ke sini.  

Senin, 19 Mei 2014

Kwitang

Kota adalah buku yang selalu dibaca. Sumber gambar
"Kalau kamu suka Chairil Anwar atau puisi klasik lainnnya, ada tuh di toko buku langganan saya,” kata Rangga.

“Oh ya di mana?” sahut Cinta penasaran. “Di Kwitang?”

Lalu sore harinya Cinta dan Rangga berjalan menuju Kwitang. Laiknya dua orang kekasih yang enggan mengungkap cinta, mereka bergandengan melewati lorong-lorong buku yang berjajar di sepanjang jalan, dan tepat di toko besar milik Gito Rollies, Cinta terpana dengan banyaknya buku yang ada di sana.

Begitulah, adegan dalam film AADC di atas cukup mengingatkan kita bahwa ada suatu tempat yang kerap difatwa sebagai surga buku. Itulah Kwitang, yang riwayatnya begitu panjang. Sebagian orang sepakat bahwa Toko Gunung Agung sebagai sang pemula, yang didirikan oleh pengusaha Tionghoa bernama Tjio Wie Tai (Mas Agung) pada tahun 1953 ini lambat laun menjadi toko yang diperhitungkan.

Lelaki yang kemudian hari berganti nama menjadi Mas Agung ini dekat dengan Bung Karno. Buku-buku karangan beliau pun diterbitkan seperti Di Bawah Bendera Revolusi (jilid 1&2) dan lain-lain. Nama Gunung Agung sendiri diambil dari terjemahan nama, Wie Tai, yang berarti ‘Gunung Besar’, merujuk nama Tionghoa pendirinya.

Pada penghujung 60-an, berdatanganlah para pedagang buku ke daerah Kwitang. Mereka menjajakan pelbagai buku bekas yang kadang tidak dijual di toko buku konvensional. Begitu terkenalnya kawasan yang berada di Jalan Kwitang Raya itu hingga membuat sivitas luar kota tergiur, dan tertantang untuk bertandang ke daerah ini hanya untuk satu tujuan; berburu buku.

”Itu dulu, saat masih di Kwitang, toko saya banyak disambangi tokoh dan orang-orang besar. Para penulis juga banyak,” ujar Johan (67 th), salah satu pedagang tertua yang ada di Kwitang. Lelaki yang telah memiliki 4 anak dan 5 cucu ini telah berjualan hampir 30 tahun di sini. Tak jarang beberapa tokoh menjadi langganan beliau, seperti Rosihan Anwar, Guruh Soekarno Putra, bahkan mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.

”Gus Dur lumayan sering ke sini.Bahkan sering ke rumah saya, dan makan di sana. Semenjak pindah ke sini (menunjuk lantai Pujasera, Blok M-red), beda pokoknya,” imbuhnya.

Lebih lanjut baca liputan saya tentang ini, sila baca

Senin, 12 Mei 2014

#CeritaEditor (1): Horor dan Hal-hal Lainnya yang Tak Ingin Kuceritakan

Saya tidak suka cerita horor, dan sebagaimana para penakut lainnya, mendengar cerita hantu bukan malah membuatmu berani. Itupula yang kualami.

Dan, silakan menikmati cerita saya di blog Moka Media ini.

Novel Kita yang Harus Kau Baca Sebelum Meninggal

Harus diakui, umur kesusasteraan kita memang belum panjang. Dan tentunya berimbas pada karya-karya bermutu yang dilahirkan oleh para penulisnya. Tapi, dari umur yang pendek ini ada beberapa karya yang bagus, dan tentunya layak disandingkan dengan karya-karya hebat dunia lainnya.

Salah satu karya itu adalah novel bertajuk 'Dari Hari ke Hari' karya Mahbub Djunaidi. Novel ini adalah pemenang dalam gelaran sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1974. Dan, novel yang bagus ini kini diterbitkan ulang oleh Surah Sastra, sebuah komunitas anak muda yang bergerak di literasi dan menerbitkan majalah bernama Majalah Surah.

Jika kau ingin baca tentang sejarah kemerdekaan kita, dan lebih uniknya, dalam pandang anak kecil, maka novel dari Hari ke Hari ini adalah kawan yang hangat untukmu.

Kebetulan juga, dalam proses penerbitan karya ini, saya turut pra-produksi. Yakni, menuliskan ulang karya yang sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya ini.

Lalu, apalagi yang harus kuceritakan padamu tentang novel ini?

Ya, saatnya kamu merasakan apa yang saya rasakan saat mengetik naskah novel ini. Ada geram, gelak tawa dan perasaan-perasaan lainnya yang tak mampu kuungkapkan. Persis seperti merasakan karya-karya dunia.

Bagaimana cara mendapatkannya? Silakan ke sini.


Jabat erat
Dedik Priyanto