Halaman

Senin, 30 September 2013

Tafsir Jokolodhang

Oleh: Jakob Sumardjo

Penyair istana zaman Surakarta, Ronggowarsito (1802-1873), adalah "pujangga terakhir" dalam tradisi keraton-keraton di Indonesia. Dia mengabdi sebagai pujangga pada zaman raja-raja Pakubuwono VII (1858-1861) dan Pakubuwono IX (1861-1893) terutama pada raja yang disebut terakhir. Sebagai layaknya seorang penyair dan intelektual umumnya dimana saja, dia sangat peduli pada kondisi zamannya, dan menilai kondisi itu dalam esensinya sehingga menemukan nilai-nilainya uyang mampu mengatasi zamannya sendiri. Inilah sebabnya karya-karya besar para penyair dan seniman selalu aktual kembali, apabila kondisi zaman serupa terulang kembali di masa-masa kemudian.

Salah satu karya puisinya yang terkenal adalah Jokolodhang yang hanya terdiri dari sembilan syair. Puisi ini mengenai zaman perubahan sosial yang berakibat pula pada moralitas manusia-manusianya. Bagaimana kekeuasaan, kekayaan, jabatan telah dijungkirbalikan, dan bagaimana itu semua memengaruhi tabiat mereka yang terlibat di dalamnya.

Saya belum pernah menemukan terjemahan puisi in, kerenanya saya berusaha menerjamahkan semampu saya, karena banyak kosakata Jawan yang sudah tak hidup lagi sekarang, dan lagi pula ini bahasa para penyair,"penguasa kata-kata" itu

"Jokolodhang bergantung
tiba di dahan lantang berseru
ingat-ingatlah kehendak Yang Mahakuasa
gunung runtuh, jurang bangkit
para perwira terusir kalah perang. Tapi jangan keliru
Ketahuilah ujar pasti itu
Meski gunung runtuh pasti
namun masih tampak bekasnya
Beda dengan jurang lata. Meski jurang bangkit
tapi tanpa dasar akan gampang runtuh
Semua itu terjadi menurut kehendak-Nya
bila sampai pada tahun bertanda
Hilang lenyap tata tertib manusia.

Yang diimpikan tak terwujud
yang diinginkan tak tercapai
yang tersusun akan rubuh
Meraih keluhuran menemu comberan
Yang agung kehilangan keagungannya
yang jelata tak ingat jelataannya

Yang alim cuma alir di luar
putih di luar kuning di dalam
kaum pemuka giat bermaksiat
madat madon minum  main
mereka membanting surban putihnya
wanita tak ingat kewanitaannya
wibawa terletak pada harta
semua kesana tujuannya

Para saudagar bangkrut
di zaman kena tulah ini
ingin menguasai isi dunia
tapi kesengsaraannya semakin memuncak
tiada kebijakan dalam mengisi hidup
itulah tandanya
ujung derita kemiskinan
kalau sudah benar-benar bertobat
amat sengsara menerima kata hati nurani

Sang perawan bertopang dagu mahaduka di kalbu
Jokolodhang bersabda lagi
semua itu ada hikmahnya
ramalan yang pasti terjadi
upayakan agar terjadi. Ramalan masih akan terjadi
    tahun-tahun ini
itulah kehendak Yang Maha Kuasa

Ibaratnya orang mengantuk menemukan gamelan kenthuk,
bertebaran di sepanjang jalan
Bahagialah dia menemukannya
karena di dalamnya tersimpan ratna mutu
    manikam

Begitulah kurang lebih bentuk puisinya. Ronggowarsito seperti hidup kembali menyaksikan zamannya lagi. Sebuah zaman yang jungkir balik. Yang dahulu berkuasa, kini tidak berkuasa. Yang dulu menjadi korban kekuasaan kini ganti memegang kekuasaan. Yang dulu kaya sebagai saudagar besar, kini diambang kebangkrutan.

Semua orang menderita sekarang ini, seperti sebuah zaman kena kutuk.

Orang, yang karena jabatannya, harus hidup bersih, ternyata mengidap penyelewengan. Orang yang dulu baik-baik sebelum meningkat hidupnya, kini menjadi tidak baik dalam statusnya yang baru.

Tetapi manusia yang benar-benar 'raja' di lubuk hatinya, ia akan tetap seorang raja meskipun sudah tidak berkuasa, meskipun sudah tidak kaya, meskipu sudah di alas paling bawah. Sedangkan si jelata yang mencoba menjadi raja tetap rakyat yang meraja.

Ada yang berkuasa tetapi tidak pernah memergunakan wewenang kekuasaannya. Dia berkuasa dengan wewenang keadilan yang disetujui semua hati nurani yang dikuasai. Tetapi ada yang mabuk kepayang oleh kekuasaan yang diperolehnya. Manusia-manusia  semacam ini seperti rakyat kelaparan yang menemukan timbunan sembako, tidak tahan untuk merampoknya habis-habisan.
Sedangkan yang dari sononya memang sudah raja, memang sudah kaya, tidak akan kaget dengan godaan harta benda. Orang begini tidak mungkin KKN. Orang begini tidak mungkin sewenang-wenang karena sejak kecil permainannya kekuasaan. Dia dilahirkan untuk berkuasa.

Dalam zaman yang jungkir balik in iorang tidak insyaf akan asal-usulnya. Siapakah aku ini? Bukankah dari orang tua miskin yang harus berkeringat deras untuk menghidupi seluruh keluarga? Dan sekarang aku kaya raya, bukankah tugasku membalas dendam terhadap kemiskinanmu dahulu? Bukankah tugasku mengambil kesempatan untuk tidak jatuh kembali dalam hidup "sehari makan, sehari tidak"? Apa peduliku terhadap mereka yang masih merangkak di bawah seperti keadaanku dahulu? Bukankah wajar-wajar saja kalau semua impianku di masa miskin dahulu itu harus aku wujudkan sekarang ini? Bukankah setiap anak petani selalu bermain menjadi raja-rajan?

Siapakah aku ini? Bukankah sejak lahir aku selalu dilayanin orang? Minta apapun tentu disediakan? Bukankah sejak dului porsi makanku kecil saja? Aku sering heran menyaksikan para pembantuku yang setia-setia itu selalu makan nasi sepiring penuh dan menggunung. Apakah ruang perut manusia tidak sama? Para priyayi makan seperti kucing, rakyat jelata makan seperti kuli? Bukankah aku sejak dahulu tidak pernah kekurangan. Benar aku tidak pernah pegang uang, tetapi semua kebutuhan datang kepadaku.

Kalau aku berkuasa sekarang, bukankah hal itu yang selalu diajar padaku? Kalau aku berkuasa, aku tetap akan makan sedikit, aku tetap tak bawa uang, aku tetap bekerja seperti layaknya manusia lain bekerja. Seperti sekertaris harus menulis, seperti petani harus mencangkul, seperti pencari rumput harus menyabit rumput, Bukankah itu luarbiasa? Kalau aku berkuasa untuk apa mencari kekayaan? Bukankah warisan kekayaanku lebih dari cukup untuk menjamin hidup anak cucuku, meskipun, misalnya aku dipanggil mendadak? Impianku? Impian sejak kecil tercermin dalam mainan kanak-kanakku.

Waktu itu kami gemar bermain menjadi petani-petani miskin, orang miskin itu. Baju kami sengaja dirobek-robek, wajah kami sengaja dicelemong. Alangkah indahnya menjadi petani, orang miskin itu. Impianku menyatukan diri dengan merka yang miskin seperti dahulu pernah pernah saya mainkan di masa kecil.

Inilah zamannya "gunung jatuh, jurang bangkit". Namun, "gunung" tetap akan gunung, sedang yang jurang akan tetap jurang, meskipun sekarang ini sedang terjadi "gunung". Manusia gunung yang sejati tidak akan pernah runtuh meskipun tampaknya sekarang menjadi jurang. Sedangkan orang-orang jurang tetap saja berkarakter jurang meskipun tampaknya dia menjulang.

Manusia otentik, manusia sejati, manusia yang jujur pada dirinya sendiri, itulah yang dicari Jokolodhang. Dia boleh kaya, dia boleh miskin, dia boleh rakyat jelata, dia boleh dari keluarga berpunya dan bermartabat, tetapi jujurkah mereka pada sangkan parannya itu? Jujurkah pada hati nuraninya yang terdalam?

Semua kutuk zaman ini adalah akibat dari kemunafikan manusia. Karena kemunafikan, ketidakjujuran, maka:"hilang tata tertib manusia". Bersyukurlah bahwa dirimu ditakdirkan untuk menjadi gunung, dan jadilah yang sebenar-benarnya gunung. Sebab, pada suatu kali gunungmu itu akan lenyap, tetapi jagalah agar kegunungananmu tidak lenyap di hati rakyat.

Gunungmu adalah gunung sejati, meskipun pada suatu kali akan rata dengan tanah, tetapi mereka akan membuat legenda tentang gunungmu itu. Dan jangan sekali-kali membuat gunungmu digoncang-goncang untuk dirubuhkanb. Engkau tetap gunung, meskipun asalmu dari jurang atau gunung sejak mulanya.

Penyair Ronggowarsito percaya pada kaidah moral tua, bahwa kemunafikan dan ketidakjujuran dalam segala bentuk kekuasaan, hanya akan mendatangkan penderitaan manusia. Itu kepastian."Kehendak Yang Maha Kuasa". Itulah sebabnya digambarkan, Sang Perawan, Ibu Pertiwi, berduka cita oleh ulah para pemimpinnya.

Puisi ini ditutup oleh penyairnya dengan gambaran bagaimana orang yang setengah mengantuk menyusuri jalan pulang, dan ditengah jalan menemukan kethuk, instrumen gamelan pelengkap, kurang berharga dan berperan sebagai instrumen, tetapi ternyata di dalam relung kenthuk itu ditemukan ratna mutu menikam yang amat berharga.

Jadi jangan mengabaikan ajaran yagn amat sederhana ini: kejujuran hati nurani, sebab disitulah terletak nilai-nilai tinggi umat manusia.

Post scriptorium: selepas menyaksian penahbisan Sapardi Djoko Damono oleh Jeihan di acara #LimaRukun hari di Bandung kemarin, Sabtu (28/09), saya teringat pernah membaca ulasan tentang syi'ir Ronggowarsito. Kebetulan salah satu orangnya juga yang menahbiskan SDD dalam buku #LimaRukun, yakni Jakob Sumardjo. Saya tulis ulang di buku Pak Jakob bertajuk Manusia Indonesia (2001) hal .204-207

Kamis, 26 September 2013

TIM: PENGUKUHAN PEMERINTAH DAN KEBEBASAN SENIMAN

oleh: Ali Sadikin
Sebagai Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, tentu saja saya ingin jadi gubernur yang baik. Dalam karir saya, dengan takdir Allah, dimana-dimana saya bisa berhasil. Dasarnya sangat sederhana: bagaimana saya bisa melayani masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta. Yang menjadi beban ibukota negara.

Hal ini berbeda dengan Surabaya atau Bandung, misalnya. Sebagai ibukota--dan itu berarti pusat pemerintahan, tentu saja Jakarta harus bisa menampilkan wujud kecil Republik Indonesia.

Ketika saya baru diangkat menjadi gubernur DKI Jakarta, jumlah penduduk Jakarta mencapai 3,6 juta jiwa. Padahal pada zaman Belanda, Jakarta disiapkan untuk enam ratus jiwa.

Jadi, saya mendapat beban tiga juta jiwa. Akibatnya, antara lain, setiap Agustus anak-anak sekolah ribut, pasar-pasar penuh sesak, membludak. Sebagai angkatan laut, sebelumnya saya tidak pernah memikirkan hal itu.

Saya berpikir, Jakarta harus menjadi kebanggaan negara. Apalagi, pemerintah sedang berusaha menarik modal asing. Persoalannya, bagaimana modal asing bisa masuk kalau para pemilik modal itu melihat istana yang tidak bersih, kota penuh sampah, gedung-gedung tidak teratur, misalnya. Jadi, saya harus bisa menjual kota ini, dalam arti memberi kehidupan pada warga masyarakat.

Kebetulan juga, ketiga bertugas di Angkatan Laut, saya pernah mendapat tugas ke luar negeri; Paris, Berlin, London, Wina, Tokyo, Washington, New York. Kalau saya datang ke kota-kota ini, tentu saja saya dibawa pejabat atau Duta Besar dan stafnya berkeliling kota. Biasanya, yang mereka perlihatkan pertama-tama adalah istana negara. Di samping itu, saya juga dibawa ke Gedung Parlemen, Mahkahah Agung, stadion dan teater.

Saya merenung, kenapa saya dibawa ke tempat-tempat itu. Tampaknya, apa yang mereka perlihatkan adalah simbol-simbol. Parlemen merupakan simbol demokrasi. Mahkamah Agung merupakan simbol keadilan, hukum. Dan teater adalah simbol seni budaya.

Sementara itu, saya telah menggariskan juga untuk menjadikan Jakarta sebagai kota dagang dan industri. Pada zaman Belanda, yang disebut kota dagang dan industri adalalah Surabaya, bukan Jakarta. Tetapi, orang bisa memprotes kebijakan ini; Jakarta akan rusak kalau dijadikan kota dagang dan industri!

Memang, kota dagang dan industri akan rusak kalau tidak diatur dengan baik. Tetapi, kebijakan itu harus saya jalankan terutama untuk menampung penduduk yang 3,6 juta jiwa itu. Tetapi kebijakan itu harus saya jalankan terutama untuk menampung penduduk yang 3,6 juta jiwa itu. Sebab saya merasa tidak akan bisa menampung mereka tanpa menjalankan kebijakan tadi.

Ketika saya pergi ke Belanda, saya menjadi tahu bahwa yang membangun kota-kota di sana adalah pera pengusaha. Tapi akhirnya saya berpikir lagi, kalau kegiatan kita hanya sampai di sini., tanpa ada kegiatan seni budaya, dimana sesungguhnya kita berada?

Sampai pada suatu pagi, datanglah Ilen Surianegara yang saya kenal ketika masih di Sekolah Rakyat, Bandung. Isterinya, Tating, juga kenalan baik iseri saya. Ilen datang bersama dua orang seniman, Ajip Rosidi dan Ramadhan K.H. Rupanya, Illen tertarik dengan masalah seni budaya.

Pertemuan kami bertiga itu menjadi titik awal pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang kemudian bernama Taman Ismail Marzuki (TIM). Pada tanggal 7 Juni 1968--kalau saya tak keliru--Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) saya lantik. Dan pada tanggal 10 Nopember 1968 Taman Ismail Marzuki saya resmikan.

Bayangkanlah sekarang: pada zaman Bung Karno, seni budaya dipakai sebagai alat politik, karena politik adalah panglima. Tentu saja, dengan pemebntukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Taman Ismail Marzuki (TIM) ini, kecurigaan orang-orang begitu besar. Memang, seniman-seniman yang datang menemui saya itu adalah seniman-seniman yang (ingin) bebas dari politik, tapi mereka memberikan kepercayaan kepada saya.

Oleh karena itu, kepada mereka saya mengatakan, bahwa saya tidak tahu seni budaya. Yang saya tahu adalah bahwa seniman itu sulit diatur.

Karena saya tidak tahu soal seni budaya, maka pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) saya serahkan pada seniman. Saya memberik mereka kebebasan untuk menyusun program-program yang akan dilaksanakan. Aparat DKI saya larang campur tangan dalam kebijaksanaan budaya Dewan Kesenian Jakarta.

Post Scriptorium: Tulisan di atas saya tulis ulang dari tulisan Ali Sadikin di majalah  Horison/11/XXIVIII/66.  Saya merasa, saya menemukan Ali Sadikin di tubuh Jokowi
selepas menghadiri orasi Jokowi di Harlah Wahid Institute ke-9 di Matraman, Kamis (26/09).

Sabtu, 21 September 2013

Menunggumu, yang Berharga Hanya Rindu

Kalau ada seseorang yang berharap agar sebuah jembatan menjadi jebol dilanda banjir dari hujan deras berjam-jam--dan itu merupakan harapan yang keji dan kejam--maka akulah seseorang yang sedang berharap-harap itu.

Jembatan yang kumaksudkan merupakan satu-satunya jalan penghubung antara dusunku dengan dusun yang lain yang mengarah ke kota. Jika jembatan itu benar-benar bobol sebagaimana biasanya, pada esok harinya aku tidak perlu ke sekolah mengajar beberapa muridku, sebab kami--beberapa guru dna murid--akan memperbaiki jembatan itu sehingga dalam jam yang sudah kuperhitungkan aku akan diketahui oleh Sukesi betul-betul sedang membangun kembali satu-satunya jalan yang teramat penting bagi mekanisme kehidupan dusunku. Sedikit atraktif dan akrobatik, yang kini sedang perjalanan pulang kampung setelah beberapa bulan di ibukota.

Sukesi sebetulnya warga dusun kamiu juga. Selepas SLTA dia melanjutikan kuliah di kota yang lebih besar, sementara aku--kakak kelasnya--yang selesai lebih dulu dan kuliah di IKIP program satu tahun langsung ditempatkan sebagai pengajar di sebuah SD di dusunku sendiri.

Sebenarnya ada keinginan dalam diriku untyuk mengikuti Suksesi. Mengikuti. Ada apakah di kota? Harapan macam apakah yang terbeber di sana? Banyak pertimbangan yang menjuruskan pada kesimpulan bahwa aku tidak mungkin meninggalkan dusun, yang jauh dari kota, bahkan jauh dari sub-urban pun.

Jaran dusun terpencil dari ibukota, yang kami tempuh selama tujuh hari lewat surat menyurat, kurasakan sebagai jarak yang teramat jauh. Namun, surat-surat Sukersi adalah cahaya matahari bagi dusunku yang sering diguyur hujan jika musimnya, dan kalimat-kalimat Sukesi adalah curahan gerimis yang amat menyejukkan bagi dusunku yang berdebu jika kemarau.

Banyak hal diceritakan Sukesi tentang ibukota.

Dia ceritakan tentang pantai, dia ceritakan pula ketika dia bersama kawan-kawan mahasiswanya pergi kemping mendirikan tenda di sebuah bukit. Semuanya, semuyanya memberikan ketenteraman batinku, sehingga rasa kangenku pada Sukesi pun semakin menjadi-jadi setiap membayangkan perpisahan selama beberapa bulan yang sepertinya tidak juga berkurang-kurang jumlahnya.

Ibukota kadangkala memberikan gambaran yang memasygulkan. Bukan tidak mungkin Sukesi akan terlena dan tergaet kawan-kawan sekampusnya, yang bukan saja tampang, tetapi juga kaya rakaya, atau berbagai kelebihan lain yang sama sekali tak kumiliki.

Oleh karenanya dengan berat hati perah kutulis surat kepadanya menyarankan agar Sukesi memilihs aja kawan kampusnya--atau siapapun di ibukota--untuk menjadi pendampingnya dan segear melupakan aku di tempat terpencil ini.

Sukesi tak menanggapinya dalam surat balasan berikutnya, kecuali mengirimi dua buah buku untukku yang dititipkan lewat Kandar, kawan sekampung yang bekerja di ibukota.

Tentu saja ucapan terimakasih segera kuguratkan dalam suratku berikutnya yang juga kutitipkan pada Kandar yang akan kembali ke ibukota. Dalam surat itu kukatakan kembali pada Sukesi agar tidak ragu-ragu meluipakan aku kalau ada orang yang mendekati dirinya.

Ada kenikmatan sendiri ketika aku menuliskan macam itu. Kenikmatan dalam kesedihan atau kenikmatan dalam kerinduan. Dan itu baru kurumuskan baru-baru ini, yakni ketika surat terakhir Sukesi mengabarkan akan pulang kampung liburan semester selama dua minggu.

"Aku datang tanggal 16," tulisnya.

Sekarang inilah tanggal 16. Gerimis masih rincik sejak hujan sore kemarin. Keinginanku terkabul juga, ternyata. Tuhan maha memahami. Apa pun yang diinginkan si hamba diturutiNya pula.

Ah, apa salahnya. Sukesi akan melihat kekasihnya, melihat aku, betul-betul megnabi untuk dusunnya, sehingga dia semakin yakin tidak salah memilihku sebagai pasangan hidupnya? Apalah salahnya--mengingat jembatan itu memang sering bobol setiap kali dilewati banjir karena hujan...

Jembatan benar-benar ambrol, dan itu tak semata dialami jembatan yang kumaksudkan.

Tanggul di tikungan sungai dekat gedung tempatku mengajar juga bobol, sehingga air tak mampu membelok lagi. Sebagian besar menerjang sekotak sawah dan menggenangi gedung sekolah. Akibatnya, setelah diadakan rapat pembagian tugas antar guru, akau sebagian mengurus dan membenahi gedung sekolahku bersama beberapa murid.

Aku tidak bisa menolak dan tak mungkin mengajukan pilihan memperbaiki jembatan penghubung itu, sehingga aku pun tidak sempat tahu mobil omprengan yng ditumpangi Sukesi dari ibukota berhenti dekat jembatan.

Yang lebih penting: Sukesi melihatku bersama murid-murid harapan bangsa menanggulangi satu kekuatan yang menimpa dusun kami. Sukesi tidak menyaksikan pahlawannya benar-benar pahlawan.

Aku melupakan Sukesi sampai menjelang siang ketika aku meninggalkan bangunan sekolah, setlah aku berpamitan pada Pak Karman, kepala sekolah. Mungkin terlalu payah bekerja tanpa henti, aku pun tertidur hingga hari sudah malam. Perut yang gemericik membangunkan aku untuk kemuidan ke dapur untuk mengambil makan , untuk kemudian kembali terkapar esoknya.

Esoknya, Sukesi datang ke tempatku.

"Kenapa nggak menjemputku? Kan aku sudah bilang, tanggal 16 pulang kampung. Sekarang tanggal berapa? Sudah kemarin aku sampai. Sudah tahu jembatan ambruk. eee... malah tak menungguku disana. Coba yang menyeberangkan aku kemarin siapa? Bukan kamu. Padahal, aku ingat kau tuntun menyeberangi sungai yang bajir sambil menenteng jawab? Kau biarkan orang-orang itu menderita gara-gara banjir? Ha!"

Sukesi alanggah anggun berbicara. Demikian lancarnya dia mengucapkan kalimat yang sedemikan panjang.

"Aku menjaga bangunan sekolah, Kesi. Beberapa buku nyaris tenggelam."

"Lalu? Setelah itu? Kenapa tidak menjenggukku? Kenapa nggak ke rumahku? Kan rumahku terlewati jalannya? Atau kamu mau..."

Sandiwara macam apakah in? aku pernah menyaksikan televisi di rumah Pak Karman. Waktu itu sedang berlangsung sandiwara. Aku jadi ingat salah satu tokoh perempuan yang menggebrak-gebrak marah sambil melotot. Aku jadi membayangkan Sukesi yang marah sekarang ini dengan tokoh dalam sandiwara di televisi rumah Pak Karman.

Dalam sebuah sandiwara televisi selalu ada akhirnya, setelah ada peleraian atau penjelasan dari pihak tengah. Sandiwaraku dengan ini tanpa akhir yang menarik. Seperti seperti dimatikan mendadak. Belum ada pihak lain yang mencoba menengahi pertikaian kami--kalau memang itu benar-benar pertikaian.

Aku belum sempat mendengar Sukesi, sebab dia dengan segera meninggalanku. Ahha! Kalau dia tak mau bicara denganku kenapa dia mesti ke tempatku? atau dia mendapat kepuasan dengan kemarahan tanpa reaksi? adakah ini tipikal perempuan? yang penting: marah! Siapaun yang dimarahi..

Aku sendiri--anehnya--tidak pernah mencoba untuk menetralkan kemarahnnhya. Barangkali aku sduah mulai menyadari bahwa Sukesi sekarang memang berbeda dibandingkan dengan Sukesi sebelum pergi ke ibukota. Tapi aku mencintainya.

Kalau bukan cinta namanya, kenapa aku mesti senantiasa kangen padanya ketika kami berpisah? Tapi, kalau aku sungguh-sungguh mencintanya, kenapa pula aku tidak mencoba bersambang ke tempatnya?

Dulu, ketika dia masih di ibukota, rasa kangenku menuntut pikiran dan harapan bahwa kalau dia nanti sudah kembali pulang ke kampugng, aku akan selalu bersamanya setiap hari, bahkan kalau mungkin setiap jengkal waktu dia akan selalu di sampingku.

Justru hanya kerinduan-kerinduan sajakah yang memang kuharapkan, sementara pertemuan itu sendiri sebenarnya masih kalah nilai di bawah rasa rindu? Setiap kali membuhul rasa kangen, selalu pula obsesinya menginginkan pertemuan, kendapati pertemuan itu sendiri sebenarnya tidak begitu penting, sebab hanya memang kangen yang kubutuhkan.

Dua minggu lewat begitu saja.

Aku disibukkan urusan di sekolah. Aku mengajar dari pagi hingga sore karena murid masuk bergiliran. Beberapa ruangan tidak bisa kupakai lagi akibat banjir yang lalu, sehingga untuk menampung murid-murid, jalan keluyarnya diambil pembagian jam belajar.

Waktu sudah sampai dua minggu itu mengejutkanku. Aku segera bertandang ke tempat Sukesi. DI asedang berkemas menyiapkan keberangkatannya menuju ibukota.

"Maafkan aku, Kesi. Maafkan aku tak pernah kesini," hanya itu yang mampu kuucapkan. Aku sudah siap diporak-porandakannya.

"Maafkan aku juga. Tak seharusnya aku marah-marah padamu," ujarnya pula.

Kupikir, itu hanya prolog murahannya yang lebih besar. Ternyata tidak. Kami sama-sama terpaku. Aku mengulurkan tangan. Spontan. Demikian juga Sukesi. Kami saling berjabatan. Kami merasa seperti baru bertemu.

"Aku tidak ingin kehilangan kamu," kataku."Masihkah kita berkomunikasi setelah kamu kembali ke ibukota? ucapku setengah was-was.

"Tulislah surat, kalau kangen," ujarnya.

Sukesi sudah berangkat kembali ke ibukota.

Rasa kangen itu kembali menyergapku. Ketidakinginan berpisah itu kembali mendesak-desakku. Entahlah, kapan lagi dia bakal kembali ke kampung kami. Mungkin dia akan dicintai orang lain di ibokota, sehingga aku akan tetap sendiri di sini. Mungkin aku tidak begitu mencintainya, namun aku akan senantiasa rindu padanya, dan itu sudah cukup bagiku. Bahkan sangat berharga.

"Kampungan!" gerutuku. Kudengar bunyi kaleng terlempar. Aku tak tahuy apakah aku yang melempar dan menendangnya.

Kukira, bus yang ditumpangi Sukesi basah kuyup diguyur hujan sepanjang jalan, sepanjang malam.

Ditulis oleh Veven SP. Wardhana

Post scriptorium: cerpen ini saya tulis ulang dari kumpulan cerpen (alm) Veven SP. Wardhana bertajuk 'Darimana datangnya mata' (GM, 2004). Cerpen ini pernah dimuat di mingguan Minggu Pagi, 28 Februari 1984.

Jumat, 20 September 2013

Semacam Sabtu Jejak (1)

Hari ini memang hari Sabtu, dan seperti hari yang sudah-sudah, maka saya tidak akan berbuat apa-apa, selain, paling banter, membaca buku, nonton teve atau berkelakar bersama kawan-kawan saya. Tapi berkat saya membaca di sebuah laman tentang penanda, saya jadi terpantik untuk membuat hari khusus.

Ya, saya ingin, hari ini  adalah hari pekan. Artinya, hari yang saya harus tetap senantiasa memberikan kabar ke blog saya yang baru ini, dan tentu saja saya harus senantiasa mengisinya.

Bisa jadi dalam blog ini saya akan mengisahkan beberapa hal yang terjadi dalam sepekan ini. Persis seperti laporan Mingguan yang bakal saya perbaharui tiap hari Sabtu dan berisikan rekam jejak aktivitas mulai dalam tujuh hari--walaupun memang ada beberapa yang memang harus tidak saya tulis.

Baiklah, sembari saya menunggu seorang kawan saya yang sedang mandi, saya akan meraba-raba, apa yang telah saya lakukan dalam seminggu ini.

Sabtu pertama, saya lupa telah berbuat apa. Satu hal yang saya ingat, saya membuatkan blog untuk guru saya dan belum selesai. Saya harus dan tentu saja mengingat kembali, apa yang bakal diterjemahkan nanti .

Minggu, saya mulai ingat, saya mengedit novel saya tentang silat. Ini novel anak-anak dan remaja. Ternyata, baru 100 halaman, dan yang kedua, tentang sepakbola baru 80-an halaman. Tulisan ini lawas sekali, dulu pernah diterbitkan oleh sebuah penerbit, dan ternyata tidak jadi.

Jadi, saya hari itu mengedit tulisan itu dan mulai meraba-raba, apa yang bakal saya isi untuk selanjutnya.

Senin, ada apa dengan hari ini? Saya bangun kesiangan dan mulai menuliskan resensi Rahwana Putih, karya Sri Eddy. Sudah saya kirim ke dua portal berita, tapi entah kenapa belum dimuat.

Selasa,  saya mulai membuat momen di akun kerjaan saya, ya coba lihat sendiri. Tapi, saya mulai menyukai satu aktivitas; bersepeda.

Rabu, saya menulis catatan-catatan, dan sepedaan.

Kamis. Saya lupa, apa yang telah saya lakukan. Mungkin seharian beraktivitas di dunia maya dan membaca saja.

Jumat. Saya diskusi sampai pagi dengan beberapa kawan, dan tentu saja menulis, sebab saya tidak punya aktivitas lain selain ini.

Hmm.. Kira-kira begitulah, ada beberapa memang tidak bisa saya terakan, tapi saya sudah berkabar. Demikianlah.

Rabu, 18 September 2013

Saya dan Kekalahan Orang-Orang Berseragam Kuning

~semacam gerundelan seorang suporter

Dua tahun yang lalu di Gelora Bung Karno-dan saya tidak akan pernah melupakannya--saya melihat begitu banyak raut sedih berkeliaran, muka yang tertekuk, pelbagai umpatan dengan ragam bahasa yang entah, serta sendu yang melingkupi langit Jakarta.

Ya, kala itu, saya harus menyaksikan seragam berbaju merah-putih itu kembali ditetesi air mata dari para pemain; Gunawan Dwi Cahyo, Eggy, Patrich dll. Lalu, ada gerombolan anak muda berbaju kuning mendapatkan medali emas dengan bersorak seakan ingin menunjukkan bahwa kita ini bangsa yang kerdil.

Padalah luka itu belum benar-benar kering.

Setahun sebelumnya, di tempat serupa, saya gagal mendapatkan tiket masuk ke final AFF 2010.  Saya dan ribuan suporter lainnya menonton di depan stadion dengan layar besar. Tapi lagi-lagi, saya harus mendapati luka yang serupa; orang-orang berseragam kuning mengangkat piala di muka kita.

Tidak berhenti di situ, orang-orang berseragam kuning kembali membuat saya sakit hati dan mengumpat entah berapa ribu kali.

Peristiwa itu terjadi beberapa hari yang lalu, ketika saya dengan kepala berambut gondrong ini harus menyaksikan adik-adik kecil U-16 tahun dipermalukan di final AFF di adu penalti, hampir serupa dengan kejadian seniornya dua tahun lalu.

Padahal tim ini membuat begitu banyak orang, termasuk saya, begitu optimistis selepas mereka menundukkan tim kuat Australia di semifinal dengan dramatis; ketinggalan dua kali, seri dan menghempaskan mereka di adu penalti. Cadas!

Tapi seperti kisah yang tak sampai, perjalanan anak muda ini berhenti di puncak. Apa lacur, mental yang begitu buruk--dan entah faktor apa yang lain--saya harus kembali melihat air mata mereka tumpah membasahi seragam merah-putih.

Dan lagi-lagi yang membuat mereka menangis adalah orang-orang berseragam kuning. Itulah Malaysia!

Tapi cerita itu sedikit terobati.

Beberapa menit yang lalu saya menyaksikan anak-anak muda U-19 dengan talenta emas bernama Evan Dimas membuat Malaysia harus mundur dan gagal melaju ke final. Mereka kalah poin, kalah permainan dan kalah segalanya dengan kita.

Bagi sebagian orang, ini memang biasa. Tapi bagi saya, ini semacam obat bagi sakit yang berkepanjangan. Walapun obat ini hanya sementara dan tidak bisa mengobati seluruh luka, minimal telah memberikan sedikit angin segar.

Ya, kita memang bosan dengan harapan-harapan akan timnas. Kita pun sudah capek mendengar prestasi dari tim muda kita dan kemudian hari melempen kala memasuki era dewasa. Mungkin di negeri ini, kisah fairy tale tidak pernah ada.

Malam ini--dan perjalanan yang masih panjang itu--saya hanya bisa berterima kasih, barangkali kemenangan menendang pulang orang-orang berseragam kuning ke negerinya Malaysia menjadi sedikit obat yang mengurangi perih pada AFF 2010, Sea Games 2011 dan kekalahan lain kala melawan satu negara; Malaysia.

Perjalanan belum selesai, dan luka ini sedikit terobati. Walaupun begitu, minimal, kita telah mengusir orang-orang berseragam kuning itu dari rumah kita. Dan barangkali kita tidak akan mendengar tawa mereka lagi kala mengangkat piala seperti tahun-tahun sebelumnya.

Satu hal yang pasti, dan sekali lagi, mereka telah sedikit mengobati sakit hati saya terhadap orang-orang berseragam kuning itu.

Hmm... saya kangen mendengarkan Indonesia Raya berkumandang di GBK lagi.  Ayo garuda...

@DedikPriyanto

Senin, 16 September 2013

Darimana Datangnya Hujan? Mungkin dari Senyummu di Pagi Itu.

Pagi ini saya melihat air jatuh berebutan di samping jendela, seolah mereka bergegas untuk bertemu dengan tanah dan secepatnya mencari tempat untuk menelusuri jalanan.

Saya merasa sudah begitu lama tidak melihat yang seperti ini.

Saya lupa. Saya telah benar-benar lupa bagaimana cara menikmatinya seperti halnya masa kanak menikmati hujan dengan riang, bermain bola, serta bermain hujan-hujan.

Musim ini memang bukan musim hujan. Kemarau, tepatnya. Tapi musim ini memang begitu berbeda, sebab hujan tidak datang dengan titimangsa biasa. Hujan datang sesuka hati, seperti senyummu di pagi itu.

Maka jika ada yang bertanya kepada saya, darimana datangnya hujan? Saya akan menjawab, mungkin dari senyummu di pagi itu.

Siapakah kamu itu, hanya saya dan hujan yang tahu.

Sabtu, 14 September 2013

Hallo, Kawan!

Blog ini adalah rumah baru saya di dunia maya. Rumah lama saya sebelumnya berada di alamat ini

Sebab rumah ini baru, maka maaf belum begitu banyak perabot yang mampu saya buat, ataupun saya beli. Tentu saja yang semua itu membutuhkan waktu. Tapi menulis tidak butuh waktu, ia cuma butuh keberanian dan konsistensi.

Rumah ini ditujukan untuk itu. Terima kasih sudah mampir dan salam kenal.

Jabat erat
@DedikPriyanto

Jumat, 13 September 2013

Saya dan Beberapa Buku yang Pernah Terbit

Saya pernah menulis beberapa buku. Ya, walaupun itu hanyalah buku biasa, tapi ini cukup berarti untuk perkembanganku dalam menulis. Minimal sebagai rekam jejak sebelum serius menapaki dunia kreatif menulis. Berangkali  kalau  mati muda, minimal saya punya sesuatu yang bisa dikenang.

1). Demam World Cup 2010. Buku tentang Piala Dunia 2010, saya menulis ini dengan teman saya, Desy Arisandy, perempuan misterius yang   hobinya nonton bola. Khususnya tim idolanya yang sempat berkibar, Persita Tangerang.  Pernah dibedah di beberapa tempat, semisal IBF Bogor, UIN dll. Buku ini, katanya sih, sudah cetakan kedua, saat itu. Tapi ini kan fresh book dan insidental.

 
Saya survei kecil-kecilan, ini buku tentang piala dunia kedua setelah 100+ Fakta Unik Piala Dunia yang ada di Toko Buku, khususnya Gramedia, dan selepas itu, Beuh, banyak nian buku dengan genre yang serupa.  Terpampang di rak-rak buku. Mereka kreatif, tap bukan assabiqunal awwalun. Sekali lagi, bukan Sang Pemula :D

2).  Bolot, lagi-lagi soal sepakbola, tapi ini lebih kepada remaja dan mereka, teman muda yang sedang tumbuh. Terbit 2011 lalu.

3). Pemuda dalam Pergerakan (Sebuah Refleksi) ini yang paling misterius, saya malah tidak punya hard filenya. Hilang. Refleksi sejarah, sayang saya dulu belum memiliki pengetahuan sejarah yang cukup. Kalau buku ini saya tulis sekarang, perspektifnya tentu berbeda. Misal, pasti ada Tan Malaka, Cokroaminoto dll di situ.  Tapi, beginilah sejarah. Kadang kita tidak tahu kapan akan menuliskannya.

4). Kado Terindah Rafi dan Sampah Mak Isah (2010) Ini cerita. yang pertama, cerita tentang anak, persahabatan dan keluarga. Awalnya judulnya bukan ini, tapi diganti ama penerbit. Untuk judul asli lebih keren, tapi menjadi rahasia gue aja :p.

Sedangkan kedua, merupakan kisah inspiratif tentang masyarakat kita. Keduanya untuk menemani mereka yang sedang tumbuh. Saya tulis bersama kawanku, Erik Purnama S dan Farabi Fardiansyah. Sekarang mereka dua malah jadi jurnalis. Entah. Mungkin mengikuti jejak saya: menjadi pewarta berita.

Dari Semua, Barangkali buku di bawah ini yang paling saya suka dan merasuk dalam hati. Betapa tidak, saya bersama kawan di Komunitas Senjakala membuat Kumcer pertama di UIN Jakarta. Bukan karena pertamanya, tapi karena perjuangannya. Entah, sekarang hanya tinggal saya dan Zaki yang masih bertahan. Minimal untuk sekadar menulis dan terus berkarya.


Antologi Cerpen Sunyi;
Dedik Priyanto, Zakky Zulhazmy dkk

Begitulah, Mungkin beberapa buku yang di atas bukanlah apa-apa. Tapi bagi saya, mereka tetaplah bagian dari sejarah hidupku yang akan selalu tergoret dalam dinding dada ini. Semoga saja akan terus berkarya. Dan harus berkarya dengan serius.

Hidup hanya sekali, untuk itu, mari harus menjadi orang berarti!

23 April, selamat hari buku!

Post scriptorium: catatan ini saya tulis dua tahun lalu, sengaja saya unggah ulang sebagai penyemangat untuk saya kembali melihat buku saya di toko-toko buku. Kalau dihitung-hitung, sudah ada beberapa lagi memang buku tambahan, baik yang bersama maupun sendiri. Juga ada dua novel yang sebentar lagi terbit, semoga!

Sabtu, 07 September 2013

Mula

Sebagai penanda jejak, pada tiap menit yang telah lewat. Seperti halnya puisi kangen, yang datang di tiap pagi.

Begitulah hidup ditandai.