Halaman

Kamis, 23 Oktober 2014

Surat Cinta untuk Ajo Kawir yang Burungnya Enggan Berdiri

Belakangan ini kita melihat orang-orang menulis surat terbuka, baik yang dicintai maupun yang ia benci. Tapi, saya tidak ingin menyebar kebencian. Saya hanya ingin menulis surat untukmu, Ajo Kawir. Kau mungkin diciptakan dari tawa—yang mungkin kau anggap sebagai hinaan dan beban dalam rentang hidupmu. Percayalah, banyak yang hidup dengan rasa malu yang dahsyat dan membuat kebohongan-kebohongan untuk menutupinya. Tapi, bukankah kebohongan yang diciptakan terus-terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran? Atau yang lebih busuk lagi, kebohongan yang diceritakan dengan bagus akan tampak sebagai kebenaran pula?

Baiklah. Namaku Dedik Priyanto, orang biasa saja, sama sepertimu. Kau mungkin tidak mengenalku, dan seperti halnya orang-orang yang kukenal baik lainnya, misalnya Florentino Ariza—tahukah kau bahwa ia menunggu kekasihnya selama 53 tahun, 7 bulan dan 8 hari, sama sepertimu yang harus menunggu begitu lama untuk burungmu berdiri lagi, dan kembali melihat Iteung, kekasihmu itu.  Saya juga mengenal Pilon, seorang filsuf di tengah kejenakaaan Danny dan kawan-kawannya di lembah Monterrey, atau barangkali saudara tuamu, Margio, orang biasa aja yang enggan dianggap membunuh dan menyalahkan harimau di tubuhnya. Mereka kukenal dengan baik, sama sepertimu.

Mungkin kita bisa bersahabat dengan baik, Ajo Kawir, dan tentu sangat hangat. Orang-orang biasanya menyebut kata ‘lawan’ untuk seorang yang diajak bicara, tapi aku ingin menyebutmu seorang kawan. Kawan bicara. Dan laiknya seorang kawan, saya akan berbicara apa saja—walaupun nanti dianggap ngawur dan tidak penting. Kau tentu menyadari, biasanya hal-hal yang tidak penting tidak layak untuk dibicarakan, bukan? Tapi, melihat kisah hidupmu yang diambil orang-orang yang tidak penting, pinggiran dan nyaris dilupakan, kukira, surat ini juga patut kau baca. Kau bisa menggantungkannya di sisi busmu atau dilipat dan ditaruh dompet—tentu ini permintaan bodoh sebab di dompetmu sudah ada foto Iteung, yang kau simpan ke manapun kau pergi.

Ajo Kawir yang baik,

Saya mengenalmu terlebih dahulu melalui dunia yang dibangun dalam cerita panjang bertajuk ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’. Maaf, ternyata bukan kali itu pertama saya mengenalmu. Saya pernah membacanya di sebuah cerpen yang dibuat oleh Eka Kurniawan. Saya menunggu karya ini begitu lama. Tapi, saya penasaran, bagaimana membuka dari ketiganya. 

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi lutut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun, hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya. 

(Cantik itu Luka)

Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. Kolamnya menggenang di tengah perkebunan cokelat, yang meranggas kurang rawat, buah-buanya kering dan kurus tak lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik tempe yang merampok daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan, mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut, dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir. Orang-orang datang, selang berapa lama selepas perkebunan dinyatakan bangkrut tumbang, untuk memberi patok-patok dan menanam padi di rawa-rawa itu, mengusir eceng gondok dan rimba raya kangkung. Kyai Jahro datang bersama mereka, menanam padi untuk satu musim, terlalu banyak minta diurus dan menggerogoti waktu. Kyai Jahro yang bahkan tak mengenal apa makna bintang waluku mengganti padi dengan kacang yang lebih tangguh, tak minta banyak urus, namun dua karung kacang tanah di musim panen tak alang membuatnya bertanya-tanya, dengan cara apa ia mesti memamahnya. Demikianlah petak tersebut berakhir menjadi kolam, dilemparkan ke sana benih mujair dan nila, dan jadi kesenangannya untuk memberi pakan setiap senja, melihat mulut mereka cuap-cuap di permukaan air menggenang.

(Lelaki Harimau)

Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa perihal Ajo Kawir. Ia satu ari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras. 

(Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)

Apa yang membedakan?

Cerita yang bagus biasanya membuka dengan memikat, dan kau telah memperkenalkan pembukaan kepada kami. Tapi, ada satu hal yang sangat mengganjalku; kenapa kau langsung menutup itu dengan tanda jeda, seolah ini kerangkeng. Apakah kau berusaha memisahkan dan menjadikan scene patah laiknya menonton sebuah film?

Quentine Tarantino membuat hal serupa di film Pulp Fiction, pasangan kekasih yang bercakap-cakap untuk merampok sebuah kedai kopi, percakapan tentang layak atau tidaknya merampok ditempat seperti itu—biasanya merampok di bar, atau bank. Ini teknik pembocoran cerita yang lazim sebenarnya. Marquez melakukan hal itu, Aureliano Buendina berhadapan dengan senapan-senapan di regu tembak. Tapi, kalau kita lihat. Kau memakai pembocoran di tengah cerita, seperti 100 tahun kesunyian. Cantik Itu Luka pembuka konvensional, menyentak dan tampak terpengaruh gaya klasik Kafka dalam metamorfosa di pembukanya, atau Lelaki Harimau yang memakai alur mundur; awal adalah akhir dari cerita. Sedangkan di Seperti Dendam, awal adalah pembocoran tengah cerita. Seperti tengah cerita

Tapi, lagi-lagi, Eka menabrak itu dengan menggunakan kerangkeng sebagai jeda baca. Membuatmu menjadi cerita yang berbeda.

Tentu saja, dengan pola seperti ini, plot akan terbangun dengan tidak biasa. Ada banyak subplot di dalam cerita ini. Misalnya, bagaimana kehidupan Iteung yang ternyata mendapat perlakukan senonoh dari guru sekolah, atau si Mono Ompong yang malu pada keluarga karena naksir seorang pelacur dan lain  sebagainya. Dan sekali lagi mengingatkan saya pada adegan Pulp Fiction, dimana tiap adegan berlangsung pendek dan dibagi-bagi pada adegan-adegan terpisah. Seolah memasuki ruang yang besar dan mempunyai pintu-pintu kecil yang saling bertautan. Orang akan bebas untuk duduk dan termangu di pintu saja, tapi tetap ia akan tertarik memasuki pintu-pintu selanjutnya.

Ajo Kawir yang baik,

Saya membayangkan penciptamu telah bercakap-cakap dengan Sigmund Freud. Seorang tua dari Wina. Ia dengan tongkat tuanya berjalan-jalan menuju rumah Eka, cakap tentang trauma masa kecil. Tiga tesis utama; Id, Ego Superego. Id adalah ruang masa kecil dan traumatik dari tokoh-tokohnya; Ajo Kawir, Iteung, Mono Ompong. Sedangkan Ego adalah Realitas yang terjadi dan senantiasa jadi ruang pertarungan psikologis mereka; Ajo Kawir yang enggak mau mengecewakan orang yang dicinta, Iteung yang mencari orang biasa saja yang ia cinta—tapi ia akhirnya kalah oleh keinginan dan hasrat seksual hingga bercinta dengan Budi Baik, sesuatu yang kelak membuat retak rumah tangganya. Lain halnya adalah Superego, ruang ideal, yang harusnya ia inginkan; Ajo Kawir ingin burungnya berdiri dan hidup laiknya pemuda lainnya, dan hidup bahagia dengan Iteung.

Di perjalanan hidupnya, Ajo kawir mempu mendamaikan antara Id, Ego dan Superego dala dirinya. Misalnya, ketika di akhir, saat ia lebih memilih diam dan tidak berkelahi lagi. Padahal, ia sudah didesak oleh Jelita untuk membantu Mono Ompong. Tapi, kalau ia melakukan hal serupa seperti jaman muda, ia tidak akan melakukan kesalahan serupa. Apalai, saat ia membunuh macan, ia terdorong oleh rasa marah akibat tahu istrinya selingkuh.  Begitulah, ruang tarik menarik menjadi demikian menarik di novel ini sepanjang cerita

Ajo Kawir yang baik

Salah satu hal menarik di novel ini adalah kekuatan bercerita. Dibanding dua novel penciptamu sebelumnya, di sini adalah ruang eksplorasi bahasa. Misalnya. … nyamuk berdengung. Nyamuk dan gerimis… (hal.23) Selain itu, ada narrator novel ini, saya menenemukan ketidakjelasan (hal.32, 144, 155) lalu, perubahan dan suara-suara lain (hal, 97,100, 144,155). Deskripsi cerita yang dibikin cukup menarik. Tapi, ada beberapa pertanyaan-pertanyaan, misalnya, kenapa deskrpsi hujan dan keheningan dikerangkeng (Hal 22) dan kurang menambah cerita.
Ajo Kawir yang baik

Kekuatan fiksi adalah membuat ruang adegan di otak pembaca. Misalnya, pada kasus Cantik Itu Luka, saya masih teringat adegan Kamerad Kliwon yang menanti datangnya revolusi melalui tanda telatnya koran yang biasanya ia baca atau bagaimana Danny dan Pilon di Tortilla Flat

Di kisah hidupmu,  saya juga menemukan hal serupa. Misal, bagaimana kegundahan hati Ajo Kawir selepas kejadian di rona merah. Pertama, adegan burung yang diolesi cabe rawit, dengan perlahan berubah menjadi panas dan membuatnya blingsatan. Kedua, ia menyengatkan burungya pada tawon biar tambah membesar. Ketiga diajak jajan dan ancaman untuk dikapak. Ruang-ruang ini yang menjadi kekuatan yang bisa kita temui sepanjang novel ini.

Ajo Kawir yang baik,

Saya menduga-duga, sebenarnya, kapan kau dilahirkan. Sebenarnya sangat mudah ditebak, sebab ia menggunakan tanda puncak orde baru, di mana kekerasan dan pembunuhan menjadi biasa saja. Ini tampak dari brutalnya kehidupan Ajo Kawir dan Si Tokek dan Iwan Angsa. Di sini, saya taruh lengkap semacam pledoi, untuk kita tahu, sebenarnya apa maksud dari Eka Kurniawan untuk membuat gaya bercerita tak lazim.

Dua Tradisi

Eka Kurniawan 10 May 2014 (1)

Saya selalu membayangkan ada dua tradisi besar dalam bercerita/menulis novel (saya rasa sebenarnya dalam kesusastraan secara umum). Pertama, tradisi menulis dengan wadah; kedua tradisi menulis yang bebas mengalir. Saya tak yakin apakah istilah itu tepat atau tidak, tapi mari kita membayangkannya. Tradisi pertama, berawal atau berkembang dipengaruhi oleh tradisi panggung. Tradisi kedua, tentu saja berawal atau berkembang melalui tradisi mendongeng. Penyebutan pertama dan kedua ini bisa kita bolak-balik. Saya tak mengasumsikan yang satu lebih utama dari yang lain. Kenapa tradisi dari panggung ini saya bayangkan sebagai tradisi menulis dengan wadah? 

Ya bayangkan saja panggung sebagai wadah. Ada ruang terbatas sebesar panggung. Ada durasi waktu sebuah cerita akan dipentaskan. Jangan lupa, penonton juga dikondisikan di situasi tertentu: duduk di tempat penonton, memandang panggung dari sudut pandang yang tetap. 

Artinya, ada ruang-waktu yang secara ketat membatasi sejauh mana cerita akan disajikan. Keadaan ini secara langsung tentu saja sangat berpengaruh terhadap cara dan teknik bercerita. Saya melihatnya, tradisi ini menciptakan satu aturan-aturan dramatik yang sangat ketat. Jika kamu pernah dengar dari editormu, buang bagian yang tidak mengganggu cerita jika ia menghilang, maka saya yakin, editormu merupakan bagian dari aliran ini. Aliran yang menjunjung tinggi efisiensi. 

Aliran ini memerhatikan dengan ketat kapan sebuah karakter harus muncul, kapan permasalahan ditampilkan, di bagian mana konflik memuncak. Tentu saja dalam menulis novel, kita tidak membayangkan panggung. Meskipun begitu, bukan berarti tradisi ini, tradisi bercerita dengan wadah, tak terasa di novel. Bahkan saya melihat, pengaruhnya sangat kuat sekali. Saya bisa menyebut, Hemingway berada di tradisi ini. Kebanyakan sekolah menulis, akan mengajarkan aliran ini. Kita tak memerlukan panggung untuk membuat batasan-batasan ruang dan waktu, karena kita menciptakannya sendiri. Tentu saja bapak dari aliran ini, saya akan membayangkannya: Shakespeare. Aliran kedua, yang bersumber dari mendongeng, tentu bersifat sebaliknya. Ia mengasumsikan bebas ruang dan waktu (meskipun ya sebenarnya tidak). Sebagaimana layaknya dongeng, ia bisa diceritakan di mana dan kapan saja. Nyaris tak ada batasan durasi (bisa bersambung bermalam-malam layaknya Syahrazad di Hikayat Serbu Satu Malam). Pendengar dongeng juga bisa mendengarkan dongeng dengan cara apa saja, sambil tiduran, duduk di belakang pendongeng, atau di mana pun. Tak ada ruang dan waktu yang mengungkung, karena itu aturan-aturan ketat tangga dramatik tidak dikembangkan di sini. Yang berkembang adalah justru teknik “hipnosis”, teknik mencengkeram minat pendengar dongeng dengan apa pun tergantung situasi (karena situasinya tidak bisa dikendalikan, sebagaimana keadaan di ruang pertunjukan). Kadang-kadang pendongeng mengambil teknik dramatik panggung, tapi lain kali ia mungkin menyanyi untuk membuat pendengarnya betah, lain kali ia melantur dulu ke cerita yang lain. Disgresi, permainan kata, bunyi, berkembang di aliran ini yang bebas-merdeka selama pendongeng yakin bisa mempertahankan pendengarnya. Di aliran ini kita bisa menemukan kisah yang semena-mena, novel yang tak ke mana-mana (bayangkan If On A Winter’s Night A Traveler Italo Calvino), alur yang maju-mundur bertumpuk-tumpuk (bayangkan novel-novel Faulkner). 

Ada kesan aliran ini seenak udel sendiri, tapi saya rasa kesusastraan tak akan berkembang banyak tanpa mereka. Saya bayangkan editor harus bekerja keras melihat novel-novel seperti ini (dan mereka kadang tetap memakai ukuran “wadah” untuk mengatasinya). Aliran ini juga berkembang pesat. Ada Marquez. Ada Salman Rushdie. Ada James Joyce. Bapak dari semua penulis ini, tentu saja saya akan menyebut: Cervantes penulis Don Quixote. Saya menaruh hormat pada kedua kecenderungan ini (eh, jangan dilupakan para penulis yang kadang berada di area abu-abu keduanya), dan jauh di dalam hati kecil saya, saya selalu berpikir kondisi ideal menjadi penulis adalah menjadi Shakespeare dan Cervantes di waktu yang bersamaan. Berpikir tentang wadah sekaligus merasa mengalir bebas, atau sebaliknya. Itulah kenapa kita sering berpikir tentang aturan-aturan dalam menulis (seolah kita membayangkan menulis untuk ruang-waktu tertentu seperti panggung), sekaligus punya hasrat besar untuk melanggarnya (membebaskan diri sebagaimana pendongeng).

Dari sini, kita akan melihat benang merah penceritaan yang dianut. Eka memilih jalur tradisi mendongeng, yang mengutamakan kekuatan memengaruhi orang untuk senantiasa menunggu cerita ini rampung, tanpa memedulikan bahwa cerita itu konvensional atau tidak, benar atau tidak, tapi kekuatan cerita itu yang memikat.

Ajo Kawir yang baik

Satu hal yang membuatku tertawa  adalah, sebagai orang yang terlahir di generasi santri, saya tertawa terbahak-bahak ketika tahu bahwa semua yang ada dicerita ini hanyalah perjalanan sufi seorang Ajo Kawir. Melalui burung—yang selalu ia tanya tentang apa yang bakal ia lakukan selepas keluarga dari penjara akibat membunuh macan.

Membaca ceritamu di novel ini ini, saya diajak untuk eksplorasi gaya bercerita, sekaligus tertawa mengingat jaman cerita keemasan cerita silat dan seks. Dan sekali lagi meneguhkan bahwa seberapapun absurd ide sebuah cerita, jika ia mampu diceritakan dengan baik, maka akan membuat orang percaya bahwa cerita itu benar-benar terjadi. Dan mengaburkan ruang antara fakta dan fiksi di dunia nyata. Selain itu, novel ini memiliki struktur yang sangat tebal selain cerita sufi, yakni tentang kekerasan dan operasi-operasi militer (hal.183) sesuatu yang berat, tapi dibuat jenaka.

Kira-kira begitu.  Dan selamat burungmu sudah bisa berdiri. Tapi, sayang, kau tidak bisa bercinta dengan iteung karena ia sudah kembali ke penjara.

Jabat erat
Dedik Priyanto


PS: Ditulis sebagai bahan diskusi para penggerutu, jumpa lagi book club, bersama A.S. Laksana, Eka Kurniawan, Linda Christanty, Yusi Avianto Pareanom, Zen Hae, Dea Anugrah dkk di resto jumpa lagi resto, 26 Agustus 2014.

Rabu, 15 Oktober 2014

Tortilla Flat

“Novel ini yang menginspirasi Ronggeng Paruh adalah Dataran Tortilla. Karya Steinbeck,” seloroh Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, ketika kami berdiskusi di Pojok Gus Dur beberapa bulan lalu.

Waktu itu kami diskusi di pojok Gus Dur, ruang kerja presiden keempat kita yang juga digunakan sebagai perpustakaan lantai bawah gedung pusat NU. Seketika itu pula saya terdiam, dan menolah ke arah Abah.

Sejenak mata kami bertaut, seolah ingin berteriak bersama,”Brengsek Steinbeck!”

Saya sendiri membaca berkali-kali, dan mata saya begitu tertohok dengan percakapan Pilon dan Pablo di hutan perihal  hujan dan air yang turun saat itu. Mereka berdebat soal bagaimana air hujan yang turun. Ada yang berkata bahwa  jika turun berupa permata. Maka, tentu mereka akan kaya, dan banyak uang untuk dibawa ke Torelli guna dibelikan anggur.

Namun, akhirnya mereka sepakat bahwa air hujan yang turun malam itu alangkah lebih indah jika berupa anggur. Tentu anggur Torelli.  Karena dengan itu,  mereka akan lebih bisa menikmati tiap jengkal, tiap waktu untuk menikmati anggur. Imajinasi ini, bagi saya, begitu gila.

Anggur Torelli begitu merasuki otak saya, dan kerap mengusik alam bawah sadar. Bahkan sampai sekarang saya masih terus mencari tempat ini di Ciputat. Jika saudara tahu, ajaklah saya. Bahkan saya yakin, jika pun Tuhan tahu, ia pasti sekarang sedang di Torelli.  


Selepas baca ini, saya begitu bernafsu untuk mencari karya Steinbeck yang lain, dan juga mencari novel asli. Hingga bertemu dengan Of Mice and Men, Cannery Row dan lain-lain.

Pernah suatu tempo menemukannya tergeletak di antara buku terjemahan  lainnya, tapi malang tak bisa ditolak, saat itu isi dompet saya hanya setengah dari harga yang tertera di buku tersebut. Dalam hati saya mengumpat, namun juga bahagia.

Gembira karena saya akan mendapatkan buku asli tersebut. Bukan fotocopy, begitu pikir saya. Dan menunjukkan pada mereka yang sering meremehkan para sivitas pemfotocopy. Sebulan selepas peristiwa itu, saya mengumpat kembali sembari mendengar dinginnya seorang kasir berkata lirih,”Sudah tidak ada, Mas. Stok habis kayaknya. “

Sontak, saya kecewa untuk kembali. Saya pun mencari di toko-toko buku langganan. Tapi hasilnya sama; nihil. Dan sampai sekarang saya hanya mempunyai versi fotocopy. Entah bagaimana tawasul saya nanti, seperti kebiasaan saya waktu dulu saat ngaji, yang harus melafalkan doa kepada mereka yang berjasa atas keberadaan buku ini di muka bumi.

Maka, ketika saya ditanya banyak orang tentang sebuah novel yang patut ditempatkan di tempat utama dalam perpustakaan. Jawaban saya bulat, Tortilla Flat karya John Steinbeck.

Jadi bagaimana, kamu sepakat, bukan?

Selasa, 14 Oktober 2014

Media, Sastra, dan Kita

“Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru yang sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya,”Foulcher; Pujangga Baru; Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, (1991)”

Apakah Anda tiap hari baca Koran cetak atau online? Saya kira jika pertanyaan itu diajukan oleh mereka yang terbiasa mengikuti alur informasi akan menjawab spontan, ”Pasti. Tiap waktu.”

Lalu saat ditanya, “Apakah Anda baca karya sastra, baik itu cerpen, esai atau puisi tiap hari?” Maka, saya berani bertaruh, jawaban serempaknya akan begini, ”Tidak. Saya hanya baca hari minggu.” Beruntung kalau tidak ditambah embel-embel kalimat “itupun kalau sempat.”

Realitas seperti itulah yang kerap saya temui, bahwa sastra diciutkan hanya minggu dan “kalau sempat”. Seolah sastra hanyalah sampingan dan sudah sepatutnya ditaruh di bagian paling tak terjamah manusia. Berdebu, kumuh, pinggiran dan hanya disentuh oleh mereka yang berperilaku aneh.

Saya kira Anda sepakat, jika saya berbisik lirih di telinga pacar saya, ”Ini karena media, Sayang. Media yang membuat kita tidak menikmati sastra sebagaimana para orang tua, dan nenek kita menikmati karya-karya besar dunia.” Dan dia sembari mengamit tangan saya berujar pelan, ”Jangankan dunia. Sastrawan Indonesia saja kita jarang bertemu. “

Media dan sastra adalah ibarat dua saudara kandung yang kerap tidak bertemu, atau jangan-jangan enggan bertemu karena yang terakhir tidak pernah mendapatkan uang saku yang berlebih untuk sekadar bertahan hidup. 

Sedang yang pertama, media, acapkali dianggap sebagai tonggak keempat demokrasi, yang tentu saja bisa hidup jika mampu diolah dengan manajerial yang hebat. Laiknya pohon yang dirawat sang pemilik dan ditaburi prinsip jurnalisme yang begitu ketat.

Kalau toh mereka bertemu dalam satu rumah. Maka saudara pertama mendapatkan kamar yang begitu luas. Dan ia akan mendapatkan mainan yang begitu banyak. Mainan itu bisa berupa politik, hukum, kriminal, maupun ekonomi.

Sedangkan saudara kedua ibarat anak tiri yang hanya bisa  memandang sayu saudaranya bermain-main dari balik jendela.

Bagi saya, media dan sastra adalah tonggak peradaban. Kenapa?

Saya kira, ukurannya begitu jelas jelas; literasi. Literasi inilah yang menjadi akar. Bahwa corak literer bisa dilihat sebagai pijak dimana peradaban dapat menjelaskan dirinya lewat teks. Teks yang terus bergerak dan ditafsirkan oleh mereka yang hidup sekarang, ataupun anak cicit kita. 

Maka laiknya kita naik motor. Sesekali kita harus melihat kedua spion agar kita tidak jatuh, terjungkal, dan tertabrak. Dan perjalanan imajinasi bernama Indonesia pun tidak terlepas dari corak dan sastra menandai dirinya dalam tangkup kebudayaan yang memaknakan diri dalam tradisi. Tradisi yang terus menerus membaurkan sekat etnisitas dan agama.

Saya tidak mau berpolemik oleh kategorisasi HB Jassin yang menisbahkan pada peristiwa politik sebagai penanda gerak kesusasteraan. Saya hanya ingin menandaskan bahwa sastra mempunyai pengaruh yang begitu luar biasa pada imajinasi tentang peradaban, dan Indonesia sebagai, meminjam kata Sanusi Pane, Faust dan Arjuna yang selalu berada dalam pencarian dan bertabrakan dengan dinamisme baratnya Sutan Takdir Alisjahbana (Ulumul Quran, edisi masa depan sastra, 1998).

Medio 20-an para pemikir cum-sastrawan ini telah mengimajinasikan mau ke mana bangsa bernama Indonesia akan bergerak. Mereka gandrung pada Barat di satu sisi, dan Timur pada di lain sisi. Mereka tidak hanya menggunakan media-media konvensional untuk menabur apa yang dirasakan di balik tempurung mereka, namun juga mengimajinasikan dalam karya sastra sebagai bentuk pertaruhan literer seorang intelektual.

Seorang sastrawan, meminjam kelakar Mahbub Djunaidi, merupakan seorang futurolog. Ya, mirip-mirip dukun tapi berpendidikan. Mereka mengetahui apa yang tidak dipikirkan orang. Bahkan mampu menerawang apa yang bagi mereka orang biasa tidak dipedulikan. Capung yang bertengger di pohon tetangga rumah pun mereka mampu melihatnya.

Tentu, seorang sastrawan lahir tidak hanya sendiri di ruang hampa nan sunyi. Atau tiba-tiba turun dari langit Krypton dan diberi nama Clarke dalam narasi Superman. Bukan!

Mereka hadir pada saat suasana sastra dan pemikiran berkembang dengan kondusif. Bahkan riuh dengan pelbagai hal yang mendukung tempurung mereka berpikir banyak hal; tentang nyiur yang melambai bagai seorang gadis, tentang matahari yang selalu mengabarkan kesadaran baru, atau tentang perlawanan pada penguasa yang sengaja lupa.

Sebagai contoh, adanya majalah Pujangga Baru terbit sebagai mandegnya Balai Pustaka dan ketakutan kolonial terhadap bacaan. Mereka melahirkan STA, Arjmin dan Sanusie Pane, Hamka dst. Tentu kita masih berharap majalah sastra Horison mampu menjadi anak muda. Tidak lagi menjadi generasi tua yang seakan gagap menghadapi kebaruan, globalisasi, dan seterusnya.

Saya merindukan generasi ini. Generasi majalah sastra Kisah HB Jassin medio 50-an, yang pada akhirnya berkembang menjadi polemik yang begitu terkenal dalam sejarah kita; Lekra dan Manikebu.  Atau generasi Horison 80-an yang melahirkan sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, NH Dini, dan masih banyak lagi. Ada yang menyebutnya generasi Koran, tapi tidak spesifik. 

Nah, saat ini saya kira kita menemukan jaman yang hampir serupa. Teknologi telah mengajak kita bergumul pada dunia. Di jejaring sosial twitter, misalnya, mata kita akan tertohok dengan ribuan puisi yang ditulis oleh pelbagai orang. Kadangkala hanya sebagai pemindah kegalauan, namun tak jarang pula yang bernas dan sublim. Belum lagi akses terhadap karya-karya sastra dunia yang begitu mudah.

Persoalannya adalah media-media kita tidak memberi ruang yang cukup untuk ‘suasana sastra’. Energi mereka terlalu terserap pada politik dengan segala manipulasinya. Kalau toh ada, mereka menempatkannya sebagai tempat peristirahat saja, dan itupun terus berkurang.

Maka yang diperlukan adalah keberanian untuk menciptakan suasana itu. keberanian untuk keluar dari kotak rumah yang membuat saudara ‘tiri’ itu mampu berdiri sendiri, hidup sendiri. Karena anak tiri inilah yang mampu mengisi kekosongan yang ada pada otak tempurung kita. Yang mengajarkan tentang hidup dan kebudayaan yang menjadi titik pijak peradaban. 

Saya kira sudah saatnya kita memberikan warna baru pada geliat yang sudah terlalu dan selalu terkooptasi dengan politik. Kita butuh media yang khusus berbicara tentang sastra. Yang tidak hanya bermain-main dengan esai, cerpen, puisi. Tapi sastra dengan tiga aspeknya yang paling penting; manusia, alam dan tuhan.

Ketiga elemen itu laiknya ruh yang pada akhirnya melahirkan pribadi yang yang mengerti akan hakikat dirinya, dan memahami sebagai kebudayaan sebagai penentu peradaban bangsanya.

Tentu kita tidak mau disindir oleh Subagio Sastrowordojo (1968) dalam bakat alam dan intelektualisme,” orang boleh tinggi tingkat kesardjanan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerdjaannja,  tetapi selama ia tidak punja minat ataupun peka kepada rangsang2 budaja, ia belum berhak dinamakan intelektuil.”


@DedikPriyanto

NB: esai di  NU Online kolom budaya

Tiga Puluh


Beberapa hari ini saya terkaget, ternyata salah satu kawan akrab saya sudah berumur tiga puluh tahun. Angka ini bukanlah deretan angka semata, lebih dari itu, konon angka itu merupakan peralihan menuju dewasa dan tentu saja pernikahan.

Alih-alih membicarakan pernikahan, yang terbersit di otak saya tentu saja adalah kesepian. Betapa tidak, jika kawan saya itu pasti menikah, saya harus bersiap untuk kehilangan dirinya. Sebab pastinya sudah memiliki istri, dan bakal hidup dengan pelbagai deret tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai suami.

Sedangkan saya, harus siap sendiri.

Lain halnya dengan kawan akrab saya yang lain. Ia pemuda betawi dengan intelektualitas yang sukar saya tandingi; agama, filsafat, sastra dan tentu saja terjemahan. Saya juga pernah menuliskan sedikit biografinya yang menurut saya mirip dengan apa yang diperbincangkan Gus Dur tentang tipe kiai kampung.

Tapi entah kenapa, saya merasa ia agak aneh belakangan ini. Usut punya usut, ia habis lamaran dengan seorang gadis. Bahkan konon orang tua sudah saling bertemu dan bersepakat tentang hubungan mereka.

Tentu saja saya terkaget dan agak terbelalak mendapat info itu. Apalagi ia cukup dekat dengan saya sejak dulu, khususnya kala berhubungan dengan kekasihnya yang terdahulu dan  obrolan tentang sastra.

Walaupun begitu, saya tetap bergembira. Ternyata kawan saya ini sudah bisa menyintas dari masa lalunya yang menyedihkan bersama kekasihnya dulu dan membuanya tampak suram.

Namun sejenak kemudian saya berpikir bahwa saya akan kehilangan salah satu kawan terbaik saya lagi.

Beda halnya dengan kawan saya satu lagi, ia adalah pemuda pilih tanding, seorang marxis sejati dan penata arsip yang paling baik di antara kami. Umurnya kira-kira akan mendekati tiga puluh tahun.

Kawan saya satu ini memang istimewa, jika banyak orang atau aktivis mendaku diri sebagai kiri, tapi di satu sisi kehidupannya masih borjuis dan cenderung menerima keadaan, maka rumus itu tidak ada dalam dirinya. Bahkan ia kerap menjulukinya dengan marxis yang kekanak-kanakan. Sebab seorang marxis tidak akan mendaku diri sebagai marxis, cukup dengan bekerja dan integritas. Begitulah.

Hampir dua tahun ini kawan saya ini menjalin hubungan dengan seorang gadis, ia merupakan seorang yang enerjik, cerdas dan menyukai sepakbola. Ia juga yang membuat kawan saya ini akhirnya untuk pertama kali menonton sepakbola di stadion.

Hubungan mereka laksana mendung dan hujan, sukar dipisahkan dan akan selalu bersama. Orang tua mereka pun sudah mengiyakan untuk saling mengikat janji ke pelaminan. Tapi sayangnya, kawan saya ini terganjal dengan kampusnya dan baru bisa lulus tahun depan.

“Jadi, kapan kamu menikah?” tanya salah seorang kawan di sebuah malam,

“Tahun depan,” ujarnya santai.

Saya bergembira dengan jawaban ini. Kawan saya bakal menikah. Dan, ah, kenapa saya merasa akan kehilangan salah satu kawan lagi.

Satu orang lagi, tentu saja dia adalah seorang kawan yang sudah menjalin cinta sejak jaman SMA. Pemuda ini merupakan seorang penulis paling produktif di antara kawan-kawan yang saya kenal, saat ini ia sedang menempuh jenjang master sembari menunggu kekasihnya merampungkan studi master juga.

Saya yakin, tinggal waktu yang akan membuatnya pergi meninggalkan kota ini dan menaiki kereta kencana bersama kekasih yang ia cinta itu. “Sudah diperkenalkan kok, Bung, tinggal selesai, lalu nikah. Itu saja,” tuturnya suatu waktu.

Betapa girangnya hati saya mendengar itu. Satu lagi kawan saya bakal menikah dan tentu saja umurnya masih sangat muda dan dibawah umur saya. Bahkan belum mencapai usia peralihan tiga puluh yang menakutkan itu.

Tapi entah kenapa, saya merasa saya bakal lebih sepi lagi.

Sebab ada satu orang kawan yang sejak saya mula menempuh studi sudah menjadi kawan sepenanggungan. Baik dalam tangis, duka maupun kecewa. Umurnya memang hampir menginjak tiga puluh, dan ia sudah bilang tidak akan lagi mencari pacar. Ia akan mencari istri—walaupun untuk itu ia beberapa kali gagal.

Kami pun baru satu bulan belakangan ini pindah kontrakan. Saya gembira sebab ia sudah hampir purna dalam studi dan konon sedang menjalin hubungan serius dengan seorang permpuan. Dan ia nanti akan sangat sibuk, baik dengan pekerjaan ataupun dengan istrinya.

Dan entah kenapa untuk satu hal ini, saya merasa bakal begitu kesepian. Saya merasa bakal berjalan menjalani belukar dengan kaki saya sendiri, mencecap kopi sendirian, baca buku sendirian dan akan menjalani kehidupan dengna penuh kesendirian.

Ya, saya gembira sebab mereka ini, kawan-kawanku ini, bakal menemukan jalan hidupnya sebagaimana orang normal lainnya. Mungkin juga kala mereka saya ajak untuk sekadar ngobrol, mereka akan menawarkan rumahnya untuk dikunjungi. Atau mereka tidak akan bisa lagi saya ajak berbincang hingga larut malam. Ada istri yang menunggu, mungkin ia mereka akan menjawab demikian. Saya hanya bisa memakluki.

Lalu, kamu kapan?

Ah, saya memang tidak berpikiran ke situ.
Dahulu memang saya sempat berpikiran hal serupa, umur tiga puluh adalah patokan. Dalam hal apapun; ekonomi, hidup, percintaan dan segalanya. Tapi itu dulu.

Sekarang ini saya justru menanggapinya dengan berbeda. Bagi saya, sebuah hubungan bukan kontrak. Jika jatuh cinta, ya jatuh cinta saja. jika ingin tinggal bersama, ya silakan tinggal bersama. Jika diperlukan untuk mengikatnya menjadi sebuah hubungan legal-formal berupa pernikahan, ya silakan dengan pelbagai konsekwensi antar keduanya.

Seorang kawan menyebutnya dengan istilah posmo. Bahkan ketika saya sempat berdebat dengannya perihal lembaga pernikahan ia menyebut saya sebagai generasi posmo yang terpengaruh dengan bacaaan yang eksistensialis. Ia tertawa, saya pun serupa.

Tapi ini penting, saya tetap berpikir  bahwa jalan utama menuju cinta memang pernikahan. Itu jalan utama. Pastinya ada jalan lain, bukan? Yang mungkin jalan itu bisa berbelok, penuh kerikil, bahkan harus melewati sungai. Tentu tujuannya sama; bahagia.
Lalu jika tujuannya sama, apakah salah jika memilih jalan lain yang mungkin lebih menantang dan menuntut ketahanan yang lebih tinggi. Ah, saya terlalu serius, mungkin saya kurang pikinik :p

Kembali ke soal tiga puluh itu.

Saya harusnya turut bergembira dengan pilihan yang diambil oleh kawan-kawan saya tadi. Ya, saya memang bahagia. Sangat malahan.

Pada akhirnya, betul kata Chairil, Nasib adalah kesunyian masing-masing. Dan aku mungkin akan terus di jalan sunyi itu, seperti halnya Zainudin dalam Van Der Wijk yang tidak bisa memilih atas jalan yang ia lalui itu, atau bahkan seperti Jean Viljean seperti yang dituturkan Victor Hugo dalam Les Miserables.

Menjadi tua itu bukan pilihan yang harus dirayakan, bahkan sekadar mengajak untuk menikmati secangkir kopi di tengah malam yang dingin penuh obrolan pun sebaiknya tak tak perlu dilakukan.

Ah, ada-ada saja saya ini.

Ciputat, 13 Ramadan

Selasa, 30 September 2014

Melodi: Cinta yang Melintasi Waktu


Bulan ini Moka Media menerbitkan novel yang menarik. Judulnya Melodi; cinta yang melintasi waktu. Kebetulan saya juga yang diminta ngedit--hasil rapat redaksi, dan bertemu dengan penulisnya yang juga asik. Namanya Dedek Fidelis, asal Medan dan penyuka karya-karya Haruki Murakami.

Ceritanya sendiri tentang perjalanan waktu. Seorang gadis bernama Kiara yang terjebak pada masa dua tahun dari kehidupannya sekarang. Nanti saja saya akan cerita lebih banyak tentang novel ini.

Satu hal yang pasti, novel ini akan segera meluncur di toko buku terdekat. Kisar awal bulan. Jadi, mari kita tunggu. Begitu.

Minggu, 21 September 2014

Kencan Pertama yang Memalukan

Tidak selamanya kencan itu menyenangkan, apalagi yang pertama. Bahkan terkadang menyebalkan. Tentu saja tiap orang mengalaminya, kecuali ia benar-benar cupu atau memang pemalu akut, unyu atau apalah.

Beberapa waktu lalu, Moka Media menyelenggarakan 'sayembara menulis humor' dengan tema kencan pertama. Ada begitu banyak naskah masuk dan juri sempat kebingungan menentukan juaranya. Lalu, terpilih beberapa naskah terbaik dan dijadikan sebuah buku dan disunting oleh kawan saya Dea Anugrah, serta diberi tajuk 'Kencan Pertama yang Memalukan'.

Laiknya sebuah kumpulan cerita, di dalamnya kita akan menemukan ragam peristiwa. Tentang seorang perempuan yang selalu gagal tiap kencan meskipun sudah ikut biro jodoh, kencan dengan banci dan masih banyak lainnya. Semuanya ditulis dengan gaya humor yang asik dan tidak narsis.

Wah, kayaknya terlalu panjang saya cerita. Saya sih menyarankan siapapun untuk membacanya. Itu saja.


Sinopsis 


"Aku, laki - laki itu, dan manajernya menonton film drama. Aku suka nonton film, tapi bukan begini caranya. Orang - orang yang melihat tentu akan mengiraku sebagai ibu manajernya yang kurang terurus dan mengira laki - laki itu sebagai calon ayah baruku. Piknik keluarga. Jack dan Rose melambaikan tangan. Titanic tenggelam untuk kedua kalinya."

(Yessica P.F Apakah Hanya Kita Berdua?)

"Kadang dalam kencan, sebagai perempuan, saya terpaksa memaklumi kebiasaan para pria untuk memeri penjelasan akan fakta umum yang sudah banyak diketahui, tapi toh mereka dengan sok tahu tetap ngotot menjelaskan seolah kami tak tahu apa - apa."

(Isyana Artharini - Antara Film dan Kenyataan)

"Salah satu dari laki - laki gemulai itu memakai kardigan biru dan jins pensil ketat. Dia tersenyum manis kearah gue, perasaan gue mendadak masam. Pakaiannya sama persis dengan yang dijanjikan Sussy tadi malam."

(Adham Yudhistira - Sussy Celalutercakiti)

"Saya memulai : 'Sekolah dimana di Jakarta?' Padahal waktu itu Jakarta hanya pernah saya lihat di Tv balai desa, hitam-putih pula. Untuk menonton, kami mesti bawa obat nyamuk sendiri dan menyumbang 100 rupiah."

(Erni Aladjai - Kencan Tengah Hari Tua

Seperti Keluar dari Sebuah Gua

Some are dead, some are living, in my life i love you more ~ the beatles

Ceritanya begini, hari ini saya berulang tahun. Yang ke berapa? Tentu masih sangat muda. Kalau menurut KTP, saya baru seperempat abad. Dan saya tidak percaya. Ibu saya pernah bercerita bahwa akta lahir saya salah dan terus saja berulang di ijazah, akhirnya keterusan sampai kuliah, kerja dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan administrasi. Saya tentu saja masa bodoh dengan hal itu, tidak ambil pusing.

Jika mau mencatat ragam kejadian di tahun ini, saya merasa tidak ada yang istimewa. Semua berjalan biasa saja, tidak ada yang meledak-ledak seperti tahun lalu dan sempat membuat saya tampak begitu dungu. Bagi saya, tahun lalu adalah zaman peralihan.

Saya tidak mampu bercerita lebih banyak lagi. Tahun lalu saya sangat tidak produktif. Enam bulan pertama saya seperti berada dalam sebuah gua dan tidak sanggup untuk keluar. Lalu orang-orang mulai datang, mengajak berbincang dan mengajakku untuk berpikir realistis terhadap keadaan. Dan perlahan, saya mulai meninggalkan gua itu lalu berlari keluar sejauh-jauhnya dan mencari banyak hal di luar sana. Ternyata saya memang telah berlari dan terkadang lupa menengok ke belakang. Kepada mereka, saya ucapkan begitu banyak terima kasih--suatu waktu saya akan menuliskannya sendiri di blog ini.

Hal menggembirakan lain adalah, saya bertemu dengan banyak orang dan menambah daftar pertemuan, percakapan dan perdebatan lainnya. Mereka ini memperkaya pandangan hidup saya tentang kebebasan, kreativitas dan arti sebuah realitas. Entah kenapa saya ingat Gus Dur, kata dia, guru utama dalam hidup adalah realitas. Dan saya merasa mendapatkan itu dalam proses saya berlari dari gua yang menumpulkan daya hidupku.

Lalu, apalagi yang ingin saya ceritakan?

Masih banyak sebenarnya. Dan saya kira, hal yang paling penting adalah, menjalani apa yang telah saya apatkan dalam proses berlari ini sebaik-baiknya, sekuat-sekuatnya. Saya yakin sekali masa depan tercipta dari apa yang kita perbuat hari ini.

Ah, saya jadi melankolis kalau mengingat tanggal, apapun itu. Jadi, mungkin saya cukupkan saja di sini. Mungkin, saya akan sering update lagi blog, dan berbicara tentang apapun yang ingin saya utarakan. Itu saja sih.


PS: ada yang berkata padaku begini; seperti jatuh cinta, kita tidak bisa menolak jadi tua. Sialan!



Selasa, 12 Agustus 2014

Kamu, Ia dan Kota Asing

Oleh: Puthut EA

Aku akan mulai dengan keindahan yang sederhana. Seperti yang kuhadapi ini. Bisakah kamu bayangkan tentang keindahan yang muncul dari seorang perempuan, muda, cantik, sedang mencatat menu makanan pagi pesananmu di sebuah rumah makan yang lengang, dan di dekatmu ada sebuah jendela yang bisa mengantarmu pada lanskap sebuah kota yang belum pernah kamu singgahi? Aku membayangkan perempuan itu adalah seorang gadis yang kaya dan sedang bosan dengan kehidupannya. Atau bisa jadi ia adalah pemilik tunggal rumah makan ini.

Kalau kamu bilang, tidak ada yang melebihi keindahan sebuah agenda di mana kamu duduk di sebuah beranda yang menghadap perbukitan luas, dan di depanmu, kekasih lama tidak kamu temui sedang menuangkan the hangat serta memulai sebuah percakapan, tentu itu indah. Tapi belum begitu indah, aku kira, dibandikangkan jika kamu bercakap dengan seorang perempuan sehabis bercinta, dan di antara kalian lalu saling bertanya tentang siapa kalian, dan dia menanyakan mengapa kamu singgah di kota ini, dan kamu bertanya kepadanya, mengapa ia mau bercinta denganmu? Ia pasti tidak akan menjawab dengan jelas pertanyaanmu, sebab kamu pun tidak akan menjawab dengan jujur pertanyannya. Lalu, kalian akan saling meninggalkan, menyimpan harapan suatu saat akan bertemu kembali dengan adegan yang sama dan pertanyaan yang serupa. Semacam janji yang harus ditepati.

Dan jika kamu terus menuntutku untuk memberi jawaban tentang mengapa aku selamat ini selalu menghindar  bertemu dengnamu dan bertemu banyak orang, aku mungkin hanya bisa menjawab dengan sebuah pengantar masa laluku, dan sedikit menuntutmu tentang siapakah orang yang telah terbelah ini. Waktu aku masih kecil, aku mempunyai seorang sahabat yang sudah berumur tua. Nyaris setiap hari ia duduk di belakang rumah, menghadap sebidang kebun dan meratap lagu-lagu yang tidak kukenal, lagu-lagu masa lalu. Ia menyesali sebuah peradaban dengan nyanyian dan tradisi yang lain, sementara masa lalunya hilang, lindap. Setelah aku tumbuh cukup besar, aku sering juga meratapi tradisi yang dulu dikutuk oleh sahabat tuaku itu, yang telah menjadi tradisiku, dan yang kini mulai renta digantikan sesuatu yang baru. Lalu, apa itu tradisi sahabatku? Seseorang pergi bukan hanya dipanggil oleh masa depannya, ia juga didorong masa lampaunya. Itu bukan jawaban jawaban untuk pertanyaanmu, itu hanya pengantar, dan aku benci pada sesuatu yang jelas dan gambling. Membuat dunia ini terjelaskan dengan sempurna adalah kesalahan mendasar para filsuf.

Lalu kamu terus menyerangku dengan ‘nilai’, kedalaman, da nisi. Luar biasa. Aku kagum pada orang yang mampu menyelam ke kedalaman, mempersembahkan nilai dalam sebuah pesan yang berisi. Aku tidak membawa itu semua, sebab semua telah hilang dirampok oleh banyak hal ketika aku memulai perjalanan ini. Akulah orang yang mengingau itu, yang menjadi  tanda pada segala omong kosong, sebagaimana aku memahami banyakhal, hidup ini juga omong kosong.

Sebentar, perempuan itu telah membawa makanan pesananku. Ia mencatat, memasak, dan mengantarkan sendiri makanan itu. Adakah itu tanda bahwa ia tertarik padaku? Aku menawarinya untuk duduk menemaniku. Menemani pejalan yang lelah dan terbelah, pejalan yang nyaris tidak memawa apa-apa lagi. Gila, ia mengangguk, tapi akan mengambil sesuatu dulu. Lihat, bisakah kamu ikut memastikan bahwa ia tertarik padaku? Kini, ia telah kembali duduk di depanku, membuaka ikatan rambutnya, melepas kacamatanya, memberiku senyum, mempersilakan aku meneruskan makan, dan ia membaca sebuah buku. Apa kubilang? Tentu ia seorang gadis kaya dan cerdas, sedang bosan pada hidupnya.
Jangan-jangan buku yang tengah dihadapinya adalah sebuah buku yan hanya pernah kudengar judulnya, dan belum pernah kulihat dengan mata kepala sendiri. Buku yang banyak dibicarakan oleh orang pandai. Tiba-tiba aku merasa kenyang.

Aku meletakkan sendik dan garpuku agak keras, sebagai tanda bahwa aku selesai makan. Dan aku mengeluarkan sebungkus rokok sebagai tanda bahwa aku belum ingin ia pergi dari sini, dari hadapanku. Ia mengerti ia tersenyum, menutup bukunya, memakai kacamatanya, dan  mengeluarkan rokok dari saku celananya.

Kali ini aku harus benar-benar minta maaf kepadamu. Tentang ‘nila’, ‘kedalaman’, begini saja anggap itu semua tradisimu, dan aku tidak memilikinya. Jika kamu tidak puas dengan jawaban itu, anggap saja bahwa sebetulnya aku punya ketiga hal itu, tapi kamu dan banyak orang yang lain terlalu bebal untuk menangkapnya. Kalau masih saja hal itu belum memuaskanmu, anggap saja bahwa inilah yang bisa kulakukan, dan masih boleh kan jika orang berbeda? Bukankah kamu masih menghargai perbedaan? Dan aku pikir itu sudah cukup, sebab bila kamu mulai menuntutku lagi, aku merasa kamu mulai mengerami benih pemikiran yang mirip kepala fasis. Dan aku tidak pernah mau bicara pada orang-orang sepreti itu. Nah,  kamu mulai mengerti bukan? Dan kamu masih boleh mengikuti kisahku ini, jika berkenan.
Kami diam. Sepertinya ia memberiku kesempatan untuk mengatakan siapa diriku atau bertanya tentang siapa dirinya. Tentu saja aku tidak memilih keduanya. Tapi sialnya, aku mulai dengan kejujuranm dan bukan kebohongan. Padahal jika aku memulai dengan kebohongan, aku membutuhkan lebih banyak kebohongan untuk melanjutkannya, dan makin jauhlah aku dari jangkauannya.

“Buku yang aku pikir luar biasa. Aku hanya mendengar judul buku itu disebut banyak orang, tapi aku belum pernah membacanya. Melihatnya pun baru kali ini.”

“Kamu lihat sendiri, aku pun belum menyelesaikannya. Tapi aku kira, ini memang buku hebat. Aku membutuhkan beberapa hal dalam buku ini untuk menyusun tesisku.”

Apa aku bilang? Menyusun tesis, bukan? Ia makin terlihat cantik. Pandangan matanya kini beralih ke jendela, aku mengikuti pandangan matanya, menangkap jalanan sepi di luar dan hari yang tidak begitu cerah.”Kota kecil yang indah dan sepi.”

Ia tersenyum. Aduh, cantik sekali. Dimatikan rokok di tangannya dalam asbak, lalu mengambil lagi sebatang dan menyalakannya.

”Tidak, jika kamu ke sini enam bulan yang lalu. Yang ada hanya teriakan maut, orang-orang serba tergesa-gesa, ingin pergi dan membunuh. Tapi benar katamu, kota ini sejak dulu memang indah. Dan semakin sempurna jika dalam keadaan sepi.”

Lihat, benar-benar cerdas bukan? Bahkan dia tahu aku baru kali ini datang ke kota in. Atau setidaknya, ia tahu bahwa aku tidak ada di kota ini enam bulan yang lalu. Kini ia menolehkan kepalanya ke arahku, menatapkan pandangannya pada pandangku. Aku tersentak.

Ada sesuatu yang sangat tajam yang dilemparkan ke mataku tapi membuat desir yang jauh dan dalam di dadaku. Aku tidak pernah benar-benar menatapnya matanya. Aku menyapu perlahan pada seluruh wajahnya yang dihinggapi benda-benda yang indah dan membentuk kesatuan-kesatuan yang nyaris sempurna. Mulut indahnya itu kemudian bergerak, mengirim suara,”Aku datang setahun yang lalu ke kota ini untuk menulis tesisku tentang kota ini dan jika liburan panjang tiba, aku datang berlibur ke sini. Bahkan mereka masih punya rumah di sini, dan beberapa bisnis termasuk rumah makan ini. Satu dari segelintir bangunan yang selamat.”

Semakin jelas, sudah. Tapi tiba-tiba aku teringat buku yang masih tergeletak di depannya.”Lalu, apa hubungannya kota ini dengan buku yang kamu baca?”

Ia tersenyum… ah, tidak, agak tertawa, bahkan terdengar suara tawanya sekalipun hanya lirih. “Berhubungan langsung sih tidak. Hanya saja, buku yang tebalnya berates-ratus halaman ini hanya bercerita tentang sebuah kota.
Menceritakan segalanya tentang sebauh kota. Ruas-ruas jalannya, orang-orang yang menempatinya, peristiwa-peristiwa yang berlangsung di dalamnya. “

Aku berbasi-basi sekadarnya, apakah aku tidak menganggu aktivitasnya? Dia menggelengkan kepala, tersenyum dan hanya minta waktu untuk membawa ke belakang perlatan makan yang barusan kugunakan. Bahkan ia menawariku untuk minum kopi. Tentu saja aku mengangguk.
Beberapa orang masuk. Dengan cekatan pekerjanya melayani mereka. Dari lubang jendela kecil, aku melihatnya sedang membuatkan kopi. Kamu tahu apa yang sedang menghuni pikiranku? Ya, tentus aja rumahnya. Bukankah ia tadi sempat menyebut ‘rumah’? aku berharap ia mengundangku untuk mampir ke rumahnya. Tentu alasannya sederhana, penginapan yang baru kutempati semalam sesuai dengan harga sewanya yang murah itu tentu tidak cukup nyaman untuk bercakap-cakap dengan gadis itu.

Kini yang ada di pikiranku adalah rumahnya, terutama bagian beranda, dapur dan gudang. Gudang bawah tanah! Aku suka sekali berada di gudang, sebuah tempat yang di mana aku akan dibantuk banyak untuk menyusun seseorang yang masih asing bagiku. Aku membayangkan di gudang rumahnya penuh dengan barang-barang masa lalu; potret-potret keluarga, boneka masa kecilnya, perabot yang sudah tidak dipakai, aku akan tahu banyak hal tanpa ia bercerita. Dan di gudang yang temaram itu, aku membayangkan berciuman dengannya.

Ia datang dengan membawa dua cangkir. Aku kembali mencoba mengingatkan bahwa hari beranjak siang dan makin banyak orang yang datang, ia bisa meninggalkanku untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya. Kembali ia tersenyum dan dudku. Menyalakan sebatang rokok, seperti menyalakan jawaban bahwa semua baik-baik saja.

Aku kembali teringat pertanyaanmu tentang paham estetika yang kuanut. Aku kembali bingung atas pertanyaanmu. Mengapa kamu tidak pernah bertanya saja tentang hal-hal yang tidak kusukai? Orang sepertiku lebih gampang menyebut dan menunjuk hal-hal yang tidak kusukai ketimbang hal-hal yang kusukai. Itu untuk semua hal, juga untuk makanan, tempat tinggal, jenis minuman, acara, peristiwa dan yang lain sebagainya. Aku lebih bisa memastikan bahwa sesuatu yang berjalan tidak beres, tapi aku selalu kesulitan jika ditanya apa yang seharusnya berjalan. Hanya saja, satu hal ketidaksukaanku yang aku rasa kamu perlu tahu, bahwa aku tidak suka dipetakan, dirumuskan, dimasukkan dalam kategori-kategori, tapi aku sadar, itu akan tetap dilakukan. Dan masihkah aku perlu menandaskan mengapa aku suka menghindar dari banyak orang, termasuk kamu? Sebab pertemuan akan menghasilkan percakapan dan setiap percakapan akan semakin mudah untuk membuat orang merumuskan kita. Paham?

Nah, kan… gadis itu seperti heran menatapku. Aku mencoba tersenyum sambil dalam hati mengumpati kamu. Lalu kami kembali bercerita tentang kota ini. Ia mulai bercerita dengan pelan dan detail tentang kota ini. Mulai dari sejarahnya, kejadian-kejadian penting sampai kerusuhan yang terjadi enam bulan yang lalu. Ia bahkan menyusun sebuah tesis yang tidak wajar tentang kerusuhan di kota ini, di luar tesis yang selama ini aku baca dari orang-orang pintar di media massa. Ia mampu memberi argumentasi yang sangat kokoh dan penuh percaya diri.

Tapi, aku tetap saja harus pergi dari rumah makan ini. Kutandaskankan kopiku, mengucapkan terima kasih, dan hendak membayar.

Ia bertanya,”Perlu nota?” aku menggelengkan kepala. Ia menyebut sejumlah angka, aku membayarnya.

Tapi tetap saja ia memberikan sesobek kertas sekaligus uang kembalian, sambil berkata,”Entah kenapa, aku suka pada laki-laki yang tidak banyak catatan dan tidak suka berbelanja dengan nota. Laki-laki yang tidak patuh.” Aku tersenyum menangkap apa makna ucapannya. Udara di luar mendung.

Aku berjalan melihat kertas yang diberikannya. Sebuah alamat rumah, jam-jam di mana ia ada di rumah, dan sebuah pesan: di rumahku, giliran kamu yang bercerita tentang dirimu. Aku tersenyum puas.

Kemudian aku teringat lagi akan pertanyaanmu tentang sejauh mana seseorang bisa terus menggenggam keyakinannya? Kini aku menjawab: tidak tentu dan terserah. Seperti aku yang mulai sekarang suka kejujuran. Aku berjanji tidak akan pernah membohonginya tentang diriku ketika aku mampir ke rumahnya, dan aku berjanji tidak akan membohongimu tentang kelanjutan ceritaku padamu yang berkaitan dengan cerita ini. Tapi aku harap kamu tidak usah terlalu serius bertanya padaku, tentang ap amaksuda cerita ini. Lupakanlah itu, dan aku ingin bersenda gurai layaknya seorang sahabt yagn kadang kala harus saling memaki jika aku singgah ke kotamu untuk berbagi. Sekaligus sebuah tanda bawha tidak seluruh dirimu, aku hindari. Begitu, ya…

PS: Saya suka cerpen ini dan menulis ulang untuk blog ini. Kuambil dari buku Isyarat Cinta yang Keras Kepala (2004). sumber gambar

Sabtu, 09 Agustus 2014

Run


Entah kapan saya terakhir kali menulis di blog ini, menumpahkan segala yang ingin saya utarakan atau yang paling tidak lucu adalah curhat tentang cinta dan hal-hal yang tidak penting lainnya. Tapi, ada blog lain yang tidak harus semua tahu dan untuk hal ini, cukup saya saja yang tahu.

Baiklah, saya tidak ingin berpanjang cakap, hari ini saya berikrar untuk kembali menulis apapun yang ada di otak saya di blog. Tidak peduli, apakah itu penting atau tidak sebab saya hanya ingin bercerita.

Jadi, jika nanti ada hal-hal yang tidak berkenan, saya tidak minta dimaklumi. Jika ingin membaca, ya silakan.

Dan saya hanya ingin berlari.

Rabu, 28 Mei 2014

Sayembara Menulis Humor: "Kencan Pertama yang Memalukan"

Kencan pertama tentu sangat menyenangkan, tapi di satu sisi acapkali menggelikan. Setiap orang, tentu saja pernah memilikinya--kecuali ia benar-benar cupu atau memang pemalu pada taraf yang akut, atau bisa jadi ia adalah alim yang unyu, atau apalah. 

Tentunya, kamu memiliki cerita yang demikian, seperti saya, atau kawan-kawanmu yang lain. Akan sangat menarik kiranya jika kamu mampu menceritakan dengan gaya yang lucu. Karena, tiap kencan terkadang menggelikan. Bukankah, menceritakan dengan orang lain akan membuatmu banyak kawan? Silakan ikuti sayembara yang digelar oleh Moka Media ini. Tentu, kami akan sangat senang dan menjadi kawan hangat dalam setiap kisahmu nanti.  


Mark Twain, raksasa kesusastraan Amerika Serikat sekaligus orang paling jenaka pada masanya, mengatakan bahwasanya berkah terbesar yang dipunyai umat manusia adalah humor. Mohandas Karamchand Gandhi, orang kudus yang sepintas lalu tampak terlampau kudus bagi kesenangan duniawi seperti tawa, bahkan berkata: “Seandainya tidak memiliki selera humor, tentu sudah lama saya bunuh diri.”

Demikianlah, humor, bagi sebagian orang, bukan semata pelepas penat. Ia tak sekadar melipur rasa bosan, letih akibat kerja, atau duka mendalam karena putus-cinta. Ia adalah berkah terbesar umat manusia. Moliere, Charlie Chaplin, Voltaire, Buster Keaton, Mark Twain, Gabriel Garcia Marquez, Groucho Marx, Mahbub Djunaidi, Kurt Vonnegut, Woody Allen.

Kita ingat nama-nama pembawa berkah tersebut. Sebagian di antara mereka, seperti Voltaire dan Chaplin, tak pernah kehabisan cara untuk menertawakan masyarakat, gagasan-gagasan besar, serta sejarah. Sementara Woody Allen, misalnya, dikenal terutama karena kelihaiannya mengolok-olok diri sendiri. Dari jenis yang pertama maupun yang belakangan, mereka adalah orang-orang yang bukan hanya perlu dikenang dengan mesra, tapi juga diteruskan kerjanya.

Sadar akan pentingnya hal tersebut, Moka Media ingin berkontribusi dengan cara menyelenggarakan sayembara menulis bertema “Kencan Pertama yang Memalukan”.

Kita boleh berharap, lewat sayembara tersebut penulis-penulis baru yang cerdas dan jenaka akan bermunculan di Indonesia bagai gurame dan nila dan lele muncul di permukaan tambak yang ditaburi pelet.

Berikut ini ketentuan-ketentuan teknis sayembara tersebut:

Naskah yang ditulis adalah kisah nyata.
Panjang tulisan berkisar antara 6.000 hingga 10.000 karakter, diketik dalam program MS Word, format *doc atau *docx. Kirimkan ke email: sayembara.moka@gmail.com, subjek: "Kencan Pertama"

Biodata dan nomor rekening penulis mohon dicantumkan di akhir file naskah.
Satu orang penulis maksimal mengirimkan dua naskah.

Batas terakhir pengiriman naskah adalah hari Selasa, 3 Juni 2014.

Kami akan memilih satu pemenang dan sembilan unggulan dan mengumumkannya pada hari Selasa, 10 Juni 2014 di www.mokamedia.net. Kesepuluh naskah tersebut kemudian akan diterbitkan oleh Moka Media dalam bentuk bunga-rampai (antologi).

Pemenang berhak atas hadiah sebesar Rp2.500.000,- dan paket buku Moka Media

Setiap pemenang unggulan berhak atas honor pemuatan sebesar Rp 500.000,- dan paket buku Moka Media.

Lebih lanjut info ini, silakan kunjungi website Moka Media.

Sabtu, 24 Mei 2014

Berbincang dengan Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma. Penyandang nama Jawa ini lahir di Boston, Amerika Serikat 19 Juni 1958. Ia memiliki tinggi badan di atas rata-rata orang Indonesia, perutnya sedikit buncit. Rambut gondrongnya mulai dipenuhi uban. Dari dulu sampai sekarang, jambang dan kumisnya tebal. Sorot matanya tajam, tapi terkesan cuwek. Tapi bukan ciri-ciri fisik yang membuat laki-laki anak Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo itu diperhitungkan di dunia kepenulisan, melainkan karya-karyanya.

Karya Seno bukan sekadar banyak dan menyentuh pelbagai ragam jenis tulisan, tapi juga selalu baru dan kreatif, dan oleh karena itu penerbit mencetak ulang karyanya, masyarakat mencarinya, mendiskusikannya serta menghargainya.

Seno menerima wawancara tiga kru Surah di mobil Avansa hitam yang joknya masih dibalut plastik. Seno nyupir sendiri, Dedik Priyanto duduk di sampingnya. Sementara Zakki Zulhazmi, M Sabqi, dan Hamzah Sahal, duduk di jok tengah. Bagian belakang mobil tampak penuh. Ada tas ransel, buku-buku, satu set CD Robert Johnson berjudul The Complete Recordings, sandal, sepatu, handuk, dan lain-lain.

Berikut ini sari wawancara yang berlangsung dua jam lebih, di sepanjang perjalanan dari Cikini hingga Kebon Jeruk. Kami menjadikan hujan deras dan macet saat itu sebagai teman, sehingga kami tetap ringan dan riang; wawancara, ketawa, wawancara, ketawa, sesekali berceloteh tentang motor polisi yang meraung-raung tak peduli, sesekali juga mengomentari bajaj yang cuwek.

Apa komentar Anda tentang sastra hari ini?

Saya itu tidak terlalu mengikuti.

Mengapa, Mas?

Enggaklah. Perhatian saya di yang lain. Saya kan bukan ahli sastra. Kalau ahli sastra itu bacasemua. Saya bukan. Ya, bebas saya..hahaha..

Apa yang sedang digeluti?

Apa saja, suka-suka.

Dalam sebuah wawancara, Anda katakan tidak ada sastra yang adiluhung. Bagaimana maksudnya?

Iya. Sastra saja tidak ada kok. Kenapa harus namanya sastra? Yang ada, tulisan semua itu boleh disebut sastra. Kenapa harus ada yang namanya sastra, dan ada yang bukan? Sudah kuno itu. Sastra dan bukan sastra itu nggak perlu ada. Kurang kerjaan itu.

Lalu disebut apa?

Sastra juga boleh, tapi ya tidak penting. Disebut tulisan juga boleh. Ya, kayak orang ngobrollah. Ngobrol boleh, tidak ngobrol juga tidak masalah. Sastra juga begitu.

Apa yang sedang Anda tulis sekarang?

Menamatkan Naga Bumi. Tapi dengan susah payah mengerjakannya. Ya seperti begini ini, macet, tidak ada waktu, dan lain sebagainya itu, yang harus disesuaikan. Harus a sosial dulu.

SGA tergolong penulis yang padat aktivitasnya. Mengajar di Institut Kesenian Jakarta, jadi pembicara di mana-mana, menulis untuk majalah, koran atau seminar, menulis novel dan skenario, melayani wawancara, dan tentu saja urusan keluarga. Tapi dia juga mengaku waktunya banyak habis di jalan, tapi juga tidak bisa menikmati suasana jalanan, tidak mampu cari makanan di tempat-tempat asyik di Jakarta, karena macet dan tidak aman.

“Saya suka sate kambing. Tapi tidak seperti Danarto yang mengejar warung sate di mana-mana. Saya cukup sate di sekitar TIM (Taman Ismail Marzuki, red.) saja. Kalau saya mengejar kabar warung sate andalan teman-teman, bisa gila saya..hahaha..,” ungkap Seno sambil terkekeh-kekeh.

: Judul di atas aslinya adalah 'Seno: Saya Hanya Ingin mengembara' dan dimuat di wawancara majalah Surah. Ingin lebih lanjut baca wawancara ini, sila ke sini.  

Senin, 19 Mei 2014

Kwitang

Kota adalah buku yang selalu dibaca. Sumber gambar
"Kalau kamu suka Chairil Anwar atau puisi klasik lainnnya, ada tuh di toko buku langganan saya,” kata Rangga.

“Oh ya di mana?” sahut Cinta penasaran. “Di Kwitang?”

Lalu sore harinya Cinta dan Rangga berjalan menuju Kwitang. Laiknya dua orang kekasih yang enggan mengungkap cinta, mereka bergandengan melewati lorong-lorong buku yang berjajar di sepanjang jalan, dan tepat di toko besar milik Gito Rollies, Cinta terpana dengan banyaknya buku yang ada di sana.

Begitulah, adegan dalam film AADC di atas cukup mengingatkan kita bahwa ada suatu tempat yang kerap difatwa sebagai surga buku. Itulah Kwitang, yang riwayatnya begitu panjang. Sebagian orang sepakat bahwa Toko Gunung Agung sebagai sang pemula, yang didirikan oleh pengusaha Tionghoa bernama Tjio Wie Tai (Mas Agung) pada tahun 1953 ini lambat laun menjadi toko yang diperhitungkan.

Lelaki yang kemudian hari berganti nama menjadi Mas Agung ini dekat dengan Bung Karno. Buku-buku karangan beliau pun diterbitkan seperti Di Bawah Bendera Revolusi (jilid 1&2) dan lain-lain. Nama Gunung Agung sendiri diambil dari terjemahan nama, Wie Tai, yang berarti ‘Gunung Besar’, merujuk nama Tionghoa pendirinya.

Pada penghujung 60-an, berdatanganlah para pedagang buku ke daerah Kwitang. Mereka menjajakan pelbagai buku bekas yang kadang tidak dijual di toko buku konvensional. Begitu terkenalnya kawasan yang berada di Jalan Kwitang Raya itu hingga membuat sivitas luar kota tergiur, dan tertantang untuk bertandang ke daerah ini hanya untuk satu tujuan; berburu buku.

”Itu dulu, saat masih di Kwitang, toko saya banyak disambangi tokoh dan orang-orang besar. Para penulis juga banyak,” ujar Johan (67 th), salah satu pedagang tertua yang ada di Kwitang. Lelaki yang telah memiliki 4 anak dan 5 cucu ini telah berjualan hampir 30 tahun di sini. Tak jarang beberapa tokoh menjadi langganan beliau, seperti Rosihan Anwar, Guruh Soekarno Putra, bahkan mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.

”Gus Dur lumayan sering ke sini.Bahkan sering ke rumah saya, dan makan di sana. Semenjak pindah ke sini (menunjuk lantai Pujasera, Blok M-red), beda pokoknya,” imbuhnya.

Lebih lanjut baca liputan saya tentang ini, sila baca

Senin, 12 Mei 2014

#CeritaEditor (1): Horor dan Hal-hal Lainnya yang Tak Ingin Kuceritakan

Saya tidak suka cerita horor, dan sebagaimana para penakut lainnya, mendengar cerita hantu bukan malah membuatmu berani. Itupula yang kualami.

Dan, silakan menikmati cerita saya di blog Moka Media ini.

Novel Kita yang Harus Kau Baca Sebelum Meninggal

Harus diakui, umur kesusasteraan kita memang belum panjang. Dan tentunya berimbas pada karya-karya bermutu yang dilahirkan oleh para penulisnya. Tapi, dari umur yang pendek ini ada beberapa karya yang bagus, dan tentunya layak disandingkan dengan karya-karya hebat dunia lainnya.

Salah satu karya itu adalah novel bertajuk 'Dari Hari ke Hari' karya Mahbub Djunaidi. Novel ini adalah pemenang dalam gelaran sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1974. Dan, novel yang bagus ini kini diterbitkan ulang oleh Surah Sastra, sebuah komunitas anak muda yang bergerak di literasi dan menerbitkan majalah bernama Majalah Surah.

Jika kau ingin baca tentang sejarah kemerdekaan kita, dan lebih uniknya, dalam pandang anak kecil, maka novel dari Hari ke Hari ini adalah kawan yang hangat untukmu.

Kebetulan juga, dalam proses penerbitan karya ini, saya turut pra-produksi. Yakni, menuliskan ulang karya yang sebelumnya diterbitkan Pustaka Jaya ini.

Lalu, apalagi yang harus kuceritakan padamu tentang novel ini?

Ya, saatnya kamu merasakan apa yang saya rasakan saat mengetik naskah novel ini. Ada geram, gelak tawa dan perasaan-perasaan lainnya yang tak mampu kuungkapkan. Persis seperti merasakan karya-karya dunia.

Bagaimana cara mendapatkannya? Silakan ke sini.


Jabat erat
Dedik Priyanto



Rabu, 30 April 2014

Orang-Orang yang Merindu


~ Pram

Sebut saja kami orang-orang yang merindu. Orang-orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan sosokmu yang entah; merupa bayangan yang hanya kami temukan di lembaran-lembaran lusuh yang saling berganti tangan.

Itulah kami, generasi yang tak pernah mendengar suaramu yang konon selalu keras jika berbicara itu.

Kami tumbuh dengan rapuh, selalu memandang masa depan seolah dunia yang retak dan merasa tiap waktu berjalan pada lorong yang senyap penuh rerimbun. Tak ada cahaya yang datang seperti sebuah pagi yang membangunkan lelaki muda dengan teriknya, yang ada hanyalah alarm denngan lengkingnya bergegas menyuruh kami terkesiap mengejar dunia yang entah.

Lalu muncul televisi yang merenggut kesadaran kami atas dunia sekitar, menculik jiwa kami dari permainan kelereng di sekitar atau rebutan suara dengan azan yang menyentak kala magrib tiba. Juga ponsel dan pelbagai kaca yang enggan berbagi dan mematikan senarai cakap yang sedari kecil kami genggam.

Kami tumbuh dengan luka yang tak pernah kami sadari; tentang suramnya masa lalu yang dibiarkan menjalar begitu saja menjadi kebenaran tunggal. Perihal pembunuhan-pembunuhan yang kami terima sebagai sebuah heroisme yang diajarkan sejak masa kanak dan  pembangunan-pembangunan fisik yang kami terima sebagai bagian dari dunia modern.

Selebihnya, tak ada yang sanggup membuat kami begitu gigih memertahankan ego yang kian rudin, sedikit ringkih, terkadang bengal dan begitu keras kepala terhadap sekitar. Seakan semuanya mengabur dan tak ada ruang tersisa atau semacam residu yang entah kapan kami akan menggenggamnya.

Kemudian muncul orang-orang itu.

Orang-orang yang mengjarkan kami untuk mengenalmu, pribadi-pribadi yang dikirimkan semesta untuk mengingatkan akan sosokmu.

Kini, bagi kami, hidup bukan sekadar beranak-anak pinak lalu mati bergumul tanah, atau bekerja dan bergumul dengan rutinitas yang entah.

Kami melihat hidup tidak hanya tanah retak yang terpaksa kami huni atau masa depan suram yang berusaha kami capai dengan segala pengetahuan.

Tak ada masa tanpa ada gejolak. Tak ada sejarah tanpa darah. Tak ada pekik perubahan tanpa ada leher yang tercekik. Dan kemanusiaan hanya menjadi bumbu masak bagi mereka yang gemar memeram masa lalu dengan culas. Kesadaran merupa bait suci yang tunduk pada keadaan.

Kami akan selalu menjadi generasi yang rapuh jika tak mengenalmu melalui lembar-lembar lusuh itu.

Kami akan melangkah ke lorong senyap tanpa jika tak bercakap tentang perlawanan yang telah kau lemparkan itu.

Kami adalah orang-orang itu, orang-orang yang merindu akan sosokmu kembali hadir menjadi nyala bagi bara api kami yang terus meredup.

Jakarta, 30 April 2013

Dibacakan saat haul ketujuh Pram di UIN Jakarta, 30 April 2013 dan berada dalam booklet Pram di UIN Jakarta dengan judul yang sama. Gambar diambil di sini.

Rabu, 23 April 2014

Mark Twain dan Buku


Itulah kata Mark Twain, dan saat ini entah kenapa banyak orang yang ingin jadi penulis. Padahal, yang lebih penting adalah menjadi pembaca. 

Happy World Book Day. 

Senin, 21 April 2014

Para Pencerita dari Yogya


Bertemu dengan para pencerita di Yogyakarta, dari kanan: Dewi Kharisma Michelia, Saya, Herjuno Trisno Aji, Desi Puspitasari dan Dimas Pamengkas. Mereka masih muda, beda dan berbahaya. Kami bertemu di antara riuhnya Malioboro, Yogyakarta (15/4).  Dari hasil perbincangan, tercetus sebuah nama yang tampak akan sangat asik jika kami realisasikan; Serikat Moka Yogyakarta. 

Dan, mereka sebentar lagi menyapamu dengan novel yang sedang mereka tulis.  

Rabu, 26 Maret 2014

Muasal Pendekar Tanpa Nama Seno Gumira Ajidarma


Saya belum menamatkan cerita silat setebal 815 ini, dan baru sampai setengah perjalanan. Tapi, entah kenapa, saya suka penggambaran Seno kala membincangkan kenangan dan muasal tokoh utama dari Pendekar Tanpa Nama, yang telah mengasingkan diri selama 50 tahun setelah berhasil membunuh seratus pendekar yang legendaris, dan kini berusia 100 tahun. 
~

Beginilah Seno mengisahkan pendekar itu;


Ibuku, perempuan yang kusebut ibuku, tidak menunggu waktu terlalu lama untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya tersebut kepadaku. Tidak lama artinya sampai umurku mencapai 15 tahun, ketika pasangan suami-istri yang selama ini bersikap, berlaku, dan memang selalu  kukira sebagai ayah dan ibuku membuka rahasia hidupku yang masih penuh ketidakjelasan itu.

Namun, kukira mereka bukannya menunggu, melainkan karena saat itu mereka berpamitan kepadaku untuk memenuhi tantangan bertarung menghadapi lawan yang tentunya mereka anggap jauh lebih unggul. Tampaknya mereka berdua tak akan pernah dapat kembalilagi kali ini, dank arena itu merasa perlu menceritakan peristiwa tersebut kepadaku.

Saat itu, aku tiak teralalu peduli dengan cerita tersebut. Hatiku tercekat  dan hancur karena mereka menyatakan betapa kepergian  mereka kali ini tidaklah untuk kembali.

“Biarlah aku ikut dengan kalian, Bapak, Ibu, biarkan aku ikut agar aku bisa membelamu atau ikut matai dalam pertarungan itu.”

“Dikau tidak perlu melakukanya, Nak, tidak perlu, karena inilah bagian kehidupan seorang pendekar. Itulah sebuabnya kami juga sengaja tidak ingin emiliki anak, karena sadar betapa jalan kehidupan seorang pendekar sebetulnya adalah jalan kematian—tetapi tidak dapat menolak jalan hidupmu yang berpapasan dengan jalan hidup kai, jadilah dikau anak kami yang telah sangat membahagiakan. Masa lima belas tahun terakhir ini adalah asa yang sulit membahagiakan hidup kami.”

Aku tertunduk. Airmataku menitik. Ayahku berbicara.

“Janganlah bersedih, Anakku, perlihatkanlah dirimu sebagai anak pasangan pendekar. Dalam perjalanan hidupmu untuk selanjutnya, sampai kelak dikau menjadi seorang pendekar ternama yang gagah perkasa, janganlah melupakan kenyataan bahwa dikau telah tumbuh dan dibesarkan oleh kami, Sepasang Naga dari Celah Kledung. Seorang pendekar tidak takut mati, pertarungan adalah bagian dari kewajiban hidupnya—seorang pendekar yang menolak bertarung akan mendapatkan nama buruk dan hidup terhina, sungguh nasib yabg lebih buruk dari kematian. Teguhkanlah hatimu, Anakku, jadilah anak seorang pendekar, karena jika dunia persilatan memang akan menjadi pilihan hidupmu, dikau akan sangat mengerti arti perpisahan ini.”

Aku mengerti, sangat mengerti, dan tidak akan bisa lebih mengerti lagi—tetapi ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti, ini soal perpisahan dengan orang-orang yang kaucintai. Perpisahan yang seperti sudah dipastikan akan berlangsung untuk selama-lamanya. Aku memang dilatih dengan segala cara untuk menjadi tabah dala penderitaan, tetapi inilah peristiwa yan sungguh berat kutanggungkan.

Airmataku mengalir deras membasahi pipi. Kenyataan betapa keduanya telah memungutku, dari nasib yang lebih jauh lagi dari pasti, telah membuat kepedihanku semakin tajam dan dala. Namun, sebelum mereka berangkat kutanyakan sesuatu.

“Siapakah sebenarnya namaku, Ibu?”

Ibuku tampak menahan airmata ketika telah duduk di atas punggung kuda.

“Kami tidak mengetahuinya, Anakku, kami tidak tahu namamu ketika menemukanmu dan kami membiarkannya tetap seperti itu. Kami tidak ingin mengubah jalan hidupmu meski kami wajib menurunkan ilmu silat agar dikau bisa membela diri dari bahaya yang menganca hidupmu, tetapi selebihnya kami biarkan dirimu tumbuh sebagai dirimu, kami hanya perlu selalu memupuk pertumbuhanmu itu.”

“Bapak, Ibu, jangan pergi.”

Namun, mereka tetap menarik tali kekang kuda mereka dan pergi. Ibuku masih menoleh dengan airmata berlinang yang tampak sangat ditahannya agar tidak menetes sama sekali. Kuda mereka masih melangkah perlahan di antara celah ketika aku berlari-lari di belakang mereka.

“Bapak, Ibu, katakan siapa lawanmu, agar bisa kubalas kematianmu!”

Ayahku masih terus melangkah ketika ibuku melompat turun dan memelukku erat sekali. Seperti masih terasa olehku betapa lembut ucapannya dan betapa merasa tenang aku dalam dekapannya, meski ternyata itu tidak berlangsung laa. Dari balik punggungnya kulihat ayahku tampak berhenti dan memandang kami.

Ibuku berbisik,“Hati-hati, Anakku sayang, sepanjang hidupmu…”

Lantas, ia melompat ke punggung kudanya dan melaju tanpa menoleh-noleh lagi. Aku memandang  merkea berdua menjauh dari balik tirai airmata sampai mereka lenyap keluar dari celah tebing dan tidak kelihatan lagi. Aku telah dilatih untuk tidak bersikap kekanak-kanakan dan karena itu aku tidak berlari-lari sambil berteriak-teriak menyusulnya, tetapi dalam dadaku terasa kedukaan yang teramat sangat dan tidak tertahankan.

Itulah kenangan terakhirku tentang kedua orang tuaku, sejauh kualami kebersamaanku dengan mereka sebagai ayah dan ibuku, kenangan tentang sepasang pendekar yang menjauh dan pergi, sepasang pendekar di atas kuda yang menyoren di punggung mereka… (Hal. 163-165)

PS: Kisah ini sengaja kutulis ulang, sebab menurutku, entah kenapa, ini seperti menggambarkan masa kecil Seno Gumira Ajidarma. 

Rabu, 12 Maret 2014

Antara Cinta dengan Titik dan After Rain

Dua penulis muda dan aktif memubliskasikan  karya mereka di media massa, barangkali kita  akan menemukan banyak nama. Dan, membincang  nama Bernard Batubara dan Anggun Prameswari  adalah pengecualian. Tapi, kali ini saya tidak akan membicarakan kiprah keduanya, cuma ingin sedikit bercakap tentang dua novel yang mereka terbitkan tahun lalu lalu.

Seperti catatan kecil saya sebelumnya di blog ini, saya tidak akan menimbang isi  ataupun kualitas sastra dari keduanya—walaupun  keduanya adalah cerpenis dan tentu menulis sastra—tapi lebih kepada, kenapa keduanya disukai pembaca dan kekuatan mereka dalam mengisahkan romantisme.

Sebelum beranjak ke dua novel tadi, saya teringat Motingge Busye dan Fira Basuki. Dua nama lawas yang mengisi lembar sejarah sastra kita dan juga produktif menulis karya--yang acapkali--dianggap populer. Dan keduanya, tetap produktif, dan nama mereka abadi.

Dan saat menuliskan catatan ini, saya teringat Nicholas Sparks. Entah kenapa saat membincang karya romantis berjenis ini, saya tidak akan pernah bisa mengenyahkan nama ini. Selain bahwa ia bercerita dengan gaya populer dengan cukup bagus, ia juga dianggap sebagai penulis kisah cinta nomor wahid di bidang ini, dan disukai pembaca.

Tentu hal ini bisa didebat, misalnya, kenapa tidak menyebut nama-nama penulis sastra semacam Gabriel Garcia Marquez yang mengisahkan Florentino Ariza dan  Fermina Daza di Love in the time of Cholera yang begitu sunyi dan romantis atau kisah haru antara Tomas dan Tereza buatan Milan Kundera The Unbereable Lightness of Being atau barangkali novel yang begitu kusukai, yakni kisah antara pelukis Otoko dan Oki dalam Beauty and Sadness dari Yasunari Kawabata, atau yang paling kontemporer antara Watanabe, Naoko dan Midori dalam Norwegian Wood dari Haruki Murakami.

Sebab lagi-lagi, Nicholas Sparks berada di jalur yang dianggap orang dengan jenis novel populer. Dan mungkin suatu saat nanti saya harus menuliskan pembedaan antara populer dan sastra.

Ah, kenapa saya tidak mulai-mulai mengisahkan dua novel tadi. Baiklah, saya akan mulai    membincangkan keduanya saja.

Pertama, After Rain

Kali mula membaca novel ini, saya merasa bahwa Anggun tetaplah orang yang piawai bercerita dan akan tetap berpatokan pada beberapa cerpennya di media massa yang kebanyakan berkutat persoalan perasaan, cinta, kehilangan dan kenangan. Dan itu pula yang menjadi kekuatan utama dalam novel bertebal 323 halaman ini.
Kenapa novel ini disukai? Menurut kawan saya yang juda editor, Faisal Adhimas, sebab kesedihan di dalamnya begitu menyayat. Dan saat itu bercerita sembari memeragakan proses bunuh diri; pisau yang disayatkan para pergelangan leher, sebagai orang patah hati yang sangat. Bagi pembaca, yang tentu  sedang patah hati dan berusaha menjejaki masa lalu yang pilu, novel ini akan jadi kawan.

Tapi, bagi saya, yang menarik justru adalah kisah seorang yang menjadi guru dan kehidupan anak-anak SMA. Ini yang menjadi kekuatan sebab si tokoh utama, Seren, memilih untuk menjadi  seorang guru dan menjalani laku hidup yang berubah--Sebelumnya ia adalah seorang sekretaris perusahaan.

Lazimnya karya remaja lainnya, kedekatan dengan objek akan membuat karya itu menjadi cukup diminati. Dan itu bagi anak remaja, tentu akan sangat senang jika di sekolah mereka ada guru yang cantik dan cerdas, dan tentu saja dekat dengan mereka.

Begitulah Anggun berhasil mengambil hati remaja dan pembaca, khususnya mereka yang sedang bersedih hati, serta membuatnya menjadi karya yang cukup digemari saat ini.

Kedua, Cinta dengan Titik

Membincang Bernard Batubara yang pertama kali terpantik dalam otak saya adalah sosial media. Penulis ini dengan sangat apik mampu memanfaatkan sosmed dan menjadikan dirinya arus perbincangan. Entah oleh para pembacanya--yang kebanyakan remaja--atau dengan komunitas literasi lain dengan lebih serius.

Cerita ini sebenarnya bertumpu pada alur Nessa, Demas dan Endru. Sosok Nessa menjadi tokoh utama yang mengaitkan konflik utama seorang perempuan kota yang sudah dapat tuntutan menikah dan keluarga yang bermasalah. Ia ditinggalkan ibunya yang lari dengan lelaki lain, dan ia dibesarkan oleh sang ayah sendirian. Dan Nessa dijodohkan dengan Endru.

Nessa, dengan pengalaman keluarga yang buruk itu, tidak ingin mengulangi hal serupa. Tapi, apa lacur, justru ia bertemu dengan Demas dan jatuh cinta. Demas sudah memliki tunangan dan siap menikah. Kisah cinta terlarang yang harusnya ia hindari, justru ia alami. Konflik pun terjaidi, dan singkat cerita keduanya pisah.

Hingga waktu juga yang mempertemukan kisah ini dan Nessa memahami apa yang dulu dipikirkan ibunya. Cinta memang selalu menemukan waktunya dan waktu itu bukan milik kita, begitulah kira-kira.

Tapi, entah kenapa, ketika membaca novel ini, khususnya ketika adegan ia menyadari apa yang dilakukan ibunya, dan ia melakukan hal yang serupa laiknya takdir yang harus dijalani, saya teringat film India bertajuk 'Tab Eik Hain Jaan' yang dibintangi Shah Rukh Khan.

Cerita ini, bagi pembaca, tentu akan semakin memperkuat Bara, begitu penulis ini biasa disapa, sebagai novelis yang disukai. Khususnya saat menulis romance seperti halnya novel sebelumnya Radio Galau FM, Kata Hati dan lain-lain. Dan, ia harus memperbaiki gaya bercerita dan bukan hanya persoalan keindahan kata-kata. Sebab lagi-lagi, cerita adalah cerita. Ia mengisahkan segalanya, dan keindahan kata-kata bukanlah segalanya. Yang penting adalah cara bercerita yang membuat orang percaya bahwa kisah yang kau bikin itu nyata.

Dan dalam kasus ini, Cinta dengan Titik, yang dipenuhi dengan bahasa-bahasa puitis memang menjadi kekuatan tersendiri bagi pembaca remaja. Banyak yang bisa dikutip dan dijadikan sesuatu di twitter, misalnya. Dan itu akan membuatnya kian laris. Bara berhasil melakukan itu. Sesuatu yang susah dilakukan oleh penulis  lain.

***

Begitulah uraian dua penulis muda dengan dua novelnya. Tentu saja, hal ini sangatlah subjektif. Toh, cerita tetaplah cerita dan jika dikembalikan pada pembaca, akhirnya mereka juga yang menentukan apakah mau membaca atau tidak.

Dan bagi remaja, atau pembaca novel romantis lainnya, dua novel ini cukup untuk dibaca sebagai pelepas lelah jika Anda penat bekerja atau sekolah.

Kira-kira begitu

@DedikPriyanto