Halaman

Rabu, 15 Oktober 2014

Tortilla Flat

“Novel ini yang menginspirasi Ronggeng Paruh adalah Dataran Tortilla. Karya Steinbeck,” seloroh Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, ketika kami berdiskusi di Pojok Gus Dur beberapa bulan lalu.

Waktu itu kami diskusi di pojok Gus Dur, ruang kerja presiden keempat kita yang juga digunakan sebagai perpustakaan lantai bawah gedung pusat NU. Seketika itu pula saya terdiam, dan menolah ke arah Abah.

Sejenak mata kami bertaut, seolah ingin berteriak bersama,”Brengsek Steinbeck!”

Saya sendiri membaca berkali-kali, dan mata saya begitu tertohok dengan percakapan Pilon dan Pablo di hutan perihal  hujan dan air yang turun saat itu. Mereka berdebat soal bagaimana air hujan yang turun. Ada yang berkata bahwa  jika turun berupa permata. Maka, tentu mereka akan kaya, dan banyak uang untuk dibawa ke Torelli guna dibelikan anggur.

Namun, akhirnya mereka sepakat bahwa air hujan yang turun malam itu alangkah lebih indah jika berupa anggur. Tentu anggur Torelli.  Karena dengan itu,  mereka akan lebih bisa menikmati tiap jengkal, tiap waktu untuk menikmati anggur. Imajinasi ini, bagi saya, begitu gila.

Anggur Torelli begitu merasuki otak saya, dan kerap mengusik alam bawah sadar. Bahkan sampai sekarang saya masih terus mencari tempat ini di Ciputat. Jika saudara tahu, ajaklah saya. Bahkan saya yakin, jika pun Tuhan tahu, ia pasti sekarang sedang di Torelli.  


Selepas baca ini, saya begitu bernafsu untuk mencari karya Steinbeck yang lain, dan juga mencari novel asli. Hingga bertemu dengan Of Mice and Men, Cannery Row dan lain-lain.

Pernah suatu tempo menemukannya tergeletak di antara buku terjemahan  lainnya, tapi malang tak bisa ditolak, saat itu isi dompet saya hanya setengah dari harga yang tertera di buku tersebut. Dalam hati saya mengumpat, namun juga bahagia.

Gembira karena saya akan mendapatkan buku asli tersebut. Bukan fotocopy, begitu pikir saya. Dan menunjukkan pada mereka yang sering meremehkan para sivitas pemfotocopy. Sebulan selepas peristiwa itu, saya mengumpat kembali sembari mendengar dinginnya seorang kasir berkata lirih,”Sudah tidak ada, Mas. Stok habis kayaknya. “

Sontak, saya kecewa untuk kembali. Saya pun mencari di toko-toko buku langganan. Tapi hasilnya sama; nihil. Dan sampai sekarang saya hanya mempunyai versi fotocopy. Entah bagaimana tawasul saya nanti, seperti kebiasaan saya waktu dulu saat ngaji, yang harus melafalkan doa kepada mereka yang berjasa atas keberadaan buku ini di muka bumi.

Maka, ketika saya ditanya banyak orang tentang sebuah novel yang patut ditempatkan di tempat utama dalam perpustakaan. Jawaban saya bulat, Tortilla Flat karya John Steinbeck.

Jadi bagaimana, kamu sepakat, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar