Halaman

Rabu, 15 April 2015

The Fantastic Flying Books of Mr Morris Lessmore

Saya menonton film pendek ini beberapa tahun lalu, entah di laptop siapa saya lupa. Lalu, beberapa hari lalu ada yang membagi film ini di dunia maya. Tentu saya sangat gembira. Saya menyukai film pendek tentang buku ini. Ia seakan ingin bercerita tentang dunia yang kita baca, apa yang kita pikirkan dan kehidupan yang harus kita jalani sebagai manusia. Film bertajuk The Fantastic Flying Books of Mr Morris Lesmoore juga dinominasikan untuk Oscar 2011 dan disutradarai oleh William Joyce dan Brandon Oldenburg

Senin, 13 April 2015

Wawancara dengan Sabda Armandio: “Selama Saya Masih Bisa Merasa Bosan, Selama Itu Pula Saya Masih Menulis.”

Beberapa hari lalu ada yang bertanya padaku, siapa penulis muda saat ini yang tulisannya ciamik. Saya terdiam sejenak, lalu mulai menyebutkan beberapa nama. Salah satu nama yang kusebutkan adalah Sabda Armandio, penulis kelahiran Tangerang 18 Mei 1991 silam ini rajin mengunggah cerita-cerita pendek, baik terjemahan maupun cerita dia sendiri, di blognya www.agrarifolks.wordpress.com dan telah menerbitkan sebuah novel bagus bertajuk ‘Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)’ yang diterbitkan oleh Moka Media. Apa yang membuat cerita Dio menarik? Banyak. Salah satunya adalah humor yang kental dan cara bercerita yang menyenangkan. Dan jika kau adalah makhluk twitter dan menyukai hal-hal yang lucu dan selo, kukira twitter @armandiolif wajib kau follow, jika tidak, bisa-bisa kau bisulan tujuh turunan.

Kami sering bercakap-cakap, lebih banyak tentang guyonan dan hal-hal tak penting lainnya, juga tentang buku, film dan perempuan tentu saja. Berikut ini wawancara tidak penting yang saya lakukan di antara kesibukannya menjadi pekerja kreatif periklanan dan hobinya main game. Untuk menghindari kejaran intel atau kimcil atau groupies daripada saudara Dio yang kian banyak, sengaja wawancara ini saya lakukan via email dan saya batasi hanya persoalan menulis, serta hal-hal menarik lainnya.  

Kalau boleh tahu, apa yang sedang kau lakukan saat ini?

Sebenarnya, tidak boleh tahu, sih. Tapi karena Yang Mulia Pak Nabi Dave (terkait sapaan ini, sila baca ini- peny)yang bertanya, saya bisa apa? Oke, saat ini saya sedang mencari cara baru untuk mengakali atasan saya supaya saya punya lebih banyak waktu luang untuk mengalih-bahasakan cerpen dan, kalau bisa, menyelesaikan tulisan sendiri.

Hmm... Oke begini,  apakah kau punya semacam ritual sebelum menulis?

Ritual khusus (dalam artian saya tidak bisa menulis kalau tidak melakukannya) sih, tidak ada. Bisa jadi karena saya tidak percaya hal-hal semacam itu.

Tapi, begini, Pak Nabi. Kadang saya suka memikirkan sebuah cerita sambil jalan kaki atau naik kendaraan. Dan biasanya sebelum cerita itu selesai, saya sudah memikirkan cerita lain. Akhirnya jadi bertumpuk-tumpuk, macam roti isi yang terus meninggi, disenggol sedikit pasti jatuh. Kalau saya sedang memikirkan sebuah cerita dan seseorang memanggil saya, atau saya tersandung, misalnya, ya semua cerita yang saya pikirkan buyar, tamat. Tapi kadang mereka kembali lagi, tentu dalam bentuk yang tidak utuh. Dan kalau sedang luang, saya menuliskannya.

Misal sedang menunggu kereta di peron, saya kadang suka memperhatikan orang yang duduk di peron seberang: Membayangkan apa yang mereka percakapkan atau sedang mereka pikirkan. Memberikan ‘tujuan’ ke obyek yang menarik perhatian saya—misal ibu-ibu muda yang sedang berbincang dengan kakek-kakek yang membaca koran, atau gadis-gadis SMA yang senang bergerombol dan membicarakan apa saja—lalu saya mulai mengarang-ngarang dialog sesuka hati, yang menurut saya lucu. Jika saya rasa menarik, saya akan menuliskannya.

Saya nggak tahu apa ini menjawab pertanyaan soal 'ritual', cuma menceritakan kebiasaan, mungkin orang lain punya kebiasaan yang sama.

Jika sedang berada di kamarmu, dengan teko dan cangkir berada di sisimu dan tentu saja rokok, apakah  kau menulis di laptop, atau tulisan tangan?

Laptop saya sudah lama rusak dan uang untuk membelinya selalu habis. Karena itu, terpaksa saya menulisnya di buku tulis, mengetiknya di ponsel, atau merekamnya. Kadang ada gunanya, kadang tidak ada sama sekali.

Saya punya komputer personal di kamar, tapi saya tetap menulis di buku. Karena kalau di kamar dan berhadapan dengan komputer, pasti saya akan melakukan hal lain: main game, baca komik digital, nonton film, atau membuka media sosial. Akhirnya tidak menulis.

Saya lebih suka menulis di warnet. Biasanya saya ke sana setiap Minggu pagi, sekitar jam 9. Ada warnet langganan di Jalan Raya Pemda, sekitar 100 meter dari McDonald. Koneksi internet di warnet itu jelek sekali, hanya ada 7 komputer dan pelanggan mesti duduk bersila, tanpa sekat, dan pengap karena tidak dipasang AC. Keadaan seperti itu bikin saya malas bermalas-malasan, maksud saya, jadi malas melakukan hal yang cocok dilakukan saat bermalas-malasan di depan komputer seperti menonton video atau film, mengunduh sesuatu, membuka situs media sosial, apalagi main game online. Kadang, karena sumpek, merokok pun malas. Kira-kira, urutannya begini: Beli makanan dan minuman secukupnya, masuk ke dalam warnet, pilih paket 8 jam—ada semacam ‘paket hemat’ di warnet langganan saya—memasang earphone dan mendengar lagu-lagu dari ponsel, lalu membuka microsoft word; mengetik apa yang sudah saya tulis selama satu minggu terakhir di buku catatan dengan tenang hingga delapan jam ke depan.

Dapatkah kau mengingatnya, kapan kali pertama kau ingin jadi seorang penulis? Dan apakah dalam keluargamu ada tradisi menulis?

Ingin menulis cerita sejak SD, sejak saya merasa bisa bikin cerita yang lebih bagus dari Akira Toriyama, dan seorang teman lumaya jago menggambar, jadi kami bikin komik-komikkan. Tapi justru teman saya itu yang terkenal, dia jadi sering diminta gambar Kapten Tsubasa dan dibayar 500 perak, dibelikan ikan cupang, atau ditraktir es kelapa.

Pertama kali muncul keinginan untuk menjadi penulis itu SMP, saya mulai dengan menulis cerita bersambung. Semacam cerita detektif, judulnya kalau tidak salah “Pembunuhan Pak Qushay”. Saat itu saya benar-benar takjub oleh gaya unreliable narrator dalam cerita Pembunuhan Atas Roger Ackroyd-nya Agatha Christie, dan saya ingin membuat cerita seperti itu juga. Trik pembunuhannya saya tiru dari komik Detektif Kindaichi, dan Pak Qushay benar-benar ada. Awalnya beberapa teman main di rumah membaca cerita itu, tetapi karena tulisan tangan saya jelek tidak ada yang mau baca lagi. Haha.

Di SMP pula saya berkenalan dengan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, dan saya kira, cerita bersambung saya banyak menyontek gaya narasi Idrus. Meski saat itu saya tidak mengerti isi ceritanya, tapi saya suka gayanya bercerita. Mungkin karena waktu itu novel yang saya temukan di perpustakaan SMP kebanyakan R.L Stein, Trio Detektif, Pilih Sendiri Petualanganmu, atau Agatha Christie. Sehingga saat membaca Idrus, saya merasa tulisannya ‘segar’ dan keren. Saya cenderung mengikuti orang-orang keren.

Soal tradisi menulis, saya tidak terlalu yakin apakah di keluarga saya ada tradisi menulis, tapi saya pernah menemukan surat cinta ayah untuk ibu. Apa itu artinya ayah saya suka menulis? Sejauh ini saya tidak pernah menemukan buku harian atau apapun. Tapi, almarhum kakek dari ibu saya seorang dalang, beliau suka bercerita apa saja. Jadi, saya rasa, tradisi bercerita lisan lebih kuat daripada tradisi menulis.

Lalu, bagaimana kau mendapatkan tradisi itu, maksudku bercerita. Bolehlah kau berbagi cerita ini dengan sebuah cerita.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, almarhum kakek saya suka bercerita. Dan kalau sudah bercerita panjang sekali, seolah tidak mau berhenti. Kakek tinggal bersama kami di Peninggilan, Ciledug, dan dia suka mengajak saya naik sepeda. Saya duduk di depan, kami bersepeda menyusuri Jalan Raden Fatah, ke Jurangmangu, masuk ke perkampungan yang tembus ke perumahan tempat tinggal kami. Pernah juga sampai Stasiun Sudimara. Kadang kami cuma mampir di Bintaro. Saat itu Bintaro sedang dalam pembangunan, kami cuma berhenti di tepi jalan, menyaksikan gerak-gerik buldozer, lalu pulang. Dan selama jalan-jalan, dia bercerita, kebanyakan cerita wayang, sih. Kebiasaan itu bertahan hingga tengah tahun 1997, di tahun itu kakek pindah ke Bogor, dan wafat di Bogor satu tahun kemudian.

Ayah saya pendiam. Cool. Persis macam Pak Nabi. Seingat saya dia jarang mendongeng. Satu-satunya cerita yang pernah dituturkannya dan masih saya ingat sampai sekarang itu kisah Upik Abu. Dia bercerita soal Upik Abu versinya sendiri. Seluruh ceritanya mirip dengan Upik Abu, kecuali bagian akhirnya. Versi aslinya, kan, kalau nggak salah: pangeran membawa sepatu berkeliling desa, mencari kaki yang pas dengan sepatu itu. Versi ayah saya: Sebelah sepatu itu berjalan sendiri keliling desa mencari pemiliknya.

Dugaan saya begini: Ayah saya barangkali berpikir dia ingin menghilangkan kisah percintaan dari cerita itu karena menganggap saya masih kecil, atau dia berusaha melucu meski saat itu saya yakin saya tidak tertawa.

Itu barangkali cerita ‘sureal’ pertama yang saya dengar.

Kemungkinan dari Kakek dan cerita Ayah saya itulah saya jadi suka membaca atau mendengar cerita orang. Terlebih di kampung saya dulu—kampung yang hampir seluruh laki-laki dewasanya penganggur dan penjudi—gemar bercerita apa saja: dunia perdukunan, pengalaman tidur di komplek pemakaman tionghoa untuk mendapat nomor undian, dan sepakbola. Kalau bercerita kadang sambil teriak-teriak, mereka tertawa-tawa di rumah biliar belakang gereja Pentakosta. Kebetulan saya berteman dengan anak pemilik rumah biliar itu, kadang saya membantunya: mulai dari membereskan bola-bola biliar, merapikan tongkat, menulis poin di papan, menyajikan kopi, hingga menulis kertas undian judi Toto Gelap yang saat itu memang sedang marak. Tak jarang pula mereka bertanya apa yang saya mimpikan semalam. Saat mereka sedang bermain biliar, ributnya bukan main. Tetapi, saat berhadapan dengan kertas-kertas kode judi Toto Gelap, mereja bak kaum phytagorean yang tenggelam dalam angka-angka. Mereka merancang rumus-rumus khusus, menafsir gambar-gambar binatang yang muncul dalam kertas kode, dan mereka kelihatan serius sekali melakukannya. Dari rumah biliar itulah saya banyak mendengar kisah-kisah dari tiongkok, membaca novel-novel silat dan komik-komik (alm) R.A Kosasih. Mungkin dari pengalaman masa kecil itu pula saya jadi suka menulis cerita.

Nah, mari kita berbicara tentang novel pertamamu berjudul ‘Kamu‘. Dalam kesempatan Peluncuran novelmu bulan lalu, banyak yang bilang terpengaruh oleh Albert  Camus. Sebenarnya, sejauh mana pengaruh pengarang ‘the stranger’ itu bagimu?

Saya baca novel itu SMA, ‘Orang Asing’ yang sampulnya siluet orang berbaris kalau tak salah—saya lupa penerbitnya. Adakah orang yang membaca novel itu lalu tidak terpengaruh? Ada, pasti, tapi rasanya yang terpengaruh lebih banyak. Saya tidak meniatkan diri untuk mengikuti gaya narasi Camus. Saat itu saya nggak tahu apa itu eksistensialisme dan tetek-bengek lainnya, saya hanya menganggap novel itu keren. Dan seperti saya bilang tadi, saya cenderung mengikuti orang keren. Hehe. Di masa-masa itu saya banyak bermain peran jadi orang-orang yang saya anggap keren. Misalnya, setelah membaca potongan artikel Jim Morrison, saya berpura-pura menjadi Jim Morrison. Setelah membaca Pulanglah Dia Si Anak Hilang, saya ingin jadi Chairil.

Yang seperti itu, kira-kira. Tokoh 'Kamu' lahir di masa-masa itu, dalam perjalanannya, setelah saya bertemu orang-orang tampan lainnya dan cara pandang saya sepertinya ikut bergeser, ia terpecah jadi dua, yang satu tetap menjadi 'Kamu' setengahnya lagi menjadi Sang Narator. Sejujurnya, esai Arthur Schopenhauer banyak berperan membentuk karakter Sang Narator. Sebelumnya saya pernah kecewa bekerja sama dengan seorang editor dan setelah itu saya nggak pernah lagi mengirimkan naskah ke penerbit, rasanya lebih baik diunggah di blog sendiri sebab saya pikir mungkin memang naskah saya tidak layak untuk dicetak dan diperbanyak. Lalu nasib baik mempertemukan saya dengan Pemuda Korea, Dea Anugrah. Pemuda Korea ternyata jauh berbeda dengan editor yang pernah saya temui, kami lebih banyak ngobrol tentang hal yang kurang penting ketimbang membicarakan naskah itu sendiri, dan berkat wejangan dari beliau pula saya akhirnya menemukan semacam kepercayaan diri untuk menerbitkan novel itu.


Kemarin, beberapa alien mendatangiku. Saya terkaget. Ternyata, mereka cuma ingin bertanya, novel menarik apa di negaramu yang menarik saat ini dan serta merta kujawab novelmu. Lalu, mereka bertanya lagi, kenapa? Kujawablah singkat, karena novel itu punya selera humor yang menyebalkan. Ketika kujawab demikian, kulihat para alien itu memanggil kawan-kawannya dan turun ke bumi dengan jumlah lebih banyak lagi. Kami pun berbincang, salah satu dari mereka bertanya lagi, siapa penulis brengsek itu dan kujawab, namanya Dio. Dan kini, mewakili mereka, saya harus bertanya, dari mana cerita di novel ini berasal?

Dari sekitar, sih, Pak Nabi. Misalnya, bagian pembuka novel itu bau kamar saya sendiri. Pengamen yang menyebutkan nama-nama musisi itu dari seorang pengunjung warung kopi tempat saya biasa kongkow. Namanya Bang Heru, badannya besar dan kalau pakai celana pendek dilipat hingga sebatas selangkangan. Kalau ke warung kopi suka minta dibuatkan kopi, dan dia mencelupkan tahu goreng ke kopi itu sebelum dimakan, persis seperti mencelupkan biskuit. Kata warga sekitar, dia orang gila. Dia suka ngomong sendiri, dan bicaranya ngawur. Banyak ngomongin soal mesin-mesin, jendral anu yang bisa merakit bom dari sendok saat zaman penjajahan, dan sebagainya.

Saya kira dia mengidap skizofernia atau semacamnya. Suatu hari dia tiba-tiba berkata santai ke kawan saya: “Gue tahu kapan lo mati.” Kami jelas tercengang. Tapi, ya cuma begitu. Setelah itu dia malah membicarakan soal mesin kapal laut.

Sumur di perjalanan ke ‘Sisi B Kota Bogor’, itu terinspirasi dari serial animasi Inuyasha. Pernah nonton, Pak Nabi? Sumur keramat yang mengantar Kagome kembali zaman siluman. ‘Sisi B Kota Bogor’ sendiri adalah penafsiran ugal-ugalan dari lagu-lagu di album Fifth Dimension-nya The Byrds, beberapa lagu dari Strawberry Alarm Clock, dan lainnya.

Tentang bunuh dirinya Hana itu saya dapat dari pernyataan Menteri Pendidikan saat itu, M. Nuh. “...jika ada satu kelas bunuh diri massal usai UN, baru bisa dipikirkan ulang penyelenggaraan UN.” (tautan berita) Saya merasa beruntung tinggal di negara ini, tidak perlu mahal-mahal beli LSD atau ganja, cukup nonton TV atau baca berita saja

Oh, iya, setelah membaca Naked Lunch dan The Rum Diary, saya jadi terpikir untuk memasukkan unsur di dalam novel itu ke dalam novel 'Kamu'. Isi novel itu mungkin ya, campuran dari apa yang saya lihat dan dengar setiap hari.

Bisa kau sebutkan penulis-penulis favoritmu dan alasannya?

Kalau favorit ya banyak banget, Pak Nabi. Hehe. Bagaimana kalau yang saya nikmati selama kurang lebih empat bulan menyelesaikan novel Kamu sebelum akhirnya siap terbit?

FIKSI

-The Plague - Albert Camus: Sebab kematian itu menggantung di udara.

-Do Androids Dream of Electric Sheep? - Philip K. Dick: Seperti memaksa pembaca untuk bertanya-tanya, “Apa, sih, yang sebenarnya sedang terjadi sekarang?” Dan soal empati yang sepertinya merupakan inti novel ini.

- In the Miso Soup - Ryu Murakami: Kota Modern: bar-bar gelap, klub seks di bawah lampu-lampu neon, prostitusi remaja kelas menengah... surem. Saya kira kota itu perlu sosok seperti Pak Nabi. Oh iya, yang saya suka dari novel ini karena justru rasanya seperti membaca novel grafis.

- Ficciones -  Jorge Luis Borges: Bermain dengan konsep penciptaan~

-The Sailor Who Fell from Grace with the Sea - Yukio Mishima: Bayangkan situasinya begini, kau baru patah hati dan temanmu berkata begini: “Berliburlah ke pantai.” Kau pergi, tapi pantai dan laut ternyata juga tidak terlalu menghibur.

NON-FIKSI

-Riwayat Sang Kala (A Brief History of Time) - Stephen Hawking: Meski di kata pengantar tertulis, kalau tidak salah: ‘ditulis dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh mereka yang tidak berpendidikan sains’—saya lupa tepatnya. Tetap saja saya tidak mengerti. Hehe. Tapi, di dalam buku ini banyak yang bisa dijadikan bahan di dalam cerita.

- A Walk in the Woods: Rediscovering America on the Appalachian Trail - Bill Bryson: Cocok dibaca kapan saja, dan di halaman mana saja. Hehe.

-The World as Will and Representation - Arthur Schopenhauer: Sebaiknya, jangan percaya apapun yang dikatakan orang tentang Schopenhauer sebelum kamu baca ini.

-Nyanyi Sunyi Seorang Bisu - Pramoedya Ananta Toer: sebenarnya, saya baca lagi buku ini karena teman baru mengembalikan saat saya sedang menyelesaikan novel ‘Kamu’.

-The Naked Ape: A Zoologist's Study of the Human Animal - Desmond Morris: Umat mesti selo, Pak Nabi, kalau tergesa-gesa nanti lenyap.

Sebagian saya baca dalam format buku elektronik, Pak Nabi. Karena kalau beli lumayan mahal dan susah dicari, dan saya tidak tahu bagaimana cara memesan di Amazon. Hehe.

Hmmm.. Kalau ini tidak ada hubungannya dengan alien. Selepas pertanyaan tadi, alien itu  kembali ke angkasa. Oh ya, alien itu juga menyebutkan kata ajaib, menurutnya,  penulis bumi suka tipu-tipu. Mending ia kembali ke planetnya saja. Tapi begini, menurutmu buku atau tulisan yang hebat  itu seperti apa? Jika perlu sebut judul-judulnya dan alasannya kenapa?

Tulisan yang hebat selalu membuat saya ingin memotong-motong mereka hingga menjadi bagian kecil. Menggosoknya hingga saya pikir saya sudah menemukan semacam intinya. Dan sialnya, setelah itu saya ingin membuat yang seperti itu juga. Sederhananya: Buku yang mengubah saya jadi mirip-mirip tukang batu akik.

Hmm, mungkin ini agak melebar, tapi  generasi kita dianggap sebagai generasi  digital. Bagaimana menurutmu?

Ya, nggak gimana-gimana hehe hehe terserah, deh, generasi apapun sama saja. Saya malah jadi ingat lagu My Generation dari The Who. Hehe.

Lalu, bagaimana caramu memelihara etos kepenulisan di tengah dunia digital yang terkadang malah membuat orang lupa membaca, atau malas membaca buku elektronik, dan lebih sering komentar di media sosial?

Soal 'membuat orang lupa membaca (buku) dan lebih sering komentar di media sosial' rasanya bukan urusan saya. Menulis barangkali semacam jembatan yang menyeberangi saya dari kebosanan satu ke kebosanan yang menunggu saya di depan. Bukan tujuan. Sehingga saya merasa tidak perlu memelihara 'etos kepenulisan' saya ‘di tengah dunia digital’, selama saya masih bisa merasa bosan, selama itu pula saya masih menulis. Ditambah dengan berkumpul bersama Pak Nabi Dave dan para sahabat, tentu saya semakin bersemangat menulis.

Saya merasa tidak keberatan hidup di ‘era digital’; membaca buku-buku digital, membaca majalah digital, dan digital-digital lainnya. Membaca kicauan Pak Nabi di twitter atau status-status Pak Nabi di facebook kan mempertebal iman kami juga. Kabar baiknya, dengan buku elektronik, tas jadi lebih ringan. Saya pikir seharusnya dengan buku elektronik kita jadi lebih rajin membaca, akses bacaan semakin luas, dan kita bisa menyimpan banyak buku di dalam ponsel, dan membacanya kapan saja. Menyenangkan. Kalau malas membaca buku elektronik ya, itu kan cuma soal cara berpikir, dan cara berpikir orang lain ya, lagi-lagi, bukan urusan saya.

Jika boleh tahu, proyek ambisius apa yang sekarang lagi kamu kerjakan, maksudku dalam menulis?

Saya tidak punya proyek ambisius, tapi saat ini sedang menulis novel dan menerjemahkan novel Kurt Vonnegut. Hehe.

Apakah kau berpikir bahwa dirimu adalah  seorang kutubuku? Kenapa?

Tidak. Karena selain membaca, saya punya kegemaran lain. Eh, kalau benar katamu tadi kita ini 'Generasi Digital', yang juga artinya membaca buku-buku berformat digital, istilah kutubuku bukankah jadi agak aneh? Selama ini, seingat saya,saya belum pernah menemukan kutu merayap di antara berkas-berkasbukuelektronikdalam harddisk.

Hahaha. Kau menghabiskan banyak waktumu di Bogor. Bagaimana arti kota ini bagimu?

Tidak ada artinya. Hehe.

Sebenarnya masih banyak yang kuingin tanyakan misalnya, kenapa belalang kian susah dan apakah ini ada hubungannya dengan fenomena crop circle atau bagaimana rambut putih bagi manusia disebut uban, kenapa tidak nama lain. Tapi itu semua tidak penting, sebab aku hanya ingin nanya satu hal dan ini kesukaanmu, bagaimana musik mempengaruhi dirimu dalam menulis? 

Saya cukup sering membuat cerita kecil dari lirik lagu yang saya suka. Menyenangkan ketika saya bisa berpura-pura mengerti apa yang ingin  disampaikan si pencipta lagu. Cuma corat-coret, sih, malu kalau dibaca orang.Hehe. Semoga menjawab pertanyaan Yang Mulia Pak Nabi Dave.

Oya, yang terakhir dan ini lebih penting dari segala pertanyaan di atas:  apakah situ sudah sarapan?

Terima kasih Pak Nabi Dave. Bolehkah minta gope buat nambahin beli rokok?




Sabtu, 04 April 2015

SUATU HARI DALAM KEHIDUPAN PRAMUDYA ANANTA TOER


Hidup memang bukan pasar malam, juga di tempat tahanan politik Pulau Buru. Di belakang kawat berdiri itu berjajar barak-barak bambu: bangunan sederhana di tengah sunyi ilalang dan pokok-pokok meranti yang telah ditebang. Di keluasaan itu, hampir-hampir tak ada suara.

Di hari Kamis sore yang mendung tanggal 25 Desember 1969 tersebut, seorang laki-laki berkaus dan bercelana khaki-dril lusuh berdiri dekat barang yang paling ujung. Barak XIX. Rambutnya putuh seluruhnya. Dari jarak sekitar 25 meter itu saya tak segera mengenali wajahnya, yang kadang-kadang diselaputi asap sampah sedang dibakar. Tapi kemudian saya tahu: dialah Pramudya Ananta Toer.

Ia adalah tahanan pertama yang terlihat dari kamp itu. Ia melambai-lambai romobongan wartawan yang datang dari Jakarta, lewat Ambon, singgah Namlea, menyusuri sungai Way Apu, dan saat itu muncul satu demi satu—setelah perjalanan kaki yang panjang menuju kamp—di atas jalan setapak yang becek dan hitam.

“Pramudya!?“ teriak seorang wartawan.

“Ya...“ Pram menjawab berseru. Suaranya masih keras lantang, mengeletar dengan emosi dan sifat gugupnya yang lama, seperti dulu. Hanya kini tubuhnya nampak liat, kulit wajahnya lebih terbakar matahari. Ia memelihara kumis.

Saya berhenti memasang kedua kamera yang tergantung di leher dan pergelangan tangan, mencoba memotret wajah di kejauhan itu lewat kawat berduri.

Dekat saya, di samping tonggak tempat saya menompangkan bahu mengatur fokus, Bur Rusuanto berseru, memperkenalkan dirinya kembali kepada Pramudya Ananta Toer, Pram agaknya tak lupa kepada pengarang yang lebih muda satu generasi sesudahnya itu, bekas tetangganya, yang dulu pernah jadi lawannya berdebat di saat-saat bertandang, dan kemudian jadi salah satu unsur lawan politiknya di tahun 1964, ketika anak muda itu ikut menyusun dan menandatangani Manifes Kebudayaan.

Saya sendiri berteriak:“Mas Pram, ada salah dari H. B. Jassin!“

“Terima kasih!“ Ia menyahut.

Sebenarnya, saya tidak ada amanat menyampaikan salam semacam itu dari H.B. Jassin—yang tak tahu sebelumnya bahwa saya akan berjumpa Pram di Pulau Buru—tapi saat itu tak ada cara lain bagi saya untuk membuka percakapan: suatu kesempatan yang mungkin tak akan saya dapatkan lagi dalam hidup saya. Pramudya Ananta Toer tidak pernah mengenal saya, dan saya tidak pernah berkenalan dengannya secara pribadi. Ia menyangka saya adalah seorang yang bernama “Goenawan Semaun“. Dan saya hanya berseru mengiyakannya. Waktu begitu sempit dan tempat begitu tak wajar buat suatu upacara introduksi yang tak perlu.

Lagipula apa baiknya itu buat Pramudya Ananta Toer? Sudah cukup baginya untuk mengetahui bahwa dalam rombongan wartawan wartawan yang datang itu ada pengarang yang dikenalya, Bur Rusuanto dan Alex Leo, dua pengarang yang berada di pihak lain dari pihaknya, dan karena itu mempunyai peruntungan yang lain pula dari padanya: dalam kebebasan. Saya tak bisa menebak, adakah kunjungan dari orang-orang luar tempat pembuangan sore itu menggembirakan atau menyedihkannya. Hanya pada saya ada semacam kekhawatiran aneh, kalau ia mengira bahwa beberapa orang hari itu sengaja datang kepadanya untuk menyindir ketidakbebasan yang kini mengungkungnya, dengan salam dan senyum mengasihani, orang yang dulu pernah dikutuknya hingga tak merdeka lagi buat berbicara di bawah bayang-bayang Partai Komunis, sebagaimana ia kini—meskipun dalam kondisi yang lebih jelek—juga tak merdeka untuk berbicara.

Karena, soalnya sudah sedemikian jauh. Perbedaaan seta pertentangan paham telah berakhir dengan perbedaan dan pertentangan nasib, di antara pagar yang telah dijaga dan petak rumput yang luas sore itu. Hidup memang bukan pasar malam. Nasib tak terbagi serentak beramai-ramai. Saya tak yakin adakah saya—ketika untuk kesekian kalinya memandang Pramudya Ananta Toer lewat kaca kamera—jadi bersyukur, atau menyesal, karenanya.

“Klik,“ saya memotret. Pada momen itu Pram tersenyum.

*

“Di sini mas Pram beloh menulis atau tidak?”

“Mintakan izin untuk itu,“ jawabnya.
Dari penjara Bukit Duri dan Pulau Edam hingga akhir Desember 1949—dua puluh tahun yang lalu—Pramudya Ananta Toer menuliskan ceritap-cerita pendek dan beberapa novel, yang sebagian besar diselundupkan keluar oleh Prof. G. J. Resink dan diterbitkan. Dari tempat penahanannya di tahun 1960, setelah menulis Hoa Kiau di Indonesia, ia juga konon menulis naskah yang hingga sekarang belum kita ketahui, meskipun H. B. Jassin pernah membacanya. Dan dari kamp Pulau Buru ini, apakah yang hendak ditulisnya?

Malam hari di tempat penginapan jaksa agung di kamp itu, Pramudya Ananta Toer didatangkan dan berbicara. “Ia menyatakan behwa ia ditangkap ketika sedang merencanakan menulis sejarah,“ kata Jaksa Agung ketika saya tanyakan peristiwa pertemuan dan pembicaraan itu. “Ia menyatakan bahwa ia mempunyai buku-buku dan guntingan-guntingan koran tabg sejak lama dikumpulkannya untuk itu. Ia bertanya tentang kemungkinan buat mendapatkannya kembali semua itu, sebab ia merencakan akan melanjutkan penulisannya. Saya kira itu usul yang baik. Saya kira itu bisa diusahakan.“

Menulis sejarah, seperti yang dilakukannya dengan dua jilid Panggil Aku Kartini Saja? di majalah indonesia bulan Juni 1956 dimuat Sunyi Senyap di Siang Hidup, yang konon ditulis Pram beberapa waktu sebelum ia mengunjungi Peking. ”Its difficult ti see this story as anything else but a sort of final settlement with the past at the moment of his break with it. It is noteworthy that after story Pramudya as a creative artist almost ceased to exprese himself…”  tulis Teeuw tentang cerita pendek itu. Nampaknya sang pengarang telah sampai pada satu babakan, di mana ia telah siap menggantikan impian-impiannya dengan tindakan—karena kepahitannya dengan dunia di sekitarnya, karena kekecawaannya terhadap kesia-siaan hidupnya sendiri, terhadap kegagalan tulisan-tulisannya dan terhadap tidak-cukupnya rasa kemanusiaan yang ada padanya.

Menggantikan impian-impiannya dengan tindakan: itukah yang menyebabkan Pramudya pada akhirnya menjadi  penulis pamflet lewat koran dan jadi penulis sejarah perjuangan? Itu pulakan yang menyebabkan ia dapat menemukan lingkungan dalam Parta Komunis Indonesia? Kesusasteraan memang tak selamanya bisa menolong, dan tak akan langsung sanggup memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa kemanusiaan. Bisa dimengerti pula apabila sastrawan sering tergoda oleh semacam rasa malu, atau mungkin putus asa, melihat dirinya sendiri hanya menulis puisi, cerita-pendek, novel dan esai, sementara ketidakadilan berlingkar-lingkar di sekitarnya: seakan-akan ia tak cukup menjadi manusia penuh yang bila perlu bertindak. Tapi kesalahan Pramudya Ananta Toer ialah bila ia dengan begitu kemudian mengira, bahwa hanya Partai Komunis Indonesia yang akan mampu memberesekan persoalan. Partai Komunis, atau partai revolusioner mana pun, atau kekuatan politik mana pun, akan terpaksa mengakui keterbatasannya di hadapan majemuk manusia. Dan apabila hidup kesusastraan yang wajar, yang bebas dan terbuka bagi segala kemungkinan hati serta pikiran, dikorbankan untuk itu, apakah artinya? Sejarah bukanlah soal yang mudah. Cita-cita besar, mungkin mulia, memang bisa menghalalkan penundaan beberapa bentuk kemerdekaan, tapi saya tidak percaya ia harus pula membenarkan tertahannya kemurnian hati. Pramudya Ananta Toer menjelang 1965 mungkin merasa telah memberikan pengorbanan buat cita-cita partai, yang tak lain artinya adalah pengorbanan rohani dalan acuan realisme-sosialis, ia rupanya harus mengorbankan diri lagi—bila ia masih percaya kepada pengertian perjuangannya—hanya kini dalam bentuk rohani dan jasmani yang terbelenggu dan terbelenggu.

Saya hanya mencoba menebak sikapnya, ketika saya kebetulan memperoleh kesempatan berbicara dengannya tanpa pengawal sore itu di depan Barak XIX. Umurnya 44, saya ingat, tapi di bawah rambutnya yang terlalu cepat memutih itu sorot matanya tetap seperti dulu, campuran keangkuhan dan kepahitan, tangkas, cerdas dan keras, tidak juga redup, memandang sekitarnya tanpa senyum, tanpa ketenteraman dan dengan segaris kebimbangan.

Bagaimanapun, saya seorang asing baginya—dalam suatu pertemuan yang tak bisa ditentukannya sendiri, di mana tak bisa diketahuinya adakah saya seorang pengunjung yang bersimpati atau seorang penyelidik dengan maksud tersembunyi.

“Menurut mas Pram, lebih enak mana di Buru atau di Salemba?” hati-hati saya bertanya, tahu bawha ia beberapa waktu lamanya berada di Rumah Penjara di pojok Jakarta itu sebelum dibawa ke mari, dan tahu bahwa mungkin pertanyaan seperti itu tidak akan dijawabnya terus-terang. Tapi ia menjawab,”Ya lebih enak di Salemba.”

Suaranya pasti.

Ia tidak mempunya kecurigaan kepada saya agaknya, untuk berkata demikian.

“Saya tadi bertanya kepada beberapa kawan-kawan,” kata saya lagi agak terbata-bata menyebut tahanan politik sebagai ‘kawan-kawan’ suatu istilah yang punya konotasi istimewa bagi mereka,”dan mereka mengatakan  bahwa makana di sini lebih baik daripada di beberapa penjara di Jawa… dan di sini ada alam terbuka yang luas… meskipun mereka mengeluh karena jauh dari keluarga.”

“Ya, tapi tenaga ktia di sini diabsordir oleh kerja yang berat.”

Saya terdiam, memandangnya. Suaranya bersemangat

*

“Di sini, sastrawan atau profesor harus bekerja sebagai tani,“ kata seorang petugas. “Mereka harus mengolah tanah ini, agar nanti bisa memilikinya dan hidup dari hasilnya.“

Dan saya bergurau.“Seorang sastrawan penganut realisme sosialis memang harus belajar hidup dengan dan dari kaum tani, seperti yang dikatakan Mao.“

Beberapa orang tertawa di sekitar saya, dan saya tak tahu adakah gurauan semacam itu tidak keterlaluan. Yang menyebabkan mereka bekerja semacam itu di pulau ini bukanlah partai mereka, tapi pemerintah yang telah membubarkan partai itu. Dan itu bisa berarti, bahwa kerja di situ adalah unsur ketidakbebasan, suatu batas yang harus mereka taati, seperti halnya pagar kawat berduri yang melingkupi kamp mereka.

Tapi tidakkah itu mungkin pula justru suatu alternatif yang lebih baik bagi mereka? Kerja, juga kerja di tanah-tanah di Pulau Buru yang telah disediakan bagi para tahanan politik, denan hutan yang telah dibuka oleh pasukan zenie dan Jawatan Transmigrasi, dengan rencana pembebasan yang konon akan terlaksana secara bertahap di masa depan, dan bibit padi serta palawija yang telah disiapkan, tidakkah itu juga bisa berarti kerja “Membangunkan Hari Kedua“ itu masih jauh, masyarakat baru yang akan mereka lahirkan kelak masih hanya satu kemungkinan, tapi kesempatan kerja di lingkungan langit terbujka, pohon-pohon serta tanah subur Pulau Buru barangkali lebih baik daripada duduk-duduk di sudut sel sepanjang hari, hingga akhir yang tak bisa diduga.

Barangkali. Tapi saya tahu bahwa masalahnya adalah masalah kenisbian: seberat-berat mata memandang masih berat bahu memikul, meskipun selalu ada kemungkinan bahwa mata yang memandang itu mata yang terlalu cepat jatuh kasihan...

Dalam catatan saya, 18 Desember 1969, Kamis, Kamp Tahanan Politik P. Buru, tertulis: “Kamp ini bukanlah neraka—seperti dinyatakan orang, juga bukan surga—sebab proyek Buru barulah suatu kemungkinan. Kita tak bisa menilai terlalu cepat, dan dari jauh, begitu saja.

“Beb Vuyk pernah tinggal di pula ini dan menulis Rumah Terakhir di Dunia. Mungkin Pusat Resettlement Buru akan merupakan rumah terakhir buat Pramudya Ananta Toer, dan yang lain-lain. Tapi sebuah rumah adalah tetap sebuah rumah, lebib baik daripada sekadar impian dan kekecewaan.”

Saya tidak tahu adakah saya benar.

Goenawan  Mohamad
Desember 1969

PS: Catatan ini saya tulis ulang dari buku ‘Kesusasteraan dan Kekuasaan’ karya Goenawan Mohamad dan terbit 1993.