Halaman

Rabu, 30 April 2014

Orang-Orang yang Merindu


~ Pram

Sebut saja kami orang-orang yang merindu. Orang-orang yang tidak pernah bertemu langsung dengan sosokmu yang entah; merupa bayangan yang hanya kami temukan di lembaran-lembaran lusuh yang saling berganti tangan.

Itulah kami, generasi yang tak pernah mendengar suaramu yang konon selalu keras jika berbicara itu.

Kami tumbuh dengan rapuh, selalu memandang masa depan seolah dunia yang retak dan merasa tiap waktu berjalan pada lorong yang senyap penuh rerimbun. Tak ada cahaya yang datang seperti sebuah pagi yang membangunkan lelaki muda dengan teriknya, yang ada hanyalah alarm denngan lengkingnya bergegas menyuruh kami terkesiap mengejar dunia yang entah.

Lalu muncul televisi yang merenggut kesadaran kami atas dunia sekitar, menculik jiwa kami dari permainan kelereng di sekitar atau rebutan suara dengan azan yang menyentak kala magrib tiba. Juga ponsel dan pelbagai kaca yang enggan berbagi dan mematikan senarai cakap yang sedari kecil kami genggam.

Kami tumbuh dengan luka yang tak pernah kami sadari; tentang suramnya masa lalu yang dibiarkan menjalar begitu saja menjadi kebenaran tunggal. Perihal pembunuhan-pembunuhan yang kami terima sebagai sebuah heroisme yang diajarkan sejak masa kanak dan  pembangunan-pembangunan fisik yang kami terima sebagai bagian dari dunia modern.

Selebihnya, tak ada yang sanggup membuat kami begitu gigih memertahankan ego yang kian rudin, sedikit ringkih, terkadang bengal dan begitu keras kepala terhadap sekitar. Seakan semuanya mengabur dan tak ada ruang tersisa atau semacam residu yang entah kapan kami akan menggenggamnya.

Kemudian muncul orang-orang itu.

Orang-orang yang mengjarkan kami untuk mengenalmu, pribadi-pribadi yang dikirimkan semesta untuk mengingatkan akan sosokmu.

Kini, bagi kami, hidup bukan sekadar beranak-anak pinak lalu mati bergumul tanah, atau bekerja dan bergumul dengan rutinitas yang entah.

Kami melihat hidup tidak hanya tanah retak yang terpaksa kami huni atau masa depan suram yang berusaha kami capai dengan segala pengetahuan.

Tak ada masa tanpa ada gejolak. Tak ada sejarah tanpa darah. Tak ada pekik perubahan tanpa ada leher yang tercekik. Dan kemanusiaan hanya menjadi bumbu masak bagi mereka yang gemar memeram masa lalu dengan culas. Kesadaran merupa bait suci yang tunduk pada keadaan.

Kami akan selalu menjadi generasi yang rapuh jika tak mengenalmu melalui lembar-lembar lusuh itu.

Kami akan melangkah ke lorong senyap tanpa jika tak bercakap tentang perlawanan yang telah kau lemparkan itu.

Kami adalah orang-orang itu, orang-orang yang merindu akan sosokmu kembali hadir menjadi nyala bagi bara api kami yang terus meredup.

Jakarta, 30 April 2013

Dibacakan saat haul ketujuh Pram di UIN Jakarta, 30 April 2013 dan berada dalam booklet Pram di UIN Jakarta dengan judul yang sama. Gambar diambil di sini.

Rabu, 23 April 2014

Mark Twain dan Buku


Itulah kata Mark Twain, dan saat ini entah kenapa banyak orang yang ingin jadi penulis. Padahal, yang lebih penting adalah menjadi pembaca. 

Happy World Book Day. 

Senin, 21 April 2014

Para Pencerita dari Yogya


Bertemu dengan para pencerita di Yogyakarta, dari kanan: Dewi Kharisma Michelia, Saya, Herjuno Trisno Aji, Desi Puspitasari dan Dimas Pamengkas. Mereka masih muda, beda dan berbahaya. Kami bertemu di antara riuhnya Malioboro, Yogyakarta (15/4).  Dari hasil perbincangan, tercetus sebuah nama yang tampak akan sangat asik jika kami realisasikan; Serikat Moka Yogyakarta. 

Dan, mereka sebentar lagi menyapamu dengan novel yang sedang mereka tulis.