Halaman

Kamis, 05 Desember 2013

Ketika Jodoh Bukan Sekadar Puisi

Bila pernikahan adalah legalitas cinta hubungan sesama manusia, maka sudah selayaknya titik pijaknya adalah cinta. Namun, jika cinta itu berusaha dipudarkan akibat keterpaksaan dan kepiluan keadaan, maka untuk apa Tuhan menciptakan cinta?

Cobalah tanya para penyair, berapa larik bait puisi yang telah mereka cipta. Lalu tanyakan kembali, untuk ia membuat bait-bait cinta? Percayalah, cinta yang mendatangi mereka dengan rahasia dan tanpa disangka.

Kiara, perempuan manis berwajah sendu yang suka berpetualang itu telah salah. Ia begitu rendah dalam memandang hidup hanya sekadar tanjakan-tanjakan seperti halnya ragam gunung yang terus berusaha ditaklukan, dengan pelbagai bekal yang telah dipersiapkan sebelumnya; ilmu, agama dan kepercayaan orang tua.

Tapi saya salah.

Ya, Cinta tidak salah, tidak akan pernah salah. Cinta tidak pernah salah untuk memilih. Sebab ia hadir sebagai pertitur retak yang membutuhkan dua manusia untuk menyatukannya, sesuatu yang, seperti diterakan Goenawan Mohammad dalam Sajak ‘Kwatrin Tentang Sebuah Poci’, sesuatu yang kelak retak dan kita membuatnya abadi, entah di kehidupan ini—atau bahkan nanti.

Kiara tidak akan pernah salah dalam jatuh cinta, sebab ia tidak pernah meminta, tapi ia datang seperti halnya hujan yang datang tiba-tiba kalau kau berada di siang yang terik. Ia bekerja seperti tagihan kredit yang tiba-tiba habis tanpa bisa kau sadari penggunnannya.

Dan pecinta yang menghabiskan hidupnya dengan gunung sebagai ganti, seperti sebuah bunga layu yang ia kasihkan kepada Kiara sebagai pengganti dirinya yang telah mengerti sasmita gaib yang dititahkan semesta; cinta itu suci, sebab Tuhan juga suci, tapi manusia hanya menganggapnya sebagai bait tanpa arti. 

Ia mengabdikan dirinya pada semesta dan memeluk cinta ini sebagai seorang ksatria yang tidak pernah mundur dan menantang sejauh nirwana kelak akan melukiskan cinta mereka. Seperti kata kalian berdua, cinta lebih tua dari agama. 

Puisi yang Koyak

Puisi adalah puncak dari bahasa. Ia lahir dari rahim keteduhan dan berwujud dalam kata-kata, dan cinta adalah emosi yang melahirkan segalanya, termasuk dua anak manusia yang dipisahkan manusia lainnya itu.  Lalu ketika semuanya koyak oleh sesuatu yang lebih muda dari puisi dan cinta, dimanakah keduanya akan bersemayam di rongga manusia?

Kiara dan bunga adalah perwujudan kasih suci-Nya. Jika ia bukan pemegang teguh agama ciptaan-Nya, tentu ia sudah melakukan hal yang buruk dengan mengorbankan kesucian Dewi untuk melanggengkan pernikahan itu.

Tapi bukan itu yang ia inginkan, ia sudah berusaha untuk meneduhkan, memberi suara yang telah begitu takut kehilangan orang tua--dan agamanya. Ketakutan ini  yang berusaha untuk ditaklukkan keduanya, tapi realitas terkadang lebih memilih untuk mengoyak hati mereka berdua.

Dan puisi itu terkoyak, tapi cinta kian besar. Hingga sampai pada akhir, Kiara menikahi lelaki yang diimpikan kedua orang tuanya dan hidup menikam hatinya sendiri dan tenggelam bersama suka yang terus berselimutkan duka.

Lalu ketika pernikahan itu enggan sampai purna, dan Kiara memilih kembali kepada alam, semuanya telah begitu senja. Ia berkabung dengan bunga kering yang akan disiapkannya menjemput cinta, ia terkubur bersama cinta dan dirinya sendiri.

Cinta lebih tua  dari agama, sebab dari cinta pula Tuhan menciptakan manusia dan menciptakan agama. Sebab cinta oleh kedua orang tua mereka ditafsirkan sebagai luka yang harus segera dicarikan obat, jika tidak hanyutlah mereka dalam neraka.

Puisi itu telah koyak, dan kematian hanyalah, seperti sebuah sajak Acep Zamzam Noor 'Seperti Cinta dan Maut'; seperti sepasang kekasih yang ditakdirkan berjauhan. Seperti cinta dan maut yang saling merindukan.

Surga dan neraka bukanlah kuasa manusia, tapi rasa cinta itu khusus diperuntukkan untuk manusia. Begitulah.

 @DedikPriyanto