Ada dua fakta penting yang harus kau ketahui sebelum terperosok lebih jauh ke dalam buku ini. Pertama, cerita-cerita di sini akan membuatmu sakit dan menyuruhmu pulang kampung sesegera mungkin—kalau dirimu adalah perantau yang telah lama tak sanggup pulang, entah karena biaya,nasib buruk yang membuatmu gagal pulang atau sudah tidak dianggap bagian dari kampungmu lagi, dan barangkali yang paling menjengkelkan: ada bagian dari masa lalu yang ingin kau kubur dalam-dalam. Kedua, silakan simak baik-baik fakta pertama dan persiapkan dirimu dengan kemungkinan besar bahwa segala sesuatu yang ada di sini hanyalah omong kosong belaka.
Sebelum segalanya tampak kacau dan membuat sakit kepala, saya akan mulai bercerita tentang dua penulis buku ini. Dua orang yang sudah lama saya kenal dan memiliki bakat alamiah yang diinginkan semua orang waras di dunia: bercerita dengan bagus. Saya sangat yakin, dua makhluk ini diciptakan ketika Tuhan sedang hobi mendongeng.
Orang pertama adalah Abdullah Alawi, kami biasa memanggilnya Abah atau ajengan atau Alawi. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sunda, ia orang yang paling tepat diajak bercakap. Saya mengenalnya sebagai lelaki dengan rambut gondrong sebahu, kulit kuning langsat,kemampuan bergitar yang pas-pasan, serta ketidakmampuan mendapatkan pasangan kala akhir pekan tiba. Tapi soal kemampuan bercerita, di antara kami, jelas Alawi juaranya.
Sayangnya, orang ini tidak pernah mengirimkan cerita-cerita yang ia buat ke media massa arus utama. Kalau toh mungkin pernah, itu hanya sekali-dua. Itupun setelah bujuk rayu kami, sejawatnya. Berkali-kali saya memintanya untuk mengumpulkan cerita dan mulai mengirimkannya,tapi berkali-kali pula ia menjawab pendek, “Aku menikmati cerita-cerita ini di komputer dan ini adalah kesenangan pribadi.”
Begitu gemasnya, saya pernah memiliki keinginan buruk, mencuri cerita yang ia bikin, lantas mengirimkannya. Tentu saja tetap dengan nama Abdullah Alawi sebagai penulis. Tapi rencana itu urung saya lakukan. Dan meski begitu, beberapa kali cerita pendeknya dimuat di sejumlah majalah, zine dan tabloid terbitan pelbagai LSM.
Cerita-cerita Alawi di sini umumnya tak jauh dari tema orang-orang biasa, kerinduan akan rumah dan kampung halaman. Dari sekitar 30-an cerita yang saya baca dengan ragam tema, dengan pelbagai pertimbangan, saya memilih lima cerpen: Gula Kawung, Jalan Aspal Bulan Lima, Listrik Mati Lagi, Jalu Mengasah Golok, serta Antara Ibu dan Ayah.
Listrik Mati Lagi adalah cerpen Alawi tentang sebuah desa yang kerap mati listrik. Kisah yang biasa, tapi ternyata di dalamnya ada sepasang orang yang tidak tahan hidup dalam keadaan menghimpit, keduanya memilih mengakhiri hidup anak-anak mereka. Listrik adalah metafora yang membuat pembaca terkecoh dan percaya bahwa, segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan ini, mungkin hanyalah bualan. Hal serupa juga terjadi pada cerita Jalan Aspal Bulan Lima, yang mengangkat janji dari perangkat desa akan pembangunan pada bulan kelima, janji tersebut terlanjur menjadi mitos yang turun temurun dan dianggap sebagai kebenaran.Sedangkan Gula Kawung mungkin lebih layak disebut sebagai cerita mistis tentang kepulangan seorang pada kampung halamannya dan menjadi pewaris generasi yang hilang; para penyadap pohon aren.
Cerpen Jalu Mengasah Golok adalah bentuk satir yang lain; tentang kebosanan pada hidup dan omong kosong orang-orang kampung dengan golok yang saban hari diasah Jalu. Lalu, cerita bertajuk Antara Ayah dan Ibu menyoroti bagaimana seorang anak mendapati kebingungan sikap kedua orang tuanya. Cerpen ini begitu asyik bermain dengan segala omong kosong dan ketidakjelasan, tapi dituturkan dengan gaya yang begitu jenaka.
Orang kedua yang ingin saya ceritakan adalah A. Zakky Zulhazmi; lelaki dengan tubuh agak gempal, pakaian yang selalu rapi dan rambut laiknya pemuda yang terlahir jaman revolusi. Ia seorang yang menggeluti studi media. Di sela-sela aktivitas akademiknya, ia juga melakukan banyak hal sebagai seorang cerpenis, pengamat kuliner, komentator, penasihat politik yang-yangan, penakluk hati perempuan, pencinta mie goreng Mas Ari garis depan. Baiklah, tiga yang terakhir agaknya berlebihan.
Zakky memang terlahir sebagai orang kreatif dan produktif. Tak heran, tulisannya tersebar di pelbagai media dan acapkali dibukukan. Zakky adalah kebalikan dari Alawi yang selalu tampak kesepian dan menikmati kesendirian sebagai jalan hidup. Zakky hidup berkomunitas sejak masih sekolah di Solo. Komunitas Ketik, Karpet Merah, Senjakala dan Surah Sastra adalah tongkrongan tempatnya berproses.
Dari sana pula, lahir pelbagai cerita pendek yang ia kirimkan ke media massa, dan beberapa kali pula memenangkan lomba menulis. Saya cukup kebingungan ketika harus memilih lima cerita di buku ini, mengingat orang ini begitu produktif dengan cakupan tema yang cukup luas. Tercatat ada dua kumcer, tiga antologi dan tulisan lainnya.Total, ada sekitar 40-an naskah yang harus saya pilah, dansaya pun mengambil garis cerita; kampung, kepulangan dan kenangan masa kecil.
Cerpen pertama yang saya pilih bertajuk Masjid Abah, cerita yang mengingatkan satu keluarga akan kehilangan yang mereka alami; sebuah masjid yang menjadi penanda tumbuh,juga kenangan yang sebenarnya ingin terus mereka pelihara tapi terbentur realitas. Sama halnya dengan cerita Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya, berusaha menautkan peristiwa bencana alam Situ Gintung dengan sudut pandang percakapan orang-orang kampung dan kerinduan akan sebuah situ pada masa silam.
Cerpen bertajuk Tak Ada yang Minum Kopi Malam Ini sebenarnya juga berhasrat serupa. Sebagai orang yang tumbuh di Ponorogo dan Solo, Zakky seolah ingin meneguhkan angkringan sebagai penanda ruang bertemunya warga dan tentu percakapan yang hangat lainnya. Namun, tatkala politik dan persaingan bisnis kian meruyak dan mulai menggerus, semua jadi tampak konyol. Salah satu poin menarik dari Zakky adalah eksplorasi sudut pandang.
Di sisi lain, dalam cerita bertajuk Diam-Diam Aku Simpulkan, Alangkah Indahnya Rahasia, Zakky berkisah tentang kehidupan seorang Amik yang ditinggal orang tuanya. Cerita yang biasa, bukan? Tunggu dulu, silakan baca sampai usai dan temukan bahwa sudut pandang juga akan mengecohmu dan menjadi omong kosong. Senada dengan cerpen ini, Pohon Avokad juga menyiratkan hal serupa; kenangan adalah soal omong kosong yang terus dipelihara.
Lima kisah Zakky yang ia ceritakan di sini akan membuatmu kian bertanya: apakah kenangan itu hanyalah bualan, omong kosong yang tidak penting? Tapi kenapa membuatmu tampak lunglai, nyaris tanpa kekuatan apapun jika harus mengingatnya? Dan, jika kau percaya bahwa kesunyian adalah wajah lain dari omong kosong itu, maka cerita-cerita di sini merupakan kawan hangat, yang mengajakmu terus bercengkerama, hingga membuatmu mengumpat dan tertawa.
Zakky dan Alawi adalah dua penulis yang memiliki bakat bercerita yang baik. Mereka bercerita dengan asyik dan renyah. Membaca keduanya, kau akan merasa seperti kedatangan seorang kawan jauh yang tak henti-hentinya berkisah tentang hidupnya, masalahnya, kampungnya dan omong kosong lainnya. Kau tentu tidak akan melewatkan bertemu kawan lama yang begitu pandai bercerita, bukan? Tugasmu adalah menjadi pendengar yang baik, menyiapkan bercangkir-cangkir kopi dan menemaninya bercakap sampai pagi tiba. Cerita-cerita dalam buku ini coba mengisahkan orang-orang biasa dengan gaya tutur yang lancar mengalir.
Tentunya akan lebih manis lagi jika mereka senantiasa berinovasi dan terus meningkatkan kemampuan, misalnya, dengan memakan buah terong tiap hari dan keramas tiap malam. Baiklah itu omong kosong. Tapi, dengan umur yang masih begitu muda, sebaiknya mereka senantiasa memperbaiki gaya bercerita. Apalagi keduanya bergiat bersama di satu komunitas anak muda: Surah Sastra.
Surah, sebetulnya sudah lama mengupayakan penerbitan buku ini. Belakangan didorong lagi oleh salah seorang kolega, Savic Ali. Sejatinya ia adalah seorang ‘provokator’ yang terlatih dan piawai, sehingga buku ini bisa terbit dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ke depan, Surah berkomitmen menerbitkan buku-buku bagus lainnya. Percayalah, buku bagus akan membuatmu senantiasa menjadi orang waras di tengah dunia yang bising dan menyebalkan ini.
Kira-kira begitulah catatan singkat ini atas sepuluh cerpen Zakky dan Alawi. Tidak ada catatan ilmiah, juga hal-hal jelimet laiknya sebuah pengantar. Ini adalah kesaksian biasa seorang sahabat kepada sahabatnya yang masih biasa juga. Tentunya kau bisa membuat kesaksian yang serupa.
Tapi, apakah kau masih percaya omong kosong ini?
Jabat erat,
Dedik Priyanto
NB: tulisan ini terdapat dalam pengantar kumpulan cerpen dua kawan saya, Zakky Zulhazmi dan Abdullah Alawi, yang bertajuk 'Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya' dan diterbitkan oleh penerbit Surah, Komunitas Surah Sastra. Silakan ke majalah surah jika ingin memiliki buku asyik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar