Halaman

Selasa, 07 Januari 2014

Surat untuk Pak Denny JA

Oleh: Puthut EA

Selamat pagi, Pak Denny.... Semoga kebaikan dan kesehatan baik jasmani maupun ruhani senantiasa menyertai Anda. Amin. Maaf, pembukaan dan salam saya hanya singkat, sebab saya tidak begitu pintar berbasa-basi. Tapi Insyaallah bukan berarti saya tidak baik hati, sebagaimana Anda juga. Lagi-lagi amin...

Saya menulis surat ini dari sebuah noktah teritori di bumi Indonesia..Duh Indonesia,.Pak Denny... sebuah nama yang membuat banyak orang bisa merinding. Sebuah negara yang begitu molek dan kemerah-merahan menyongsong tahun politik. Tentu saja sebuah pesta politik yang dibangun di atas demokrasi liberal, demokrasi yang riuh penuh warna dan balon, yang membuat banyak orang menoleh lalu bercita-cita jadi politikus. Demokrasi semacam inilah yang membuat dari mulai tukang sablon sampai konsultan politik berikut lembaga survei laris manis tanjung kimpul. Ah, Anda tahu itu.

Demokrasi Indonesia mutakhir tidak akan melupakan nama Anda sebagai salah satu tokoh konsultan politik di barisan awal sekaligus sebagai salah satu maestronya. Pengamat dan konsultan politik belakangan ini, yang luarbiasa lanyah dan masih berusia muda setiap kali habis salat mestinya mendoakan Anda karena tanpa pendahulu seperti Anda rasanya muskil profesi ini pun menjadi sohor, moncer dan mentereng.

Saya tidak berpanjang kata untuk membahas hal yang terlalu besar seperti Indonesia. Selain hanya menggarami laut, juga ini bukan saat yang tepat. Karena dinpagi seperti ini, tidak perlu kita membahas hal yang terlalu serius. Pagi ini, Yogya mendung. Cocok untuk membahas hal yang ringan-ringan saja sembari menyeruput kopi dan mengisap udud. Eh tapi kalau tidak salah Anda tidak suka ngudud ya...

Pak Denny, tentu tidak mungkin Anda tidak tahu pokok soal apa yang ingin saya sampaikan. Orang secerdas Anda pastilah mudah tahu. Benar, ini masih soal sastra. Selembar teritori kreatif yang membuat nama Anda mumbul akhir-akhir ini. Tapi mohon maaf kalau dalam menyatakan hal tersebut terdapat banyak kesalahan, selain karena ilmu sastra saya masih dangkal, karya-karya saya juga belum terlalu banyak dan masih karya yang begitu begitu saja, tidak ada terobosan seperti karya-karya Anda yang kata beberapa sastrawan sepuh punya kelebihan dan kecemerlangan. Eh, apa kabar Pak Sapardi? Semoga beliau sehat selalu. Di Indonesia jarang ada akademikus sekaligus praktisi sastra yang panjang nafas dalam berkarya seperti beliau. Sampaikan salam hormat saya.

Pak Denny, saya masih yakin kalau dunia sastra baik sastrawan, kritikus, pembaca dll masih riuh membicarakan Anda di pagi ini. Tentu Anda suka dengan dunia yang riuh, sebab demokrasi liberal adalah demokrasi yang riuh. Keriuhan dibutuhkan dalam perdagangan juga. Termasuk dagang gagasan. Termasuk tentu saja dalam dunia marketing politik. Sebab konon, kata pebisnis marketing politik yang lain yang tentu Anda kenal yakni Pak Rizal Mallarangeng, kuncinya hanya ada tiga: money, momentum dan media.

Saya menduga, dalam dunia sastra yang sedang Anda singgahi ini, tiga hal tersebut tentu menjadi parameter dan pijakan. Barang siapa memiliki ketiganya, maka ia akan bisa berkibar. Namun hemat saya, seseorang sebetulnya cukup punya satu: money. Duit. Mothik kalau kata orang Yogya. Sebab dengan uang, seseorang bisa menguasai, membeli atau terpampang di media. Dengan uang pula, ditambah sedikit saja kepintaran, sesorang bisa menciptakan momentum.

Dan menurut saya, Anda orang yang sangat piawai menciptakan momentum. Itu pula yang membuat Anda terus bisa berselancar dalam keriuhan hari-hari belakangan ini. Anda sudah ungkapkan hal itu di dalam pledoi dan kicau Anda. Dunia sastra, menurut Anda, mulai terasa menggeliat sejak buku yang Anda sponsori soal 33 tokoh sastra yang punya pengaruh, terbit.

Saya tidak tahu, mungkin sebelum Anda masuk di dalam himpunan nama tersebut, dunia sastra sedang tertidur atau mungkin bahkan mati suri. Coba nanti saya cek apakah masih banyak cerpen dan puisi yang nongol di hari Minggu, apakah karya-karya sastra masih dicetak oleh para penerbit buku dan apakah debat dan celoteh sastra masih bertaburan di media sosial.

Maaf lho Pak, kalau saya langsung nembak bahwa buku tersebut terbit karena Anda sponsori. Seperti saya bilang di awal bahwa saya tidak pintar basa-basi. Dan menyeponsori hal seperti itu biasa kok. Termasuk titip nama supaya masuk. Lebihb tepatnya buku tersebut dan sejumlah nama yang lain di dalam buku tersebut hanya sebagai pelengkap saja. Intinya ada di Anda. Dan sekali lagi saya konsisten, Anda tidak bersalah dalam konteks kekinian yang segala hal bisa diperdagangkan dan ditukar dengan uang. Kalaupun toh misalnya masih perlu untuk disalah-salahkan tentu yang paling salah ya para sastrawan yang ikut mendongkrak Anda.

Pertama, kok tega mereka memperlakukan hal seperti itu di dalam dunia sastra. Dunia yang kaya imajinasi tapi masih agak miskin dalam apresiasi dan dukungan. Kesalahan kedua, kok mereka gak meminta banyak sekali uang agar bisa dibagi-bagikan ke pelaku sastra lain. Kalau hal tersebut dilakukan sebanyak mungkin, maka yang menghujat buku tersebut hanya jadi minoritas. Tidak seperti sekarang ini, yang mengritik dan menghujat jauh lebih banyak.

Salah satu sebabnya tentu saja banyak yang tidak kecipratan mothik Anda. Setidaknya kalau ada slep-slepan kan tidak perlu ikut bicara. Diam. Tapi Pak Denny, sekali lagi saya tidak suka bicara benar atau salah. Biarlah soal seperti itu diurus para ahlinya.

Saya hanya menyayangkan, seandainya jauh hari sebelum ini kita bertemu, saya bisa sampaikan usul dan saran yang gratis dan elegan jika Anda ingin numpang tenar di dunia sastra. Sehingga gegeran macam ini tidak perlu terjadi. Ini terlepas dari bahwa mungkin dengan gegeran ini Anda makin senang karena makin tenar lho ya...

Pak Denny, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan di dalam dunia sastra tanpa harus sevulgar itu, dan dunia sastra selalu mencatat nama-nama yang mendukung sastra tanpa melalui berkarya. Sebab sebuah karya membutuhkan sekian banyak dukungan baik langsung maupun tidak langsung. Sedikit contoh, ada nama HB Jassin yang pasti Anda tahu. Beliau kritikus dan pelaku dokumentasi yang penting dalam jagat sastra Indonesia. Ada juga Jusuf Ishak, seorang editor sekaligus salah satu inisiator Hasta Mitra, penerbit alternatif yang berani menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang mungkin tidak Anda kenal seperti Buldanul Khuri dan Bilven.

Nama pertama adalah mantan pemilik penerbit Bentang Budaya. Penerbit ini di saat penerbitan belum sebanyak ini, sudah punya komitmen untuk menerbitkan buku-buku sastra. Buku sastra zaman akhir dekade 80an dan awal tahun 90an tidak seprti sekarng yang bisa laku jutaan eksemplar. Zaman itu bisa laku 3000 eksemplar saja sudah bisa bikin girang pihak penerbit. Sedangkan nama yang kedua itu pemilik toko buku Ultimus di Bandung.

Setahu saya problem toko buku itu dari dulu hampir sama: terancam bangkrut melulu. Tapi jangan tanya kontribusinya selama kurang-lebih 10 tahun berkiprah, ada banyak fora sastra dihelat di sana, tempat para sastrawan diskusi, numpang baca buku gratis, sampai numpang tidur bahkan ngutang duit. Selain kedua nama-nama tersebut ada banyak nama lain yang punya jasa dalam dunia sastra kita tanpa harus menghasilkan karya sastra.

Nah, kalau Anda serius mau membantu dunia sastra makin berkembang dan dinamis, Anda bisa bantu anak-anak muda untuk menerbitkan karya-karya mereka. Ada banyak anak muda Indonesia yang karya-karya mereka cukup bagus tapi tidak bisa diserap dan diterbitkan oleh penerbit di Indonesia. Mungkin karya-karya tersebut dianggap tidak diterima oleh pasar. Anda juga bisa membuat semacam sekolah singkat reguler untuk kritik sastra.

Konon kata banyak pelaku sastra, mengapa sastra Indonesia kurang bermutu karena minimnya kritik sastra. Anggap saja itu benar. Sebab saya tidak sedang ingin memperdebatkan hal tersebut.

Sekolah singkat itu bisa dirancang dan diisi oleh kritikus-kritikus gamben seperti Pak Faruk HT, Pak Kris Budiman, Bu Katrin Bandel. Kalau spektrumnya mau lebih kaya lagi bisa ditambah Pak Nirwan Dewanto, Pak Nirwan Ahmad Arsuka dan Pak Binhad Nurohmat. Tapi kalau mau lebih kaya lagi bisa ditambah dengan Pak Jamal D Rahman dan Mbak Helvy Tiana Rosa. Dengan sekolah kritik sastra yang reguler apalagi diampu nama-nama keren di atas, maka anak-anak muda berbakat macam Arman Dhani dan Dedik Priyanto bisa lebih terasah dan berdaya guna. Coba sekarang ini kalau Anda perhatikan, kemampuan kedua orang itu hanya dipakai untuk hal yang menye-menye. Energi mereka dipakai untuk ribut. Termasuk untuk meributkan Anda.

Anda juga bisa melakukan hal lain yakni memberi beasiswa berkarya bagi para pelaku sastra Indonesia. Ini juga keren. Kebanyakan sastrawan Indonesia masih ada problem berkarya karena harus juga mencari makan. Sehingga mereka kekurangan energi, waktu dan uang untuk melakukan penelitian untuk karya-karya mereka. Kalau Anda lakukan itu, Insyaallah dunia sastra kita akan makin cerah. Bukan malah berantem seperti saat buku yang Anda sponsori ini terbit.

Anda cukup memasang brand nama Anda di sana. Entah di nama lembaganya, misalnya Denny JA Peduli Sastra, atau bisa memberi sedikit pengantar kalau misalnya soal buku atau pidato singkat kalau misalnya sekolah kritik sastra. Dan kalau Anda lakukan ini tiga tahun saja, sayaa yakin nama Anda akan berkilau. Anda akan disubya-subya oleh banyak kalangan. Tentu pasti ada juga kritikan dan cemoohan. Tapi tidak akan sebanyak sekarang. Kalaupun toh masih ada, mungkin dari Saut Situmorang cs. Saya kira tidak ada masalah. Kritik itu bisa penting dan tidak penting. Kalau Anda suka, tinggal Anda cap penting. Kalau tidak, ya tinggal Anda bilang tidak penting. Gampang. Simpel.

Sebetulnya ada banyak hal yang bisa saya rekomendasikan untuk Anda. Tapi oagi seperti ini idak baik untuk terlalu mbentoyong. Perut saya juga mulai melilit. Kalau misalnya Anda tertarik, kasih pesan di inboks saya. Atau: ping me.

Begitu dulu surat saya ya, Pak Denny... Selamat beraktivitas dan berkarya.


PS: Tulisan ini saya copas dari catatan facebook dari mas Puthut EA tertanggal 7 Januari 2014 pukul 8:39. Ia merupakan seorang sastrawan yang tinggal di Yogyakarta, yang juga seorang guru dan sahabat yang hangat. Ia bisa ditemui di twitter @puthutea 

Minggu, 05 Januari 2014

Gioia Guerzoni

Guioia Guerzoni adalah pegiat literasi dan penerjemah yang memperkenalkan sastra Asia ke dunia. Ia berhasil diwawancarai dengan sangat bagus di situs Jakartabeat oleh Dias Novita Vuri. Silakan baca di sini dan semoga Anda terpantik untuk menulis bagus dan karyamu diterjemahkan olehnya.

Sabtu, 04 Januari 2014

Buku yang Luput Diperbincangkan Sepanjang 2013


Dua hari lalu, dalam perjalanan menuju liburan pergantian tahun, kawan saya Zakky Zulhazmi berseloroh tentang begitu menariknya tahun 2013 dengan pelbagai terbitan bermutu dari para penulis yang sudah terbukti kualitasnya, dan yang lebih menarik lagi adalah, begitu banyaknya orang yang menuliskannya sebagai kaleidoskop akhir tahun.

Tahun ini barangkali tidak seheboh tahun lalu, dimana seorang kawan blogger, lewat tulisannya di blog menghujat beberapa buku yang ia anggap tak layak terbit—jika enggan dikatakan buku sampah. Orang itu bernama Arman Dhani, seorang pegiat literasi dan teman yang baik—entah siapa yang memasukkan kalimat ini—dan seorang yang begitu cerewet di linimasa dan tinggal di daerah Cawang, Jaktim. Tapi tahun ini, ia tidak membuat heboh lagi, ia hanya menuliskan review beberapa buku  yang menolak sama.

Ada juga Irwan Bajang, pemimpin redaksi penerbit Indie dan blogger, yang merangkum kejadian-kejadian menarik sepanjang 2013 dengan cukup lengkap; gossip, perdebatan dan pelbagai hal lainnya. Lain halnya dengan Haris Firdaus, jurnalis sebuah media cetak di Jakarta, yang mengambil satu fragmen dalam sastra; gossip, lengkap dengan cerita-cerita menarik lainnya yang melingkupi sastra Indonesia. Bahkan, ia menamakan tahun ini sebagai tahun gossip sastra.

Beberapa buku yang paing banyak diperbincangkan, untuk kategori fiksi antara lain, Murjangkung Cerita yang Dungu dan Hantu-Hantu (AS Laksana), Pulang (Leila S. Chudori), Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (Dewi Michelia), Amba (Laksmi Pamuntjak) dan Pasung Jiwa (Okky Madasari)—kebetulan mereka adalah para finalis KLA yang penuh kontroversi itu. Sedangkan untuk non fiksi, riuhnya sastra kita dihangatkan oleh kemunculan Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (Fernando Baez) dan Kekerasan Kebudayaan Pasca ’65 (Wijaya Herlambang). Paling tidak, dua buku itu paling mewakili perbincangan orang-orang, apalagi yang terakhir dengan arah yang sangat jelas; membongkar hegemoni Salihara, Goenawan Mohamad dan geng lawas warisan Manikebu.

Tapi, saya tidak akan membincangkan mereka atau yang paling banyak dipercakapkan orang. Saya hanya ingin memberikan beberapa hal, yang entah kenapa, orang-orang luput membicarakannya. Padahal bagi saya, buku ini penting untuk didiskusikan ulang dan memberikan pengaruh yang besar. Entah bagi literasi, kebudayaan atau yang muluk—dan itu akan membuatmu pusing—adalah sumbangsih bagi peradaban.

Baiklah, saya akan memulai membuat daftar beberapa buku yang pantas untuk diperbincangkan, dan entah kenapa luput disebut sepanjang 2013. Tentunya, ini sangat subjektif dan bebas kalian debat.

1. Rahwana Putih—Sri Teddy Rusdi

Kita mengenal Rahwana sebagai monster yang begitu durja, beringas dan menakutkan.  Ia pun dikenal penculik Sinta dan musuh dari Rama Wijaya, raja Ayodia yang merupakan titisan Dewa. Tapi di tangan Sri Teddy Rusdi, cerita ini berbalik dan berubah haluan. Rahwana menjadi sosok suci, yang mewarisi sasmita gaib dari semesta, dan pemeluk keteguhan hati yang tiada duanya. Bahkan Shinta pun di akhir ceritanya merasa tertipu dengan Rama, dan bersimpati pada Rahwana. Sayang, Rahwana telah meninggal pada perang Brubuh, sebab pengkhianatan Gunawan Wibisana, adiknya sendiri.


Cara pandang yang dilakukan oleh penulis ini berbeda, dan menitik beratkan pada proses Rahwana menjadi sosok yang begitu dicintai penduduk dan orang yang mengerti  rahasia semesta. Bahkan ia pun rela dikutuk. Baginya, penerimaan terhadap takdir adalah kunci kehidupan. Itulah inti dari ajaransastrajendra hayuningrat pangruwating diyu.


Tafsiran ini pula, dengan cara berbeda, pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong, Agus Sunyoto dalam Rahuwana Tattwa dan yang paling mendekati epos ini adalah Anak Bajang Menggiring Angin dari Shindunata.

Yang membedakan adalah,  bagaimana penulis epos Rahwana Putih ini memberikan sentuhan akhir cerita, yang begitu mengharukan, seolah ingin memberikan tafsiran lain; tidak ada hal lain selain penerimaan.

Omong-omong, buku ini baru ramai diperbincangkan beberapa bulan belakangan, ketika tempo mengulasnya dengan cukup menarik sebagai tafsiran baru kisah wayang yang ada, disusul oleh pelbagai analisis yang kemudian datang. Buku bagus memang kadang tidak hadir seketika, ia harus menunggu orang membaca. Sebab kau tahu, tampilan buku ini tidak begitu memanjakan mata dan memantik orang membaca. Tapi percayalah, buku ini layak untuk kau perdebatkan.


2. Langit Pertama Langit Kedua—Martin Aleida

Entah kenapa orang-orang melupakan buku ini, saya juga heran. Padahal, dibanding dua novel yang paling banyak diperbincangkan soal ’65, Amba dan Pulang, kumpulan tulisan Martin Aleida ini lebih menggigit dan memiliki cara bertutur yang lihai, tanpa menggurui atau berusaha merayakan narasi korban secara besar-besaran.

Coba misalnya baca cerpen ‘Di Kaki Hariara 20 Tahun Kemudian’ yang menguak kebenaran dari cara pandang seorang guru yang menanamkan pohon di depan rumah. Tidak kehilangan sentuhan bercerita, bukan?

Kelebihan buku ini adalah, Martin Aleida mencatat pelbagai hal tentang hidupnya dan kisah-kisah soal ’65. Toh kita semua tahu, sedari dulu ia adalah sosok yang konsisten membincang soal ini dengan cara sastra, dan lewat pelbagai surat-surat dan artikel. Jauh melebihi orang-orang yang sekarang ini mengeksploitasi babak sejarah paling mengerikan di negara kita.


3. Ekspedisi Cengkeh—Puthut EA dkk

Boleh dibilang, ini adalah buku yang paling ditunggu sebab twit dari Puthut EA dalam mengisahkan perjalanannya mengarungi laut dan daerah-daerah yang ada di Indonesia. Dan biasanya, buku yang disunting Puthut bukanlah sembarangan.

Misalnya ia memimpin penelitian tentang Dana Bagi Hasil Tembakau (DBH) yang cukup menghentak. Belum lagi beberapa buku menarik lainnya. Intinya, buku yang di dalamnya ada penulis kelahiran 28 Maret ini adalah buku yang patut kita telaah.

Ekspedisi cengkeh adalah buku yang cukup menarik, sebab ia mengulik nusantara yang hilang, peradaban yang menghasilkan cengkeh sebagai komoditas besar yang luput diketahui khalayak. Buku ini seperti mengingatkan kembali akan kekayaan kita yang melimpah ruah, yang barangkali sebentar lagi akan hilang jika tidak dikelola dengan baik.

4. Beyond Motivation—Muhaji Fikriono dkk

Ketika mengetahui penulis buku ini adalah Muhaji Fikriono, penulis tentang filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram lewat buku Puncak Makrifat Jawa (2012), saya curiga, apa yang akan dituju oleh orang ini lewat buku ini. Apalagi, ia masuk dalam rak buku motivasi. Sesuatu yang sangat membingungkan dan sungguh tidak menarik. Kau tahu, buku motivasi adalah salah satu buku yang menipu dan tidak layak kau konsumsi.

Tapi saya salah.

Buku ini ternyata kebalikan dari semuanya. Sebab di dalamnya tidak ada motivasi ala Mario Teguh yang membosankan itu, atau  ala Ary Ginanjar ESQ yang menjual tangisan.

Ya, buku ini dengan terang benderang mengajak para motivator itu, yang menjual utopianisme dan harapan palsu yang diimpor dari barat.Buku ini memberikan tafsir lain, dengan menggunakan pisau analisis  Ki Ageng Suryomentaram, Sosrokartono dan Ibn Atha’ilah, serta menggunakan khazanah lokal sebagai pemantik pemikiran filosofis.

Dalam buku ini, kita diajak untuk kembali merayakan pemikiran hebat yang lahir dari masa lampau dan mencoba menjejakannya ke bumi. Saya kira, buku ini sangat layak untuk diperbicangkan kembali mengingat rak-rak buku dipenuhi dengan bualan kosong yang menjual mimpi yang tak berkesudahan dan cenderung utopis, sesuatu yang entah kenapa begitu dinikmati oleh khalayak.

***

Tentunya, empat buku di atas amat jarang diperbincangkan orang, tapi bagi saya keempatnya merupakan buku yang patuh untuk diperbincangkan. Mereka mewakili empat jenis yang berbeda, dan memiliki keunggulan di bidangnya.

Begitulah, semoga 2014 akan lebih banyak buku yang menyenangkan.

@DedikPriyanto


Tiga Buku Anak yang Membuatmu Tertawa dan Beberapa Menit Kemudian Membuatmu Menangis

Sastra adalah alat propaganda paling menakutkan untuk mempengaruhi orang setelah hukum dan politik, terang teman saya dalam diskusi hangat tadi malam, dan saya hanya mengiyakan sembari membayangkan beberapa hal yang belakangan menghantui; cerita kanak dan hal-hal tidak penting yang harusnya ditulis, bukan narasi besar yang mengharuskanmu untuk merobohkan negara atau paling tidak berusaha untuk membunuh presiden. Kau tahu, itu begitu memberatkan hidupmu.

Baiklah, saya  tidak akan berbicara terlalu banyak lagi. Tapi saya masih sepakat dengan teman saya, bahwa sastra adalah alat propaganda paling efektif. Khususnya jika kau berikan kepada anak-anak. Percayalah, keriangan mereka adalah jalan, dan mendekati mereka dengan cara pandang kanak adalah titik pijak yang harus kau lalui jika ingin jadi propagandis.

Saya akan menuliskan beberapa karya anak dan ini penting untuk dibaca jika kau merasa jengah dengan bacaan-bacaan pucat dan muram—saya agak bosan dengan bacaan-bacaan ala Murakami yang meruyak di toko buku kita belakangan.

1. Little Prince – Antoine De saint-Exupery

Bagaimana jika kau berada dalam sebuah planet kecil dan hanya sendirian tinggal di sana; lalu kau mulai bosan dan berjalan-jalan ke planet di sekitarmu dan menemukan fakta bahwa dunia ini begitu merepotkan, apalagi yang dibangun oleh orang dewasa. Sungguh membingungkan.

2. Semua Beres Kalau Ada Emil – Astrid Lindgren

Astrid Lindgren meracuni anak-anak untuk menjadi pembangkang yang baik hati melalui sosok bernama Emil yang nakal, suka bikin ulah dan akhirnya menjadi bupati. Ia tahu bahwa dirinya nakal, dan tidak bergantung pada orang lain, apalagi instansi agama. Dalam cerita itu, ia bahkan mengacuhkan pendeta dan lebih memilih menumpuk sandal di depan pesta yang dibuat oleh orang-orang kampung.

Konon, Astrid adalah seorang sosialis dan begitu ditakuti publik Swedia. Tapi anak-anak begitu menyukai dan berusaha keras menjadi Emil.

3. Animal Farm – George Orwell 

Ini adalah sejenis fabel. Kau tahu, cerita binatang acap dikaitkan dengan anak-anak saja dan tidak disyaratkan untukmu. Tapi cerita binatang ini dibuat dengan cara cakap laiknya manusia dan begitu satir, dan bersungguh-sungguh untuk menjadi bahan ejekan untuk manusia. Bagaimana jika binatang-binatang yang berada di ladangmu membuat revolusi dan akhirnya menguasai tempatmu?

Begitulah Orwell bercerita.

***

Ketiga karya ini memang ditujukan untuk anak-anak dan ketika pertama kali membacanya, kau akan mengalami sakit perut menahan tawa. Bukan karena ia tidak cocok bagi kesehatanmu dan tidak diperbolehkan dikonsumsi selain anak-anak, tapi ceritanya akan membuatmu kembali menemukan ruang yang tidak bisa digantikan oleh apapun; menjadi kanak.

Lalu, bagaimana kau bisa menangis?

Saya hanya menyarankan, sila baca sendiri ketiga buku tadi dan temukan sendiri, dimana kau akan menangis. Mungkin bukan karena ceritanya, atau hal-hal yang tak jauh dari sekitarmu membuatmu menangis. Tapi saya akan menutup tulisan ini saja dengan memintamu untuk membaca ketiganya. Itu saja.

@DedikPriyanto