Halaman

Selasa, 12 Agustus 2014

Kamu, Ia dan Kota Asing

Oleh: Puthut EA

Aku akan mulai dengan keindahan yang sederhana. Seperti yang kuhadapi ini. Bisakah kamu bayangkan tentang keindahan yang muncul dari seorang perempuan, muda, cantik, sedang mencatat menu makanan pagi pesananmu di sebuah rumah makan yang lengang, dan di dekatmu ada sebuah jendela yang bisa mengantarmu pada lanskap sebuah kota yang belum pernah kamu singgahi? Aku membayangkan perempuan itu adalah seorang gadis yang kaya dan sedang bosan dengan kehidupannya. Atau bisa jadi ia adalah pemilik tunggal rumah makan ini.

Kalau kamu bilang, tidak ada yang melebihi keindahan sebuah agenda di mana kamu duduk di sebuah beranda yang menghadap perbukitan luas, dan di depanmu, kekasih lama tidak kamu temui sedang menuangkan the hangat serta memulai sebuah percakapan, tentu itu indah. Tapi belum begitu indah, aku kira, dibandikangkan jika kamu bercakap dengan seorang perempuan sehabis bercinta, dan di antara kalian lalu saling bertanya tentang siapa kalian, dan dia menanyakan mengapa kamu singgah di kota ini, dan kamu bertanya kepadanya, mengapa ia mau bercinta denganmu? Ia pasti tidak akan menjawab dengan jelas pertanyaanmu, sebab kamu pun tidak akan menjawab dengan jujur pertanyannya. Lalu, kalian akan saling meninggalkan, menyimpan harapan suatu saat akan bertemu kembali dengan adegan yang sama dan pertanyaan yang serupa. Semacam janji yang harus ditepati.

Dan jika kamu terus menuntutku untuk memberi jawaban tentang mengapa aku selamat ini selalu menghindar  bertemu dengnamu dan bertemu banyak orang, aku mungkin hanya bisa menjawab dengan sebuah pengantar masa laluku, dan sedikit menuntutmu tentang siapakah orang yang telah terbelah ini. Waktu aku masih kecil, aku mempunyai seorang sahabat yang sudah berumur tua. Nyaris setiap hari ia duduk di belakang rumah, menghadap sebidang kebun dan meratap lagu-lagu yang tidak kukenal, lagu-lagu masa lalu. Ia menyesali sebuah peradaban dengan nyanyian dan tradisi yang lain, sementara masa lalunya hilang, lindap. Setelah aku tumbuh cukup besar, aku sering juga meratapi tradisi yang dulu dikutuk oleh sahabat tuaku itu, yang telah menjadi tradisiku, dan yang kini mulai renta digantikan sesuatu yang baru. Lalu, apa itu tradisi sahabatku? Seseorang pergi bukan hanya dipanggil oleh masa depannya, ia juga didorong masa lampaunya. Itu bukan jawaban jawaban untuk pertanyaanmu, itu hanya pengantar, dan aku benci pada sesuatu yang jelas dan gambling. Membuat dunia ini terjelaskan dengan sempurna adalah kesalahan mendasar para filsuf.

Lalu kamu terus menyerangku dengan ‘nilai’, kedalaman, da nisi. Luar biasa. Aku kagum pada orang yang mampu menyelam ke kedalaman, mempersembahkan nilai dalam sebuah pesan yang berisi. Aku tidak membawa itu semua, sebab semua telah hilang dirampok oleh banyak hal ketika aku memulai perjalanan ini. Akulah orang yang mengingau itu, yang menjadi  tanda pada segala omong kosong, sebagaimana aku memahami banyakhal, hidup ini juga omong kosong.

Sebentar, perempuan itu telah membawa makanan pesananku. Ia mencatat, memasak, dan mengantarkan sendiri makanan itu. Adakah itu tanda bahwa ia tertarik padaku? Aku menawarinya untuk duduk menemaniku. Menemani pejalan yang lelah dan terbelah, pejalan yang nyaris tidak memawa apa-apa lagi. Gila, ia mengangguk, tapi akan mengambil sesuatu dulu. Lihat, bisakah kamu ikut memastikan bahwa ia tertarik padaku? Kini, ia telah kembali duduk di depanku, membuaka ikatan rambutnya, melepas kacamatanya, memberiku senyum, mempersilakan aku meneruskan makan, dan ia membaca sebuah buku. Apa kubilang? Tentu ia seorang gadis kaya dan cerdas, sedang bosan pada hidupnya.
Jangan-jangan buku yang tengah dihadapinya adalah sebuah buku yan hanya pernah kudengar judulnya, dan belum pernah kulihat dengan mata kepala sendiri. Buku yang banyak dibicarakan oleh orang pandai. Tiba-tiba aku merasa kenyang.

Aku meletakkan sendik dan garpuku agak keras, sebagai tanda bahwa aku selesai makan. Dan aku mengeluarkan sebungkus rokok sebagai tanda bahwa aku belum ingin ia pergi dari sini, dari hadapanku. Ia mengerti ia tersenyum, menutup bukunya, memakai kacamatanya, dan  mengeluarkan rokok dari saku celananya.

Kali ini aku harus benar-benar minta maaf kepadamu. Tentang ‘nila’, ‘kedalaman’, begini saja anggap itu semua tradisimu, dan aku tidak memilikinya. Jika kamu tidak puas dengan jawaban itu, anggap saja bahwa sebetulnya aku punya ketiga hal itu, tapi kamu dan banyak orang yang lain terlalu bebal untuk menangkapnya. Kalau masih saja hal itu belum memuaskanmu, anggap saja bahwa inilah yang bisa kulakukan, dan masih boleh kan jika orang berbeda? Bukankah kamu masih menghargai perbedaan? Dan aku pikir itu sudah cukup, sebab bila kamu mulai menuntutku lagi, aku merasa kamu mulai mengerami benih pemikiran yang mirip kepala fasis. Dan aku tidak pernah mau bicara pada orang-orang sepreti itu. Nah,  kamu mulai mengerti bukan? Dan kamu masih boleh mengikuti kisahku ini, jika berkenan.
Kami diam. Sepertinya ia memberiku kesempatan untuk mengatakan siapa diriku atau bertanya tentang siapa dirinya. Tentu saja aku tidak memilih keduanya. Tapi sialnya, aku mulai dengan kejujuranm dan bukan kebohongan. Padahal jika aku memulai dengan kebohongan, aku membutuhkan lebih banyak kebohongan untuk melanjutkannya, dan makin jauhlah aku dari jangkauannya.

“Buku yang aku pikir luar biasa. Aku hanya mendengar judul buku itu disebut banyak orang, tapi aku belum pernah membacanya. Melihatnya pun baru kali ini.”

“Kamu lihat sendiri, aku pun belum menyelesaikannya. Tapi aku kira, ini memang buku hebat. Aku membutuhkan beberapa hal dalam buku ini untuk menyusun tesisku.”

Apa aku bilang? Menyusun tesis, bukan? Ia makin terlihat cantik. Pandangan matanya kini beralih ke jendela, aku mengikuti pandangan matanya, menangkap jalanan sepi di luar dan hari yang tidak begitu cerah.”Kota kecil yang indah dan sepi.”

Ia tersenyum. Aduh, cantik sekali. Dimatikan rokok di tangannya dalam asbak, lalu mengambil lagi sebatang dan menyalakannya.

”Tidak, jika kamu ke sini enam bulan yang lalu. Yang ada hanya teriakan maut, orang-orang serba tergesa-gesa, ingin pergi dan membunuh. Tapi benar katamu, kota ini sejak dulu memang indah. Dan semakin sempurna jika dalam keadaan sepi.”

Lihat, benar-benar cerdas bukan? Bahkan dia tahu aku baru kali ini datang ke kota in. Atau setidaknya, ia tahu bahwa aku tidak ada di kota ini enam bulan yang lalu. Kini ia menolehkan kepalanya ke arahku, menatapkan pandangannya pada pandangku. Aku tersentak.

Ada sesuatu yang sangat tajam yang dilemparkan ke mataku tapi membuat desir yang jauh dan dalam di dadaku. Aku tidak pernah benar-benar menatapnya matanya. Aku menyapu perlahan pada seluruh wajahnya yang dihinggapi benda-benda yang indah dan membentuk kesatuan-kesatuan yang nyaris sempurna. Mulut indahnya itu kemudian bergerak, mengirim suara,”Aku datang setahun yang lalu ke kota ini untuk menulis tesisku tentang kota ini dan jika liburan panjang tiba, aku datang berlibur ke sini. Bahkan mereka masih punya rumah di sini, dan beberapa bisnis termasuk rumah makan ini. Satu dari segelintir bangunan yang selamat.”

Semakin jelas, sudah. Tapi tiba-tiba aku teringat buku yang masih tergeletak di depannya.”Lalu, apa hubungannya kota ini dengan buku yang kamu baca?”

Ia tersenyum… ah, tidak, agak tertawa, bahkan terdengar suara tawanya sekalipun hanya lirih. “Berhubungan langsung sih tidak. Hanya saja, buku yang tebalnya berates-ratus halaman ini hanya bercerita tentang sebuah kota.
Menceritakan segalanya tentang sebauh kota. Ruas-ruas jalannya, orang-orang yang menempatinya, peristiwa-peristiwa yang berlangsung di dalamnya. “

Aku berbasi-basi sekadarnya, apakah aku tidak menganggu aktivitasnya? Dia menggelengkan kepala, tersenyum dan hanya minta waktu untuk membawa ke belakang perlatan makan yang barusan kugunakan. Bahkan ia menawariku untuk minum kopi. Tentu saja aku mengangguk.
Beberapa orang masuk. Dengan cekatan pekerjanya melayani mereka. Dari lubang jendela kecil, aku melihatnya sedang membuatkan kopi. Kamu tahu apa yang sedang menghuni pikiranku? Ya, tentus aja rumahnya. Bukankah ia tadi sempat menyebut ‘rumah’? aku berharap ia mengundangku untuk mampir ke rumahnya. Tentu alasannya sederhana, penginapan yang baru kutempati semalam sesuai dengan harga sewanya yang murah itu tentu tidak cukup nyaman untuk bercakap-cakap dengan gadis itu.

Kini yang ada di pikiranku adalah rumahnya, terutama bagian beranda, dapur dan gudang. Gudang bawah tanah! Aku suka sekali berada di gudang, sebuah tempat yang di mana aku akan dibantuk banyak untuk menyusun seseorang yang masih asing bagiku. Aku membayangkan di gudang rumahnya penuh dengan barang-barang masa lalu; potret-potret keluarga, boneka masa kecilnya, perabot yang sudah tidak dipakai, aku akan tahu banyak hal tanpa ia bercerita. Dan di gudang yang temaram itu, aku membayangkan berciuman dengannya.

Ia datang dengan membawa dua cangkir. Aku kembali mencoba mengingatkan bahwa hari beranjak siang dan makin banyak orang yang datang, ia bisa meninggalkanku untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya. Kembali ia tersenyum dan dudku. Menyalakan sebatang rokok, seperti menyalakan jawaban bahwa semua baik-baik saja.

Aku kembali teringat pertanyaanmu tentang paham estetika yang kuanut. Aku kembali bingung atas pertanyaanmu. Mengapa kamu tidak pernah bertanya saja tentang hal-hal yang tidak kusukai? Orang sepertiku lebih gampang menyebut dan menunjuk hal-hal yang tidak kusukai ketimbang hal-hal yang kusukai. Itu untuk semua hal, juga untuk makanan, tempat tinggal, jenis minuman, acara, peristiwa dan yang lain sebagainya. Aku lebih bisa memastikan bahwa sesuatu yang berjalan tidak beres, tapi aku selalu kesulitan jika ditanya apa yang seharusnya berjalan. Hanya saja, satu hal ketidaksukaanku yang aku rasa kamu perlu tahu, bahwa aku tidak suka dipetakan, dirumuskan, dimasukkan dalam kategori-kategori, tapi aku sadar, itu akan tetap dilakukan. Dan masihkah aku perlu menandaskan mengapa aku suka menghindar dari banyak orang, termasuk kamu? Sebab pertemuan akan menghasilkan percakapan dan setiap percakapan akan semakin mudah untuk membuat orang merumuskan kita. Paham?

Nah, kan… gadis itu seperti heran menatapku. Aku mencoba tersenyum sambil dalam hati mengumpati kamu. Lalu kami kembali bercerita tentang kota ini. Ia mulai bercerita dengan pelan dan detail tentang kota ini. Mulai dari sejarahnya, kejadian-kejadian penting sampai kerusuhan yang terjadi enam bulan yang lalu. Ia bahkan menyusun sebuah tesis yang tidak wajar tentang kerusuhan di kota ini, di luar tesis yang selama ini aku baca dari orang-orang pintar di media massa. Ia mampu memberi argumentasi yang sangat kokoh dan penuh percaya diri.

Tapi, aku tetap saja harus pergi dari rumah makan ini. Kutandaskankan kopiku, mengucapkan terima kasih, dan hendak membayar.

Ia bertanya,”Perlu nota?” aku menggelengkan kepala. Ia menyebut sejumlah angka, aku membayarnya.

Tapi tetap saja ia memberikan sesobek kertas sekaligus uang kembalian, sambil berkata,”Entah kenapa, aku suka pada laki-laki yang tidak banyak catatan dan tidak suka berbelanja dengan nota. Laki-laki yang tidak patuh.” Aku tersenyum menangkap apa makna ucapannya. Udara di luar mendung.

Aku berjalan melihat kertas yang diberikannya. Sebuah alamat rumah, jam-jam di mana ia ada di rumah, dan sebuah pesan: di rumahku, giliran kamu yang bercerita tentang dirimu. Aku tersenyum puas.

Kemudian aku teringat lagi akan pertanyaanmu tentang sejauh mana seseorang bisa terus menggenggam keyakinannya? Kini aku menjawab: tidak tentu dan terserah. Seperti aku yang mulai sekarang suka kejujuran. Aku berjanji tidak akan pernah membohonginya tentang diriku ketika aku mampir ke rumahnya, dan aku berjanji tidak akan membohongimu tentang kelanjutan ceritaku padamu yang berkaitan dengan cerita ini. Tapi aku harap kamu tidak usah terlalu serius bertanya padaku, tentang ap amaksuda cerita ini. Lupakanlah itu, dan aku ingin bersenda gurai layaknya seorang sahabt yagn kadang kala harus saling memaki jika aku singgah ke kotamu untuk berbagi. Sekaligus sebuah tanda bawha tidak seluruh dirimu, aku hindari. Begitu, ya…

PS: Saya suka cerpen ini dan menulis ulang untuk blog ini. Kuambil dari buku Isyarat Cinta yang Keras Kepala (2004). sumber gambar

Sabtu, 09 Agustus 2014

Run


Entah kapan saya terakhir kali menulis di blog ini, menumpahkan segala yang ingin saya utarakan atau yang paling tidak lucu adalah curhat tentang cinta dan hal-hal yang tidak penting lainnya. Tapi, ada blog lain yang tidak harus semua tahu dan untuk hal ini, cukup saya saja yang tahu.

Baiklah, saya tidak ingin berpanjang cakap, hari ini saya berikrar untuk kembali menulis apapun yang ada di otak saya di blog. Tidak peduli, apakah itu penting atau tidak sebab saya hanya ingin bercerita.

Jadi, jika nanti ada hal-hal yang tidak berkenan, saya tidak minta dimaklumi. Jika ingin membaca, ya silakan.

Dan saya hanya ingin berlari.