Halaman

Senin, 10 Februari 2014

Bagaimana Puthut EA Melukiskan Eka Kurniawan


Kesaksianku Atas Proses Kreatif Eka Kurniawan*

Oleh: Puthut EA

Proses kreatif Eka Kurniawan dideskripsikan oleh salah satu kawan baiknya, Puthut EA.

Ada dua kejadian hampir mirip yang saya alami, lalu saya ingin menuliskannya. Hal ini dilatarbelakangi, belakangan ini banyak orang yang menulis tentang 'proses kreatif ini dan itu', lalu biarlah saya akan memberi sedikit kesaksian saya atas proses kreatif Eka Kurniawan.

Saya orang biasa, akan menulis tentang Eka yang masih juga orang biasa. Ini sebuah kesaksian orang biasa atas yang lainnya. Saya sudah agak lama kenal muka dan kenal karya pada Eka Kurniawan, bukan saja karena saya satu kota dengannya, tapi karena saya adalah adik tingkatnya di fakultas filsafat UGM.
Ia adalah orang yang beredar dengan senyum. Menenteng tas kecilnya yang berisi karya-karyanya, lalu menawarkan pada orang lain untuk membaca dan memberikan pendapat.

Ia berkitar, tak juga lelah, dengan diamnya yang ringan, ia berbagi cerita, berbagi hasil kerja, berbagi sentuhan penciptaan. Sepintas, itu terasa aneh, apalagi bagi orang-orang yang satu mental menulis seperti saya. Sebuah karya adalah mirip-mirip seperti aib, menyerupai najis kita kala sebuah malam mampir di tempat pelacuran. Dan Eka beredar, bersetia pada tegur sapa, tak lelah-lelah, seperti jam di dinding yang bergerak runtut.

Dari sana saya mulai curiga: ia akan menghasilkan karya besar!

Lalu suatu saat saya bermain di tempat kosnya, yang mirip situasi di Afganistan karena banyak orang berjenggot dan bercelana komprang ( jangan-jangan saya nanti di vonis mati, tapi tidak apa-apa, demi sebuah kesaksian ). Waktu itu telah terbit beberapa kumpulan karya dia dalam bentuk buku; terjemahan, antologi cerpen maupun karya non fiksi. Ia sedang menulis novelnya yang pertama: O, Anjing.

Saya tidak suka calon judul cerpennya, dan di benak saya waktu itu, saya bilang pada diri saya sendiri, kelak jika saya membuat sebuah novel, tidak akan meniru judul sederhana yang tidak punya unsur agitatif. Ia sedang menulis di depan komputer. Saya datang. Ramah ia mempersilakan duduk, menemani berbincang. Tapi kemudian saya sadar, dari cara dia berbicara, bahwa ia sedang bersabung untuk sebuah karya. Menyabungkan waktu. Lalu saya pulang.

Sebagaimana biasa, Eka mengantar dengan senyum ramah dan jinak. Ia, memang tidak punya sedikit rasa angkuh sebagai seorang penulis yang cukup teruji dan sedang berhadapan dengan calon penulis yang masih malu-malu menyembunyikan keinginannya. Lepas itu, saya agak jarang menemuinya, takut mengganggu.Hingga sebuah sore, dalam keadaan agak teler, saya menemuinya.

Waktu itu, ia ada di tempat kos adik kandung laki-lakinya. Dan sampai di sana, saya tertidur. Waktu saya agak sadar, lamat-lamat masih kulihat Eka yang terus mengetik. Lalu saya tertidur lagi. Dan ketika saya agak terjaga, kulihat Eka masih suntuk menulis. Begitu sampai berkali-kali ( kemudian ini mengingatkanku pada sebuah cerita, waktu istri Muhammad tidur dan setiap bangun mendapati Muhammad masih sholat ).

Kalau cerita tersebut kemudian menimbulkan tanya pada hati sang istri; bukankah sudah dijamin surga? Maka saya atas Eka bersaksi: sudah berbakat, tapi masih rajin. Sementara saya ( lalu saya membandingkan dengan beberapa teman dan tentu saja diri saya sendiri, yang rata-rata tidak begitu berbakat tapi bermental sok seniman, tidak rajin dan cenderung ngawur, serta defensif! )

Bahkan suatu saat, ketika komputer Eka sedang rusak, ia menulis bakal novelnya dengan tulis tangan di buku tebal dan lebar. Waktu itu saya langsung ngomong: ada sih Eka, orang yang lebih susah dari itu, ambil contoh Pram, tapi kalau saya, saya lebih baik tidak jadi penulis daripada harus susah seperti itu...

Dan benar-benar jadi, sebuah novel dengan judul O, Anjing, setebal hampir 600 halaman, tapi belum diterbitkan. Dan saya ingat waktu itu, Eka bilang: rasanya saya tidak mampu nulis novel lagi.

Tapi apa yang kemudian kudapati? Berbarengan kemudian, Eka nulis novelnya yang kedua dengan saya yang mencoba menulis novel. Waktu diskusi draft novelnya, dua minggu kemudian draft novel novel saya. Dan ketika enam bulan kemudian novel Eka sudah tercetak setebal lebih dari 500 halaman, draft novel saya tidak nambah-nambah. Hingga pada suatu kesempatan, saya ketemu Eka, dan dia bilang: rasanya saya tidak sanggup menulis novel lagi.

Lalu saya nyaut: dulu juga ngomong gitu, tapi buktinya?! Tentu kuucapkan dengan perasaanagak jengkel. Kali ini bahkan judulnya lebih agitatif dari semua judul yang pernah kubayangkan untuk novel novel saya: Cantik Itu Luka.

Saya orang yang sejujurnya tidak pernah percaya pada bakat, entah kenapa. Dan saya tahu, jika ada orang yang ditanya tentang sebuah karya, orang tersebut mengatakan : o..., saya lagi mencari inspirasi....atau...o, saya lagi berproses kreatif mencerap pengalaman.atau...o..., saya lagi pengendapan. Maka itu semua omongkosong. Sebab saya sering menghindar dengan cara seperti itu.

Cara menghindar orang yang malas.

***

Malam ini, seharusnya Eka ada di samping saya. Beberapa teman kami telah duduk di tanah lapang, memandang senja, menunggu sampai bulan setengah telanjang itu menyala dengan jelas. Dengan cahayanya, perlahan bisa disaksikan, bulan naik, lambat, merayap.cahayanya menusuki gelas-gelas dan tikar tergelar yang mulai kotor, bukan saja oleh sisa-sisa makanan, tapi juga oleh sisa tawa dan umpatan. Sinar itu, juga menusuki punggung kami.

Eka tetap tidak ada. Adakah pesan telah salah alamat? Tersesat dalam sore yang jinak di kota yang juga jinak?

Dan aku mengenangnya. Mengenang Eka.ia bertubuh rapuh, percayalah. Sedikit angin malam saja menyentuh tubuhnya, dua-tiga minggu ia akan terkapar, dengan matanya yang seperti bocah kehilangan mainan senapan, sementara di luar dar-der-dor, kawan-kawannya yang lain saling menembak, tapi tak ada yang betulan mati.

Mungkin Eka hanya membaca buku dan makan bubur (aih, kekasihnya begitu setia, mungkin karena Eka juga setia, sehingga muncul novel novel itu. Lalu bagi orang sepertiku yang menganggap setia adalah barang rongsokan dari langit, mungkin dijauhi takdir untuk menulis buku tebal ).

Hidup ini mungkin perjuangan, Eka....tapi aku enggan seperti itu. Seperti seorang menawariku nonton film Zapatista, aku hanya jawab, beri aku jalan ke sana, aku ingin jadi gerilyawan, bukan nonton filmnya.

Di kamar berukuran 3 x 4, aku nyaris mengahapal tiap sudutnya. Di sana, dalam ruang tanpa ventilasi itu, di tengah-tengah suara orang yang gemar berdoa dan menanak nasi, ia, Eka Kurniawan, seperti keluar merayap, lindap entah pergi ke mana. Menulis dengan kekuatan entah, dilakukan oleh kekuatan pikir yang lebih entah, dari tubuh yang lemah seperti kardus. Aku seperti mencium bau gudang setiap kali berkunjung ke kamarnya. Juga mungkin kutangkap sensasi museum tua yang muram, menyimpan barang-barang yang dikerjakan di masa lampau, di catat dimasa yang lebih muda, dan dijajar, dirawat untuk masa yang akan datang.

Siapa hendak merawat kata-kata, Eka?
Jawablah dalam suara kecilmu yang berirama santun itu. Aku manusia, tegak di mata siapa saja, aku tetap merasa bahwa aku manusia. Tapi di depanmu, aku merasa, aku lebih manusia lagi. Juga siapa hendak merawat cuaca, Eka ?
Atau kalau kamu sedang dalam keadaan yang tidak sehat, jawablah dengan kerling matamu, atau gerak badanmu yang ringkih itu.

Eka juga bukan seorang penagih. Hampir semua kawannya tahu, berapa buku yang kamu pinjam darinya, tidak akan ditagih. Sebuah bukunya, pernah enam bulan di kamarku, hingga aku merasa bahwa itu bukuku, bukan buku siapapun.
Layar hidup membentang sudah. Gambar-gambarmu bermain di sana...... Ia juga bisa galak dan sinis.

Ini ceritanya.

Di awal-awal 2001 beberapa penulis sepakat untuk berkumpul. Eka mau, tapi dengan syarat, pada setiap pertemuan yang seminggu sekali itu, setiap orang harus membawa karyanya untuk didiskusikan. Dan kudengar, Eka kemudian keluar lebih dulu, dan kudengar pula, ia berkata: kok tidak ada yang bawa karya? Kita mau jadi penulis atau tukang ngobrol ?
Selang beberapa hari, kami bertemu. Kamu kenapa tidak datang? Tanyanya padaku. Aku hanya bisa menjawab: aku bukan penulis. Ia lalu tertawa.

Ya, banyak orang yang ngaku penulis sekarang, tapi karyanya, mending kalo gak bisa dibaca, ini, gak ada karyanya! Begitu ia berkata di sela derai tawanya.

Ia juga lumayan sering tertawa. Walaupun singkat.tidak terus-menerus dan panjang. Dan itu tidak penting, sebab wajah eka wajah ramah. Di wajah yang ramah, anda tidak perlu terlalu sering tertawa. Itu sudah menentramkan, kok. Sungguh, dan sumpah!

***

Ini kutulis ketika Andi Seno Aji, desainer yang kukagumi sedang membaca tentang Arshile Gorkhy dan membandingkan dengan Van Gogh. Sebuah hidup yang tragis, Arshile bunuh diri dan istrinya telah berselingkuh dengan seorang kawannya yang suka meniru lukisannya. Paragraf-paragraf anyir dan hitam.
Suara merintih di belakang, lagu sendunya radio head, exit music, kulitku meremang.
Tidak, Eka, ini bukan paragraf kematian untukmu, ini kesaksian yang harus kumuntahkan. Kelak, aku akan seperti ini, mencatat dan mengekalkan orang-orang yang dekat denganku, siapapun, siapapun, apapun, apapun.....sempat kulirik wajah keras dengan cambang yang tegas dan lebat, wajah Arshile.

Lalu pelan kuketik lagi, ingatan-ingatanku, kesaksian yang berpuing tentang Eka Kurniawan, penulis sekaligus kawanku.

Pada akhir 2001, aku dan dia bergabung dalam sebuah organisasi, dan dia termasuk orang yang ikut membidani sebuah media: On/Off. Di sebuah pendopo, yang angina dibiarkan untuk mengibaskan dukanya, kami beberapa orang--terlibat dalam diskusi-diskusi tulisan yang keras kepala, angkuh, seperti gelas transparan berisi kopi hitam.

Dalam diskusi-diskusi seperti itu, ia seperti aliran sungai, kadang beriak jika dihadang bebatuan, kadang tenang, dan buaya sesekali menyelinap di sana, purba dan menggidikkan. Kadang tawanya berderai bersama denting piring dan kecipak mulut kami, mengunyah tawanya, mengunyah perbincangan kami sendiri. Kadang kritiknya yang sinis dan menghentak itu--membuat kami tertegun, tersadar, untuk segera beranjak merapikan ketololan dan membuangnya di asbak, bersama puntung-puntung yang mulai menebar bau busuk.

Dan yang selalu membuatku iri pada Eka, adalah keahliannya di bidang yang lain. Sebut, sebut saja: lukis, desain, layout, musik, bahkan bikin komik!

Ia selalu seperti terbang, dibawa kepak berkah semesta...

Lalu aku tidak terima, suatu saat, ia kupaksa untuk mengajariku melukis--kemudian aku selalu percaya bahwa segala sesuatu bisa dipelajari, dan aku yakin bisa. Benar, ia mengajariku, pelajaran pertama, ia menggambar sebuah kursi, lalu aku disuruh mencontohnya. Sepele sekali, pikirku. Tapi ternyata tidak, ia membalikkann gambar itu 180 derajat.

Gila, mana bisa?

Ia--sebagaimana biasa--tertawa. Iyalah, kalau kamu mencontoh tanpa dialik, kamu mulai menggambar dengan logika benda, nah sekarang kalau dibalik seperti ini, kamu mencontoh dengan logika garis. Begitu ia menandaskan.

Aku mencoba, teramat sulit, lalu bilang ke Eka: nggak jadi saja dech, sulit! Dan ia tertawa. Aku semakin kesal. Andy Seno Aji beranjak pulang, menyisakan lagu-lagu sendu untuk menemaniku. Mumu datang, ia mengajakku berbincang tentang distribusi on/off.

Kuakhiri ini semua, tapi sekali lagi, aku akan terus mencatat dan mengekalkannya di sini, di milis ini. Jika tidak boleh, aku akan pindah milis : P

*tulisan ini diposting dalam tiga bagian dalam milis
bumimanusia.or.id

Sunday, May 11 2003 @ 04:35 PM BST

PS: Saya muat dan tata ulang tulisan lawas ini dari sini sebab menurutku, ini penting untuk disebarkan. Saya pertama kali membacanya sudah begitu lama di bumimanusia.or.id yang sekarang sudah tidak aktif. Dua orang penulis yang menarik, dan satu generasi. Mereka berdua mengiringi saya tumbuh saat dengan karya keduanya; Cantik Itu Luka, Gelak Sedih, Isyarat Cinta yang Keras Kepala dan lain-lain.  

Sabtu, 08 Februari 2014

Tiga Novel Populer

Hari ini Sabtu, dan ini adalah pekan pertama saya di kontrakan saya di daerah Kahfi II—saya hanya butuh kurang dari lima menit untuk berjalan ke kantor. Seperti biasa jika tidak menghabiskan waktu bersama kawan-kawan, maka yang saya lakukan hanya dua hal; nonton film atau baca buku. Kali ini saya memilih kedua.

Membaca adalah aktivitas yang menyenangkan, dan saya akan sedikit melepaskan egoisme saya untuk membaca bacaan sastra atau paling tidak sedikit mengurangi sinisme saya terhadap bacaan yang tidak bermutu. Saya hanya ingin terhibur dan untuk itu, sepulang dari kantor kemarin, saya membawa tiga novel populer. Ketiga novel ini, menurut amatan saya, sangat disukai pembaca umum.

Baiklah, saya tidak akan berlama-lama. Sebab lagi-lagi, saya tidak ingin berusaha menjadi kritikus atau menjelek-jelekkan sebuah karya, kau tahu, menulis sebuah novel membutuhkan ketahanan yang luar biasa dan para penulisnya saya yakin merupakan orang-orang terpilih; mereka mampu keluar dari cengkeram menulis pendek sebagai tanda generasi digital hari ini.

Pertama, The Truth About Forever (Orizuka)

Mendengar namanya kalian berpikir ia orang Jepang, apalagi novelnya menggunakan judul bahasa Inggris. Pasti terjemahan, pikirku. Tapi ia sebenarnya bernama Okke Rizka Septiana. Kelebihannya utama; ia menggarap tema-tema anak muda dengan problematiknya dan bagaimana ia menjalani hidupnya selepas mendapatkan masalah itu.

Orizuka adalah prototipe penulis populer yang dengan serius menggarap tema anak muda bukan dengan gaya bercinta fisik, tapi bagaimana mencintai masalah, lalu menyelesaikan masalahnya. Mirip yang dilakukan John Green dengan novel Fault in Our Stars, dimana tokoh utamanya terkena penyakit, tapi tidak merasa sedih dan menjalani hidup laiknya orang kebanyakan.

Di novel ini pula, Orizuka berusaha untuk menerapkan apa yang telah dilakukan oleh John Green. Si tokoh utama bernama Yogas, dan ia terkena penyakit HIV yang ditularkan oleh seorang kawannya saat SMA. Untuk mengatasi masalahnya, ia pergi ke Yogya untuk balas dendam kepada sahabatnya. Lalu ia bertemu seorang gadis bernama Kana. Singkat cerita, mereka jatuh cinta dan Yogas berhasil mengatasi masalahnya.

Apa yang menarik dari cerita yang tampak biasa ini?

Menurut saya, cerita ini jika dibaca oleh remaja atau dewasa awal, maka ia akan menunjukkan satu hal—dan mungkin ini sudah begitu klise—tentang bahaya narkoba dan masa depan yang bakal kacau jika terkena jeratnya. Tapi Orizuka mampu melukiskan kisah ini dengan cara anak muda, mengalir dan menggunakan bahasa anak muda sehingga di tangan pembaca kisah ini akan disukai.

Gaya bertutur model begini, jika Orizuka konsisten terus menggarapnya, akan menjadi salah satu kekuatan menarik di novel-novel berikutnya. Dan kau tahu, penulis ini memang begitu laris. Paling tidak, nama ini akan cukup menjanjikan untuk beberapa tahun mendatang. Sebab ia sendiri sudah punya banyak penggemar.

Kedua,  Pillow Talk (Christian Simamora)

Hal pertama yang membuat saya gusar dan takjub ketika membuka novel ini adalah; ia memasuki cetakan kedelapan dalam rentang 2010-2011. Tentu, ini novel yang begitu disukai pembaca, dan memang tidak salah, Christian Simamora memang sudah memiliki  penggemar tersendiri—kebanyakan dari kalangan urban, pikirku.

Dalam novel ini, Christian membungkus percintaan sahabat lama dalam suasana urban yang gegap gempita; sex, cafe, kehidupan kelas menengah dan pelbagai hal lain sebagai penanda kota. Sebagaimana kita tahu, para pembaca tentu adalah kalangan yang berada dalam lingkup ini, dan penulis novel ini tahu betul kemana ia harus memberikan dunia bagia pembacanya. Orang tentu akan senang jika kehidupannya diceritakan oleh orang lain, bukan? Dan tentu, orang akan bergembira jika dunianya dikisahkan dengan cinta.

Berbeda dengan Orizuka, Pillow Talk sendiri tampaknya diperuntukkan bagi pembaca dewasa,  seperti yang saya katakan di atas, dan mengisahkan persahabatan antara Jo dan Emi dengan tautan masalah kehidupan percintaan mereka masing-masing. Seperti cerita cinta berlatar sahabat kebanyakan, mereka enggan mengungkapkan cinta sebab takut persahabatannya hancur dan lebih memilih diam dan berpacaran dengan orang lain. Singkat cerita, mereka akhirnya sadar dan akhirnya bersatu setelah mengalami banyak hal.

Novel ini juga memiliki bumbu sex yang lumayan banyak sebagai penanda kaum urban mengisahkan dirinya, dan untuk sebuah novel yang sejak awal ditujukan bagai pembaca dewasa, Pillow Talk mampu meramu emosi pembaca dengan cukup menarik—saya membayangkan orang-orang membaca novel ini di kafe, hotel ataupun bar—dan berhasil meraih simpati banyak orang.

Ketiga, Montase (Windry Ramadhina)

Harus saya akui, di antara tiga novel populer yang saya baca kali ini, saya sangat menikmati bagaimana Windry Ramadhina bercerita. Ia mengingatkan saya pada Nicholas Sparks yang konsisten menempuh jalur romance sebagai spesialisasi dalan novel-novelnya, dan kau harus tahu, salah satu novelnya One Day merupakan novel romantis yang sampai saat ini masih banyak diperbincangkan orang.

Salah satu kekuatan utama dalam kover.

Siapa tidak terpantik dengan sebuah bangku di taman, pohon yang rindang, jalanan kecil berkelok, berung bertebangan rendah dan sebuah kata ‘kau di antara beribu sakura’. Semuanya memakai ilustrasi dengan wajah yang muram seperti potret jaman dulu. Ini mengingatkan orang akan sebuah ruang terdalam dalam hati manusia, yang mungkin sesekali akan kau kunjungi dan mengingatkanmu akan kenang-kenangan bersama orang yang kau sayangi atau meninggalkanmu. Sungguh kerja kreatif yang membuat nalar gusar; mengangumkan.

Montase sendiri menggambarkan dunia film dengan kampus Insititut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan lakon utama seorang bernama Rayyi, yang juga anak produser film-film mainstream, dan berusaha untuk tidak mengikuti jejak bapaknya. Ia ingin menjadi sineas film dokumenter dan tidak mau ikut pasar.

Seperti yang saya bilang di awal, ini adalah kisah cinta. Dan Montase menyuguhkan balutan asmara yang menarik antara si Rayyi dengan seorang gadis Jepang bernamau Haru yang sedang menempuh studi film di IKJ. Singkat cerita, gadis ini yang membuatnya sadar bahwa pilihan hati akan sangat menentukan dirinya kelak menjalani masa depan. Dan itu terbukti, Rayyi berhasil di dokumenter tapi jodoh tidak mempertemukan mereka. Haru meninggal.

Alur yang diciptakan penulisnya sangat menarik dan tidak membosankan.  Dialog dalam sebuah novel tentu  berbeda dengan percakapan-percakapan sehari-hari. Sebab di dalamnya, kau akan coba membuat pembaca untuk memasuki dunia rekaan si penulis. Dan Windri cukup memahami itu sehingga dialog yang ia gunakan tidak klise.

Apakah Windri akan menjejaki hal serupa seperti halnya Nicholas Sparks mengkhususkan dirinya menulis novel-novel populer bertema cinta?

Saya tidak tahu dan hanya Windri yang mampu menjawabnya. Toh, saya baru membaca dua novelnya. Montase dan London, novelnya yang terakhir juga memiliki gaya bertutur yang menarik, dan saya belum membaca karya-karya dia yang lain. Tapi melihat namanya—ia pernah berguru di DKJ yang diampu mas Sulak dan mas Yusi—ia memiliki potensi untuk menjadi penulis kisah cinta yang tidak biasa, dan tentu terus menerus disukai pembaca.

***

Ketiga novel di atas adalah novel populer—entah siapa yagn pertama kali menggolongkannya—yang banyak disukai pembaca dan sekali lagi saya tidak ingin berbicara tentang keburukan sebuah karya dulu. Ada ruang tersendiri.

Tentu kalau mau lebih ke persoalan buruknya sebuah karya, kita tidak bisa membaca dengan cepat. Perlu penelusuran lebih mendalam, dan berhubung saya tidak ingin menulusuri, saya hanya akan kembali mengingatkan bahwa menulis panjang merupakan kekuatan tersendiri dan saya selalu mengagumi orang yang menulis panjang. Sebab ini modal yang luar biasa di tengah arus deras sosial media dan informasi yang membuat orang begitu malas berlama-lama menuliskan kisahnya.

Saya kerap membayangkan, bagaimana para penulis ini membagi hidupnya; berinteraksi, menulis, bekerja dan mungkin berkencan.

Begitulah, saya cukup menikmati hari sabtu ini.

Jagakarsa, 8 Februari 2014
@Dedik Priyanto

Bagaimana Roald Dahl Berkenalan dengan Saya

Belakangan ini saya lagi gandrung dengan para penulis anak dan ini semua, harus saya akui, karena hasutan kawan saya Zakky Zulhazmi. Ia orang yang jatuh cinta dengan buku sejak dalam pikiran, dan penghasut kelas kakap untuk urusan buku, khususnya sastra. Ia pula yang mengenalkan saya pada Astrid Lindren, Antoine de Saint Exupery, Tetsuyo Kuronayaki, Natsuki Soseki dan banyak penulis lain. Tapi ada satu nama yang luput ia kenalkan; Roald Dahl. 

Saya pertama kali dikenalkan kepada Roald Dahl oleh Matilda. Ia gadis kecil yang pintar, begitu suka membaca dan disukai teman-temannya. Sayangnya, ia tidak beruntung sebab orang tuanya cenderung membencinya sebab ia terlalu cerdas, dan terkadang menjengkelkan; ia selalu melawan orang tuanya yang acapkali berbuat curang di perdagangan. Itu pun sudah lama, mungkin saat SMA saya membacanya.

Perkenalan selanjutnya, dan lantas membuat saya menyukai gayanya berutur, adalah momen berburu buku di Cinere dan untuk hal ini, saya harus berterima kasih kepada kawan saya di kantor bernama Fisca. Ia yang menemukan paket Rold Dahl di tempat bazar itu, dan seperti orang kelaparan, kami langsung memborongnya. Fisca dapat satu paket, dan saya juga serupa. Kau tahu, ini paket lengkap koleksi Roald Dahl dengan 14 buku di dalamnya, dan saya kembali bertemu Matilda.

Keesokan harinya, seaat jam kantor usai, saya pun bergegas pulang lebih awal ke kontrakan. Beberapa kawan menanyai saya. Tumben orang ini pulang cepat, pikir mereka. Dan saya hanya tersenyum saja. mereka tidak tahu, saya ingin cepat-cepat bertemu Roald Dahl di kontrakan yang bernama—ah kau mungkin akan tertawa mendengarnya—kost gaul.  Saya tahu, saya akan bergembira hari ini menemuinya.

Baiklah, dan ini khusus kusampaikan padamu, akan kususun keempat belas buku itu dan bagaimana saya menikmati berkenalan dengan mereka.

Pertama, Matilda 

Mengisahkan tentang Matilda, dan bagaimana ia mengatasi masalah hidupnya, dan gurunya yang baik hati; miss Honey. Matilda sangat pintar, sebab ia membaca di perpustakaan, dan sudah hapal Charles Dickens, Hemingway dan penulis-penulis lain sejak belia. Kecerdikannya pula yang membuatnya mampu menyelamatkan sekolahnya.

Kedua, The Magic Finger

Kisah ini mirip Midas, yang kala ia memegang sesuatu akan menjadi emas. Bedanya, gadis ini jari. Ia mempunyai jari sihir. Dan ia melakukannya kepada orang-orang jahat. Akhirnya, orang-orang jahat ini sadar bahwa kelakuannya buruk.

Ketiga, The Twits (Keluarga Twit)

Ini tengtang binatang-binatang yagn disiksa oleh keluarga Twit, dan kemudian melawan. Kisah di dalamnya sungguh menarik dan jenaka, serta memiliki satu kekuatan moral; janganlah menyakiti binatang jika kau tidak ingin diserang.

Keempat, Mr. Fox yang Fantastis

Ini mengisahkan rubah yang cerdik, berhadapan dengan tiga manusia yang jahat. Saya teringat kartun dalam film-film masa kecil. Saya sungguh-sungguh menikmatinya.

Kelima, James and The Giant Fix

Ini persis seperti Mio Anakku, kisah dongeng Astrid Lindgren, bedanya james bertemu dengan seorang kakek, dan mengajaknya ke dunia entah berantah. Di sana pula ia bertemu dengan makhluk aneh-aneh. Di sana pula, Jamse berpetualang.

Keenam, The BFG, Raksasa yang Baik Hati 

Saya teringat dongeng timus mas kala membacanya. Tapi yang ini kebalikannya. Raksasa di sini baik hati, dan malah bahu membahu  melawan para raksasa yang jahat. Saya bayangkan, bagaimana jika timun emas dibuat cerita yang serupa ini, atau paling tidak ada  tafsiran gaya becerita yagn baru terhadap raksasa. Sebab hampir semua orang, saya yakin ini merasuk di imajinasi mereka, bahwa para raksasa adalah makhluk yang jahat. Tapi di sini, tidak.

Ketujuh, Danny and The Champion of The World

Ini tentang sosok Danny yang berbeda dengan Steinbeck mengisahkannya di Tortilla Flat—ah siapa pula yang memasukkan kalimat ini—tapi Danny di sini adalah sosok yang kuat, dan ia berusaha menolong ayahnya. Kisah yang menarik, jika para anak membacanya dan sejak kecil sudah terpantik untuk tidak hanya menangis.

Kedelapan, The Giraffe and The Pelly, and Me

Ini jenaka sekali, sebab kisah tentang Jerapah, Burung Bangau dan Monyet yang membantu si tokoh aku dalam membersihkan sebuah toko dan akhirnya mereka mampu keluar dari masalah. Cerita ini menguatkan kembali bahwa, seberapa kuatnya manusia, tentu akan lebih kuat manusia.

Kesembilan, Esio Trot (Aruk-Aruk)

Harus saya akui, ini adalah kisah cinta. Dan mungkin keluar dari pakem Roald Dahl. Tapi jika dibaca oleh anak-anak, saya kira tidak masalah. Ia mengisahkann bagaimana kecerdikan seoragn tua mendapatkan cinta seorang dengan perantara kura-kura peliharaan. Kau tahu, kura-kura tumbuh begitu lama, bukan? Tapi Roald Dahl membuat keajaiban; tokoh utama digambarkan membeli kura-kura yang banyak, dan selalu mengganti kura-kura peliharaan yang diincarnya tiap minggu.

Keajaiban terjadi, si perempuan akhirnya jatuh hati sebab ia tahu ia bisa melakukan keajaiban.

Oke, jika kau tidak setuju ini keajaiban, tapi ini strategi yang aduhai untuk mendapatkan hati perempuan—apalagi jika ia memiliki piaraan kura-kura.

Kesepuluh, The Enormous Crocodile 

Ini kisah tentan seorang buaya buas, yang ingin memakan anak-anak. Tapi digagalkan oleh banyak hewan. Cerita menarik, sebab ia mengajarkan satu hal; kesombongan hanya akan mengantarkan pada kekalahan.

Kesebelas,  The Witches (Ratu Penyihir)

Ini juga cerita yang sangat jenaka, bayangkan, bagaimana jika orang-orang di sekelilingku adalah seorang penyihir? Ini juga yang  yang dialami tokoh utama, si aku, yang harus mengetahui fakta; banyak penyihir sungguhan yang berkeliaran di sekitarmu dan berpakain laiknya orang-orang biasa.

Kedua belas, Charlie and The Chocolate Factory

Selain Matilda, kisah Charlie dan pabrik ajaib dari Mr. Wonka ini merupakaan cerita rekaan Roald Dahl yang paling terkenal. Sebab di dalamnya, ia menggambarkan ruang batin segala anak di dunia dan keinginan untuk memasuki dunia imajinatif, dan limpahan coklat yang tidak akan habis sepanjang hidup mereka.

Charlie, seorang anak miskin, tiba-tiba saja mendapatkan tiket emas sayembara untuk berkunjung ke pabrik coklat Mr. Wonka dan di seluruh dunia Cuma lima anak yang beruntung. Petualangan Charlie di pabrik rahasia inilah yang menjadikan latar cerita ini, serta bertemu dengan makhluk menarik yang ada di sana. Percayalah, imajinasimu akan menemukan tempatnya.

Ketiga belas,  Charlie and the Great Glass Elevator

Ini lanjutan dari Charlie dan Mr. Wonka, kali ini mereka berdua terbang ke luar angkasa, dan kau tahu, ini adalah pengalaman imajinatif yagn menakjubkan bagai anak-anak.

Saya tidak tahu kapan cerita ini pertama kali dibuat, tapi saya yakin ketika anak kecil membacanya, maka yang terjadi adalah keinginan yang menggebu untuk berpetualang sejauh mungkin, setinggi mungkin.

***

Begitulah, tapi omong-omong, kenapa hanya ada tiga belas, sedangkan saya berkata, ini ada empat belas. Tunggu dulu, ada satu yang belum saya ceritakan padamu, dan tampaknya aku harus menyimpanya, sebab ini adalah otobiografi masa kecil dari Roald Dahl dan diberinya judul Boy Tales of Childhood. Menarik, bukan?

Oke, kira-kira begitulah Roald Dahl berkenalan saya. Maaf, maksud saya adalah, bagaimana saya mengenal pengarang ini. Ya, meskipun telat mengenal Roald Dahl, paling tidak saya merasa kembali menemukan kekuatan cerita, kekuatan dongeng yang mengembalikan sebagian kecil masa riang saya saat kanak.

Jagakarsa, 2 Februari 2014

@DedikPriyanto

PS: Zakky Zulhazmi mendapatkan info tentang buku anak-anak ini dari AS Laksana, dan ia, ketika dengar tentang nama pengarang darinya, langsung mencari sampai dapat. Inilah kekuatan Zakky sebagai penghasut buku pilih tanding.