Halaman

Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Desember 2015

Wawancara Pramoedya Ananta Toer: "Agama Tidak Pernah Menaruh Perhatian Soal Keadilan."

Di taman depan rumahnya tampak orang tua berkacamata hitam dan mengenakan kaos putih tengah sibuk memotong dedaunan. Tangannya pelan bergerak memilih tangkai yang hendak dipotong dengan gunting.”Selamat pagi, Pak Pram,” sapa Syir’ah.

Pram hanya menoleh dan tersenyum. Mungkin kurang mendengar.”Bagaimana kabar Anda, sudah sembuh?” tanya Syir’ah lagi. “Belum, belum sembuah kalau jalan masih goyang. Saya kira, saya sudah mati. Ternyata masih hidup,” kelakarnya sambil tersenyum lebar.

Pramoedya memang sudah cukup lama menderita sakit jantung. Seusai rawat inap di rumah sakit, Pram kini kembali melakukan aktivitasnya. Menulis? Sastrawan ini rupanya tidak sanggup lagi menulis. Dalam kondisi sakit-sakitan, menulis dan mengumpulkan data sejarah tidak bisa dilakukan lagi.

”Kerjaan saya biasanya Cuma motongi tangkai pohon dan membakar samapah saja,” ucapnya.

Bagi pram, kesehariannya kini tidak lebih dari sekadar menanti detik-detik akhir usianya. Ia pun sadar bukan lantaran sakit parah yang barusan menimpanya, tai sejak beberapa tahun terakhir Pram sadar akan batas usia. “Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan, mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung,”
katanya. Tapi begitulah Pram. Ia percaya pada dialektika hidup. Manusia hidup pasti akan menuju pada kematian. Karena itu pula dia tidak merasa sedikit pun harus takut, atau mengambil sikap hidup yang lain sebagaimana kebanyakan orang.

Bukan Pramoedya kalau tidak ‘keras kepala’. jika sudah menghendaki sesuatu, siapa pun tidak bisa menghentikannya bahkan negara pun akan dilawan jika bertentangan dengan sikapnya.

”Saya ini seorang individualis, menuruti kata hati. Berjuang sendirian sampai sekarang.” Penindasan orde baru pun dihadapi sendirian,”Saya selama 38 tahun jadi tapol tanpa diadili.”

Naskah-naskah dokumentasi karya Pram menjadi korban vandalism. Padahal buku-bukunya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Haknya sebagai pengarang telah dirampas. Pram menghabiskan  hampir separuh usianya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan dan penganiayaan.

”Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini,” ucapnya.

Dalam kondisi yang agak kurang sehat, empat hari menjelang pemilu 5 April 2004, Pramoedya Ananta Toer diwawancarai Faiz Manshur dari Syir’ah di kediamannya di Bojong Gede, Bogor. Berikut petikan wawancaranya.

Sebagai bagian dari proses demokratisasi pemilu diharapkan menjadi medium perubahan bangsa ke arah lebih baik. Bagaimana anda menilai pemilu sekarang?

Pemilu sekarang ini belum mempunyai arti bagi bangsa Indonesia karena saya melihat perkembangan manusia Indonesia itu sendiri belum beres. Apa sebabnya? Karena bangsa ini belum terdidik berproduksi.

Produksi itu kan menyebabkan pencarian, penambahan nilai, meningkatkan kualitas terus menerus dan menumbuhkan karakter. Ini tidak terjadi di Indonesia. Tanpa pengalaman produksi, jalan pintasnya pasti korupsi.

Produksi itu juga bentuk nation. Indonesia menjadi buruk karena factor itu. Birokrasi menjadi sarang korupsi. Padahal, merkea yang berada di jajaran birokrasi itu memegang kendali (administrasi) negara perannya sangat strategis. Saya tidak percaya dengan semua elit politik Indonesia. Juga para intektualnya, yang memilih diam dan menerima fasisme orde baru.

Produksi macam apa yang Anda maksud dalam hal ini?

Produksi apa saja. Banyak jalan untuk menuju ke sana. Yang jelas produksi itu mesti dimulai dari keluarga. Dengan kekuatan produksi ini diharapkan muncul bangsa yang berkarakter. Bung Karno sering mengatakan, kita ini masih bangsa kuli. Artinya mentalitas pesuruh. Ini karena tidak ada pendidikan produksi. Dengan pengalaman berproduksi akan meningkatkan nilai dan pengalaman. Lantas perkembangan bisnis dan segala-galanya ikut berkembang juga, terutama watak, karakter. Tanpa karakter, nyolong pun  mau, apalagi cuma korupsi. Kalau tidak dilakukan, pasti arah perkembangan suatu bangsa tidak karuan.

Tapi sekarang dan beberapa partai baru yang menjadi konsisten pemilu. Banyak orang menilai pemilu tahun ini bagian dari kemajuan bangsa.

Saya tidak percaya, sebelum berkembang individualitas-individualitas dalam masyarakat. Sekarang di Indonesia yang ada hanyalah kelompok-kelompok. Mereka tidak mempunya individualitas. Beraninya amut grubyuk (ikut gerombolan). Lihat saja tawuran-tawuran yang sering terjadi. Itu menunjukkan karakter masyarakat yang tidak punya keberanian individu. Beraninya tawuran. Keberanian individu yang berkembang di Indonesia itu baru di Aceh. Sementara yang  lainnya masih bermental ngawur. Desa lawan desa, pelajar lawan pelajar, kampung lawan kampung. Padahal secara tradisionil keberanian individu itu yang dikedepankan. Lihat wayang, kalau berkelahi satu lawan satu. Kenyataan sehari-hari kita lain.

Anda menganggap politisi yang berada di jajaran birokrasi sekarang ini tidak bisa diharapkan membangun Indonesia ke depan?

Kecuali anak muda, tidak ada sama sekali. Kaum democrat itu kebanyakan pembanyol saja. Orang-orang tua, termasuk saya ini kan hanya jadi beban saja. Harapan kemajuan bangsa ini hanya ada di tangan kaum muda. Generasi muda Indonesia itu selalu berhasil melahirkan sejarha. Sejak tahun 1915 sampai puncaknya pada Sumpah Pemuda. Revolusi 1945, tergulingnya dictator jawa Soeharto semua dilakukan oleh pemuda. Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum muda. Cuma, kelemahannya, anak muda di Indonesia tidak mampu melahirkan pemimpin. Sejak muncul Indonesia, sampai sekarang kita baru memiliki satupemimpin, namanya Soekarno. Setelah itu tdiak ada sampai sekarang.

Kenapa kaum muda hanya bisa melakukan perlawanan, tidak mampu melahirkan pemimpin?
Why? Saya tidak tahu. Itu problem kalian. Saya sendiri tidak habis mengerti. Saya bingung, kok nggak sampai melahirkan kepemimpinan. Saya sudah anjurkan, bikin kongres nasional pemuda. Tapi sampai suara serak begini, ternyata tidak lahir apa-apa.  Mungkin karena anak-anak muda kita kurang mempunyai modal hidup yang kuat, terutama modal finansial?

Ya, karena ini juga anak muda jadi terbebani. Orang-orang tua itu mau mengeluarkan duit kalau ada kepentingannya. Lalu anak muda dibiarkan usaha sendiri semuanya. Orang tua di Indonesia otaknya sudah korup. Apalagi kalau orang tua itu berada dalam birokrasi. Saya tidak mempercayai mereka bis amendukung perubahan. Sejarah perubahan itu sejarah kaum muda. Jangan harapkan dari orang tua, apalagi negara.

Apa yang Anda harapkan dari anak-anak muda di tahun-tahun sekarang ini?

Saya kira perlu mewarisi anamat Bung Karno tentang revolusi yang belum selesai. Sekarang pembusukan politik menjadi problem yang belum selesai. Sekarang pembusukan politik menjadi problem utama. Dan in yang bisa menghentikan hanyalah angkatan muda. Kaum muda harus selalu melatih diri untuk berani mengambil inisiatif dan tanggung jawab risiko yang diperbuat, termasuk memperbaiki kesalahan diri sendiri.

Individualitas itu sangat penting untuk perkembangan karakter manusia dan bangsa. Karakter itu kan pembiasaan dari individu. Kalau dia tiap hari baca koran, misalnya, nanti ingin timbul karakter seseorang yang ingin terus menerus tahu perkembangan dunia.
Pemilu tahun 2004 diramaikan oleh partai-partai berbasis agama. Apakah partai itu bisa diharapkan menjadi katalisator perubahan atau justru sebaliknya?

Saya tidak bisa menerangkan soal ini. (Pram diam sejenak sambil mengisap rokoknya dalam-dalam). Tapi setidaknya, partai-partai yang menampilkan agama dan Tuhan itu tidak berdasarkan pada ketuhanan itu dasarnya mental pengemis. Ngemis berkah, ngemis kekuatan gaib, dan sebagainya. Maaf saya ngomong begitu. Kalau yang irasional semua pasti saya tolak, termasuk partai agama. Tapi kalau kita bicara soal isme, sebenarnya saya tidak menentang isme. Silakan saja penyebaran isme itu dijalankan. Isme apa pun pada dasarnya memang perlu dipelajari. Kalau mau mengkritik jangan ismenya karena itu hak public. Komunisme atau satanisme itu terserah. Isme itu kan ideology, artinya dunia prinspi yang harus dihargai.

Kalau seseorang yang terkait dengan salah satu isme melakukan pelanggaran hukum, misalnya, itu tidak bisa disalahkan ismenya, tetapi seret ke pengadilan. Perlu diperhatikan juga, antara ideology dan politik itu lain. Ideologinya A, politiknya belum tentu A.

Anda hanya menerima yang serba rasional dalam kehidupan?

Intinya, semua masih bisa diterima, tapi yang rasional. Yang bisa diterima oleh otak, yang tidak masuk akal, yang tidak bisa dibuktikan ditolak. Jadi yang tidak masuk akal tidak perlu jadi beban otak saya.

Manusia kalau masih tergantung pada agama atau Tuhan itu sebenarnya ditunggangi oleh kehendak orang lain yang mempunyai kepentingan. Katanya Tuhan adil, tapi pembunuhan penindasan terjadi di mana-mana. Itu enggak masuk akal. Yang masuk akal itu, ya akal sendiri. Rasionalitas yang memutuskan. Akal itu bahasa Arab, hukum bahasa Arab. Adil juga bahasa Arab. Kita belum mengerti sebelumnya. Sangat terbelakang. Tapi, orang pada memuji-muji kebudayaan kita masa lalu. Omong kosong. Kekayaannya melimpah-ruah justru jadi budak. Bangsa-bangsa miskin jauh-jauh datang dari Eropa ke Indonesia merajalela.

Apakah Anda sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap religiusitas?

Nggak sama sekali. Agama tidak pernah menaruh perhatian soal keadilan. Jadi ini pengalaman hidup saya sendiri yang mengajarkan kenapa saya hidup dalam rasionalitas total. Religi itu omong kosong. Itu orang yang menindas bangsanya sendiri, termasuk orang yang menindas saya itu orang-orang religius semua.

Soal agama itu juga menyangkut soal pribadi yang berkaitan dengan percaya terhadap aliran kepercayaan. Orang percaya terhadap aliran kepercayaan itu artinya seseorang sedang berhenti di terminal karena pikiran berhenti bekerja. Kalau seseorang mempunyai kualitas kepercayaan yang paling tinggi biasanya setelah melewati banyak terminal. Orang yang anti Tuhan (Ateis) biasanya justru mereka yang banyak berpikir matang, melewati berbagai jalan, tertambat di terminal-terminal, dan banyak memahami hal-ihwal ketuhanan. Saya sendiri termasuk orang yang banyak memikirkan tentang Tuhan dan agama. Tapi ternyata Tuhan dan agama hanyalah beban saja. Sekali lagi, soal Tuhan, saya tolak, sama sekali!

Tapi setidaknya, kita sering menghadapi hal-hal yang tidak rasional?

Iya saya pernah menghadapi hal yang tidak rasional itu. Beberapa tahun yang lalu, pernah ada kejadian, setiap malam pukul 10, istri saya terbangun dan teriak-teriak histeris. Saya tanya, ada apa? Kenapa tiap malam istri saya teriak-teriak. Setelah saya perhatikan, lantas saya suruh istri saya pindah kamar, lalu saya tidur di situ sendirian. Pas pukul 10 malam, betul terjadi sesuatu. Dari langkan jendela muncul cahaya pelangi. Cahaya itu bergerak memutar di sotoh kamar. Lalu saya gertak, “Mau apa lu.” Setelah saya gertak, cahaya pelangi itu bergetar dan keluar lagi.  Jadi memang saya saksikan hal yang gaib itu. Tapi buat apa dipikirkan begituan. Kalau saya layani, malah jadi beban otak saja. Lebih baik memikirkan hal-hal lain yang berguna.

Agama dalam pandangan Anda lebih sebagai problem ketimbang solusi. Bagaimana seharusnya melakukan rasionalisasi di tengah-tengah masyarakat kita yang religius ini?

Langkah rasionalisasi itu bagus, tapi tantangannya berat. Jangan dipaksakan. Ini bangsa masih religius, walau religiusnya semu. Kenapa semu? Karena kereligiusan orang kita tujuannnya hanya  untuk mengemis saja. Masyarakat kita sejak kecil diajarkan patuh pada Tuhan. Tapi apa itu Tuhan? Tuhan itu hanya berlaku bagi orang bermental pengemis.

***

AGAMA bagi Pram bukanlah gagasan ideal yang bisa diharapkan mengatasi persoalan kehidupan umat manusia. Tapi sekalipun Pram tidak bersahabat dengan ajaran agama, bukan berarti membutakan diri dari khazanah agama. Sebagai seorang penulis, berbagai karya Pram sarat dengan kajian sejarah agama. Sejarah masuknya ajaran Islam, misalnya, sering kali dikaji oleh Pram secara baik. Ada banyak pengaruh Islam yang dibawa pedagang-pedagang Islam yang berpusat di Spanyol dahulu kala. “Misi Islam yang dibawa ke Indonesia banyak unsur dagangnya,” tuturnya.

Pengaruh Islam di Indonesia adalah berkaitan dengan pembatasan poligami. Jika dulu di masyarakat kita ada tradisi poligami tanpa batas, dengan masuknya Islam, poligami dibatasi hanya empat. Tapi Pram melihat pengecualian pada adat pernikahan di Minahasa, jauh sebelum masuknya ajaran agama Kristen dan Islam, suku Minahasa tidak mengenal poligami. “Ini satu-satunya suku di Asia tenggara yang anti poligami,” kata Pram menegaskan.

Sebagai sastrawan, Pram dikenal sebagai orang yang rajin mengumpulkan dokumentasi sejarah. Dia dijuluki sebagai sastrawan sekaligus sejarawan. Berbagai karya sastranya yang berlatar belakang sejarah membuktikan bahwa pengetahuan Pram ihwal sejarah di Tanah Air sangat baik. Sayangnya, banyak dokumentasi yang musnah oleh perlakuan rezim Orde Baru.  “Tanpa sejarah, bangsa ini tidak akan bisa mengatasi kekacauan dan tidak bisa menata masa depan,” ungkapnya.

Nama besar Anda lekat dengan ideologi komunisme. Apakah Anda masih mempercayai ideologi komunisme sebagai senjata perlawanan terhadap kapitalisme-global?
Globalisasi itu perkembangan sejarah umat manusia. Globalisasi itu artinya kemenangan mutlak kapitalisme. Apa yang tidak dikuasi kapitalisme? Walaupun kapitalis-kapitalis dunia itu juga memberikan sebagian dari keuntungannya untuk sosial. Dari situ pajaknya dikurangi. Itu cara Amerika.

Komunisme tampaknya sudah ketinggalan kalau dijadikan alat perlawanan terhadap kapitalisme. Secara global sulit. Yang bisa diorganisasi adalah sosialisme, itu pun sebatas kelompok-kelompok lokal dengan cara menjalin kerja sama antarkekuatan kaum muda yang hidup dalam era global namun anti terhadap globalisasi. Karena itu kaum muda harus pintar bahasa asing. Ini syarat utama. Kelemahan generasi kita juga tampak pada rendahnya kebiasaan membaca. Kita memang ketinggalan jauh dari bangsa-bangsa maju lain.

Sewaktu Indonesia baru merdeka, yang bisa membaca hanya tiga persen dari jumlah penduduk. Nah, pada tahun pertama itu baru belajar membaca dan menulis di desa-desa, itu karena pemerintah Hindia-Belanda membikin sekolah rakyat. Itu yang membiayai sekolah pemerintahan desa sendiri. Dan perempuan lebih terbelakang lagi belajarnya. Kalau membaca saja masih enggan, apalagi menulis, bahkan menghimpun data-data historis?

Bangsa kita sangat tertinggal jauh dengan bangsa Eropa. Apa yang menjadi faktor penyebabnya?

Begini, kalau Eropa itu punya pengalaman, kalau seseorang mandi darah itu artinya meremajakan diri. Perang di Eropa itu artinya meremajakan diri. Tapi kalau tradisi kita, kalau terjadi perang itu mengulang-ulang, yang itu-itu juga. Berbagai tragedi penggulingan kekuasaan sejak zaman dulu kala di Jawa hanya mengulang tragedi, tidak lebih. Kayaknya, bangsa kita tidak mau mengerti sejarah. Coba baca kisah Babad Tanah Jawa.

Konon Anda termasuk tokoh yang pintar berbagai bahasa.

Saya tidak menguasai bahasa asing secara baik. Dulu semenjak sekolah SMP kelas 2, pada zaman Jepang, bahasa Inggris dilarang. Saya hanya menguasai bahasa Indonesia, itu mungkin masih kurang.

Kalau bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda menguasai secara baik?

Saya memang orang Jawa. Tapi saya tidak suka bahasa Jawa. Saya tolak seluruhnya yang berasal dari Jawa. Jawa itu identik dengan javaisme. Dalam javaisme itu hanya tahu satu prinsip: menghormati atau menghargai. Artinya, membantu atasan. Nah, javaisme itu mengutamakan atasan. Apa itu bertingkat-tingkat hanya untuk menghormati atasan. Nggak karuan bahasanya.  Kalau ada orang Jawa ngomong menggunakan bahasa Jawa sama saya, risih rasanya.

Itu sebabnya tanpa perang pun Jawa pasti dijajah karena atasannya disogok habis. Saya tolak Jawa termasuk bahasanya. Saya lebih suka jadi orang Indonesia.


PS: Wawancara ditulis saya ketik ulang dari Syir'ah No. 30/IV/Mei 2004, dengan judul awal Pramoedya Ananta Toer: Partai Agama Bermental Pengemis

Jumat, 04 Oktober 2013

Obituari (Proses Kreatif)

Oleh: Eka Kurniawan
TEMPAT KEJADIAN PERKARA

Lanskap pertama yang menarik perhatian saya, dan tak dipungkiri  berangkali generasi pembaca seperti saya, adalah kota imajiner  Macondo dalam One Hundred Years of Solitude Gabriel Garcia Marquez. Kota itu juga muncul di dua novela sebelumnya, Leaf Storm dan In the Evil Hours. Sebuah kota yang bisa segera dikenal dengan kebun pisangnya, gereja tempat tujuh anak Aureliano Buendia diberi tanda dari abu di kening mereka, dan rumah-rumah yang bercat putih serupa merpati.

Saya belajar mengenali Macondoi lebih dulu daripada apapun yang ada di novel itu. Macondo boleh jadi merupakan tipikal kota kecil di Colombia, modelnya mungkin Aracataca, tempat kelahiran Marquez. Tapi sejarah Macondo, bagi saya bukna semata-mata sejarah mengenai  Kolombia, tetap juga sejarah sastra. Membaca Macondo akan membawa kita ke kota lain: Yoknapatawpha Coutry, Missisipi, Amerika bagian selatan. Pentinng untuk disebutkan: selatan, sebab
Yoknapatawpha County merupakan lanskap yang membedakan dirinya dengan kota-kota di bagian utara.

Yoknapatawpha adalah kota dengan perkebunan kapas yang terbengkalai, negro-negro, veteran County merupakan kota imajiner dalam kebanyakan novel William Faulkner. Sejak saat itu saya selalu membaca banyak kota di banyak karya, imajiner maupun tidak. Ulysses James Joyce tak hanya merupakan kisah mengenai Bloom, tapi juga Dublin. The Hunchback of Notredame tak hanya tentang si Bongkok, namun juga tentang Paris di masanya.

Saya membaca Praha di pertengahan abad lalu dalam novel-novel Milan Kundera, mencoba mengenalinya, dan coba membayangkan apa yang terjadi disana dan memengaruhi hidup orang-orang yang mendiaminya.  Saya mulai melihat bagaimana Yoknapatwpha dan Macondo melahirkanb Gaoma County dalam novel Mo Yan Red Sorghum. Kita juga menemukan Cristantia (Sekarang Oslo, Norwegia) dalam Knut Hamsun Hunger.

Saya bisa membuat daftar lumayan panjang. Dalam sastra kita, juga ditemukan Blora dalam Cerita dari Blora atau Perburuan Pramoedya Ananta Toer, sebagaiamana Surabaya  di awal abad kedua puluh, dalam novelnya yang lain Bumi Manusia.

Sejak saat itu, saya menyadari bagi penulis-penulis agung ini, tempat dalam karya mereka jelas bukan sesuatu yang tidak penting. Tempat adalah dasar bagi mengapa peristiwa-peristiwa di dalamnya terjadi, dan alas bagi mengapa tokoh-tokoh di dalamnya bertindak. Dengan kata lain, kota berbeda akan memaparkan peristiwa yang lain dan menghasilkan tindakan berbeda dari para penghuninya.

Saya mulai berpikir, novel yang baik selalu perpaduan yang khas antara wadah dan isinya. Antara tempat dan para penghuninya.

Demikianlah saya mulai berpikir tentang tempat bagi tokoh-tokojh saya. Sebuah tempat dengan anatomi tertentu, dengan riwayat hidupnya sendiri, luka-lukanya, karnaval-karnavalnya. Sebuah tempat yang layak dan patut bagi peristiwa-peristiwa yang saya kisahkan bakal terjadi. Seperti Kyoto dalam novel The Old Capital Yasunari Kawabata.

TERSANGKA PELAKU

Don Quixote, bagi saya, tampak serupa pembunuh sejati. Siapa hari-hari ini yang masih mengenal Miguel de Carvantes Saavedra? barangkali hanya satu dari sembilan ribu orang yang mengenal Don Quixote mengenal Carvantes.

Penulis ideal, bagi saya, adalah yang mampu menciptakan pembunuh bagi dirinya sendiri. Lebih jauh, mengapa saya tertarik dengan tokoh serupa Don Quixote, sebab ia merupakan model bagi sastra modern secara umum: olok-olok mengenai yang nyata  dan tidak, mengenai pengalaman dan ide, fakta dan fiksi. Dalam sastra modern, dialah yang berhasil mengocok semua itu dalam dirinya. Saya tak bisa membayangkan sosok yang lebih ideal itu.

Tapi selalu lebih rumit daripada yang dibayangkan para penulis. Setiap masa dan tempat memberikan karakter tertentu untuk tokoh-tokohnya. Kita bisa membayangkan awal modernitas melalui Don Quixote, tapi kita juga bisa mengenali absurditas hidup di jaman modern melalui tokoh-tokoh di novel Franz Kafka, yuppi, yang selalu diidentikkan dengan penulisnya. Barangkali karena tokoh-tokoh itu, yang saya maksud adalah karakter di the Trial dan The Castle  yang memiliki inisial Josef K. dan K. Tapi jarang sekali kita mendengar Don Quixote disebuat sebagai orang Spanyol, atau K sebagai penduduk Praha, meskipun kenyataannya demikian.

Barangkali karena mereka melampaui tempat kaki-kakinya berpijak.
Mereka terlalu bersar untuk wilayah-wilayah terpencil serupa itu, dan ini membuat saya kadang merindukan seseorang yang benar-benar berbaring di rumput, orang-orang yang tampak sepele.

Saya melihatnya antara lain di novel-novel Yasunawi kawabata. Lelaki Jepang yang pergi ke daerah salju untuk menamui seseorang geisha, seorang gadis Kyoto yang mendatangi perayaan musim semi dengan kimono, atau seseorang penari dari Izu. Mereka adalah orang kebayakan, dengan nama-nama kebanyakan (Dan saya paling benci nama-nama tokoh di novel yang tak make sense). Akhir-akhir in sya juga menyukai mereka yang hadir di novel-novel Cina yang ditulis Mo Yan atau Su Tong. Saya  membayangkan petani-petani sederhana, sosok biasa yang sama sekali  tak istimewa, dalam the Garlic Ballads atau Rice.

Kesederhanaan mereka, dengan pakaian dan makanan, serta mungkin malah merupakan bagian-bagiana yang membuat kita mengubur hidup-hidup para penulis yang menciptakannya.
Di antara semuanya, Thomas Sutpen merupakan sosok yang tak pernah bisa saya lupakan. Ia muncul di Abslom, Absalom! William Faulkner. Sakit jiwanya merupakan gerusan sebuah masa yang busuk. Kesehariannya merupakan gambaran yang buruk, namun saya selalu akan mengenangnya sebagai memang begitulah, pembenci Yankee dari Selatan, tuan tanah dengan kejayaan yang mulai ambruk.

Dalam dirinya kita bisa membaca sebuah dunia secara lengkap. Dunia dalam dirinya dan dunia di luar dirinya. Sejenis karakter ideal yang barangkali dibayangkan dan dunia di luar dirinya. Sejenis karakter ideal yang barangkali dibayangkan  Iwan Simatupang sbagai Tokoh Kita dalam novel-novelnya (tapi atk pernah berhasil) sebagai tokoh yang bisa mewaki9li seluruh umat dan ras manusia. Yang kita butuhkan adalah sosok serupa Sutpen, yang di wajahnya kita bisa membaca semesta.

Demikianlah, jika saya ingin menulis novel, saya ingin menghadirkan sosok-sosok dengan kepala yang menerawanjg, kaki yang melangkah di tanah, dan dada yang bergemuruh.

METODE

Seseorang mengatakan bahwa sebuah cerita adalah sebuah cerita. Cerita yang bagus, akan tetap bagus dengan cara apapun. Barangkali itu benar, Seperti sebuah rumah, dibikin seperti apapun, asal ia tetap memenuhi persyaratan sebuah rumah sebagai tempat berteduh dan berlindung, tetap sebuah rumah. Tapi saya pecinta arsitektur, sebuah seni yang tak meungkinkan sebuah rumah dibuat begitu saja. Seorang arsitek tak akan datang tiba-tiba dengan semen, pasti dan batu lalu membuat rumah. Mungkin ada yang begitu, tapi bagi saya tak menarik. Kalaupun menarik, barangkali rumahnya yang pertama. Rumah selanjutnya, berdasarkan pengalaman, jadi terasa membosankan.

Demikianlah saya tak tertarik menenteng alat tulis lalu tiba-tiba menulis sebuah kisah. Banyak penulis melakukannya, tapi saya tetap tak tertairik. Jack Keroac melakukannya, tapi hanya On the Road yang menarik perhatian saya. Sebab saya menyukai pekerjaan arsitektur, duduk berlam-lama memikirkan alasan-alasan mengapa sebuah jendela harus berdaun ganda, mengapa pilarnya dibuat dari kayu dan bukan beton, mengapa dapurnya ad dekat pintu depan. Sebab juru masak yang paling baik juga menggunakan resep.

Tentu saja saya tak  akan melarang, dan tatap menaruh hormat, untuk juru masak yang akan memasukan bumbu mereka ke wajan, jika merka suka. Tapi sekali lagi,  saya lebih tertarik memikirkan alasan mengapa harus memasukkan garam dan bukan merica, sebelum memasak.

Ulysses James Joyce barangkali merupakan arsitektur yang paling istimewa di abad kedua puluh yang baru lalu. Tapi kemegahannya, bagi saya, seringkali membuat tersesat di lorong-lorongnya. Yang bisa dilakukan hanyalah, masuk ke salah satu ruangam dan menikmati ruangan tersebut. Di hari lain kita duduk di sudutnya yan glain, dan hidup di sana. Untuk hidup serentak di seluruh ruangan, paling tidak bagi saya, menjadi sesuatu yang nyaris mustahil.

Demikianlah mengapa saya lebih menyukai ruangan kecil yang diciptakan oleh Jorge Luis Borges. Meskipun kisah-kisahnya relatif pendek, hanya beberapa yang panjang, membacanya segera kita tahu itu dibangun dalam sebuah sistem cara berpikir. Setiap bagian-bagiannya diletakkan dengan maksud tertentu, demi sebuah bangunan cerita dan ide. Dalam kisah The Plot, ia hanya menjejer dua paragraf. Yang pertama mengnai pembunuhan Julius Cesar oleh Brutus. Yan gkedua kisah pembunuhan gaucho oleh seorang kepercayaannya.

Sebuah kisah adalah sebuah pola. Sebuah ide. Cerita the Plot mungkin sangat bniasa, atau orang sudah mengetahui kisah tersebut. Tapi meletakkan dua kisah berdampingan, tentu itu pekerjaan seorang pemikir. Sebuah ide, sebuah seni bercerita sesungguhnya.

Novel-novel yang saya kagumi, sepengatahun saya, jelas merupakan karya-karya kebetulan. Penciptaannya merupakan oragn-orang metodis. Dalam novel- novel Gabriel Garcia Marquez, kita melihat bab-bab yang relatif sama satu sama lain. Dalam novel-novel Milan Kundera, kita menemukan pengulangan angka tujuh. Tujuh bab misalnya. Ia juga seorang yang sadar mengambil arsitektur musik dalam novelnya. Mengerti bagaimana membuat intro yang baik, memahami bagaimana irama yang menentukan kualitas ceritanya, dan tahu harus menutup novelnya dengan sejenis coda.

Di antara yang lainnya, Jose Samarago jelas merupakan yang paling keranjingan. Saya tak bisa membayangkan seandainya novel-novelnya ditulis dengan cara lain, akan menjadi seindah yang saya baca sekarang.

Barangkali begitulah sudut pandang saya mengenai bentuk dan isi. Mengenai kisah dan bagiamana kisah disampaikan. Saya tak akan pernah berani menyatakan kisah lebiuh penting daripada cara menyampaikannya, demikian pula sebaliknya.

Saya bukan seorang pembunuh yang peduli menghilangkan nyawa seseorang, tapi juga harus menyadari pembunuhannya. Seorang penulis, bagi saya, bukan seseorang yang membunuh karena terpaksa atau kebntulan. Ia mesti seorang yang memang dilahirkan untuk menikmati seni membunuh. Sorang penulis harus maniak. Ia mesti mencintai cara kerjanya, untuk menghasilkan akhir yang paling gemilang.

BUKTI-BUKTI

Saya paling benci membaca kalimat serupa ini: ia lari ke sebuah lorong  jalan yang di kiri-kanannya dipenuhi pepohonan. Saya selalu bertanya jalan apa? Pohon apa? Sama bencinya dengan membaca kalimat, bangun tidur ayam jantun berkokok. Apakah pengalaman semua orang di dunia bangun pagi selalu sama? Tak adakah yang bisa mengambarkan bangun tidur yang lebih personal? Detail tidak menuntut orang untuk bertele-tele dengan hal remeh. Novel sendiri, jelas merupakan novel yang buruk. Tapi sebuah kalimat yang mengatakan: ia berbelok ke Jalan Merdeka dan bersembunyi di bawah pohon-pohon mahoni, jelas memberi nilai kepercayaan lebih daripada sekadar lorong jalan dan pepohonan, tanpa harus membuatnya jadi larut dalam detail tak perlu.

Dalam Song of Solomon, Toni Morrison tidak asal memberi nama sebuah jalan sebabagi Not Doctor Street. Kisahnya berawal dari sebuah ruas jalan dimana seorang dokter negro tinggal di sana. Komunitas orang-orang negero di sekitar jalan itu kemduian menamai jalan tersebut sebagai Doctor Street, untuk mengingat si dokter, meski jalan tersebut sesungguhnya memiliki nama sendiri.
Masalah kemudian muncul ketika mulai banyak orang tinggal disan dan menyebut Doctor Street sebagai alamat korespondensi mereka, yang ternyata memguat bingung pihak kantor pos. Pemerintah kota, yang didominiasi orang putih tentu saja, tak menyukai keadaan tersebu8t. Ia melarang orang menyebut jalan tersebut sebagai Doctor Street dan menempelkan pengumuman panjang di sepanjang loromg jalan bahwa This Is Not Doctor Street. Demikialah, komunitas orang negro, patuh pada perintah walikota sekaligus ngeyel, mulai menyebut jalan tersebut sebagai Not Doctor Street.

Sebuah detail kecil, tapi bisa memberikan sebuah wajah manusia-manusia. Ah, jangan berharap bisa menemukannya di novel-novel buruk yan ditulis penulis-penulis amatir (seperti saya ini, barangkali).

Sebuah fiksi adalah sebuah fiksi, kita mengetahui kebohongannya. Tapi dusta adalah fiks, segila apapun, harus menyentuh kepercayaan pembaca. Sebab hanya dengan cara itu seseorang akan terus membaca dan terlibat secara emosional. Jika ada sebuah kalimat lima ratus ekor gajah melintas di Jalan Thamrin, barangkali tak seorang pun percaya dengan begitu mudahnya. Bandingkan dengan kalimat in: seratus dua puluh empat ekor gajah melintas di Jalan Thamrin. Separuh pembaca mungkin memercayainya, hanya karena angka yang tak terlalu genap cenderung lebih dipercaya untuk kasus serupa itu. Tapi perhatikan kalimat ini: seratus dua puluh empat ekor gajah melintas di Thamrin, Presiden SBY membuka sendiri acara karnaval bersama perwakilan dari WWF untuk Indonesia, saya yakin seluruh pembaca akan percaya, tak peduli peristiwa itu sunggu terjadi atau tidak.

Detail ini adalah pembuka menuju sebuah kepercayaan, dan kepercayaan akan menjadi kebenaran. Serupa itulah, dalam bayangan saya, bagaimana fiksi-fiksi yang baik selalu bekerja.

KURBAN

Sekarang, izinkan saya mengisahkan diri sendiri. Saya dilahirkan dari banyak ibu, dan banyak ayah. Tapi satu orang yang pelu saya sebut pertama kali adalah penulis Norwegia, Knut Hamsun. Terima kasih kepadanya, yang telah memberi contoh untuk menjadi seoprang tumbal dunia fiksi yang baik. Ketika pertama kali membaca Hunger, saya tahu saya akan menulis  seolah tak ada hal lain yang saya ingin lakukan di dunia. Ia memberi pelajaran pertama pada saya untuk hidup: bernapas! Hunger merupakan napas asya. Saya selalu merasa sebagai seseorang yang tak bernama, berjalan di trotoar pelan-pelan Christania, memikirkan apa yang ingin saya tulis, dengan rasa lapar yang menyayat.

Pendidikan pertama saya adalah komik silat, yang saya baca diam-diam karena ayah saya dan sekolah melarang kami membacanya. Tokoh favorit saya adalah Pendekar Mabuk. Barangkali adaptasi novel dari Drunken Master. Saya membaca novel-novel silat dari Asmaraman S. Kho Ping Ho dan Bastian Tito. Saya juga, ya benar, penggemar novel-novel horor, yang ditulis Abdullah Harap. Tujuh Manusia Harimau saya baca di suatu masa yang sudah saya lupa, dan saya melihat filmnya di pertunjukan layar tancap, jika tak salah. Barangkali karena novel-novel semacam itu relatif mudah ditemukan di kota kecil serupa tempat saya tinggal.

Oh ya, saya menemukan Agatha Christie. Saya rasa sudah membaca seluruh edisi bukunya, dan percayalah tampaknya bisa membedakan bagaimana cara Mr Poirot dan Miss Marple dalam menyelesaikan kasus-kasus.

Menjelang umur dua puluhan, saya mulai belajar filsafat. Saya membaca Nietsche dan terkagum-kagum dengan gaya prosanya. Lihatlah cara ia menulis, selalu dalam bentuk aforisma-aforisma pendek yang indah. Saya belum pernah menemukan filsuf menulis dengna penuh gaya sepertinya. Tapi seperti kebanyakan borjuis kecil yang tak memperoleh kenyamanan hidup, saya mulai jatuh cinta dengan Hegel, dan setelah dari Hegel seseorang sangat mudah jatuh ke Marz dan Engels. Karena saya menyukai sastra, saya membaca George Lukacs. Dengan cara itulah saya dibesarkan.

Dan di bawah pengasuh-pengasuh seperti itulah saya menulis. Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana akan jadinya seorang banyi yang diasuh Lukacs dan Kho Ping Ho, tapi saya membayangkan sesuatu telah terjadi pada diri saya.

Hingga datang waktu saya harus menyapih diri dari para pengasuh,l bahkan para orang tua, dan mencari sendiri teman, kekasih, dan sekaligus musuh. Saya membaca buku apa pun yang bisa saya peroleh. Buku pengobatan maupun manual mengoperasikan telepon genggam. Lalu saya mulai menulis, dan dengan cara itulah, seoarang pengarang menemui ajalnya.

Solo-Jakarta, 2005-2006

Post Scriptorium: Catatan ini saya tulis ulang dari On/Off tahun 2006, di edisi Proses Kreatif. Saya menulis ulang selepas membaca Hunger Knut Hamsun dan pernah teringat Eka Kurniawan adalah penggemar garis keras novel ini, dan sebagai penggemar berat Eka Kurniawan, saya harus menulis obituari ini--walaupun belum izin penulisnya sendiri.

Jumat, 20 September 2013

Semacam Sabtu Jejak (1)

Hari ini memang hari Sabtu, dan seperti hari yang sudah-sudah, maka saya tidak akan berbuat apa-apa, selain, paling banter, membaca buku, nonton teve atau berkelakar bersama kawan-kawan saya. Tapi berkat saya membaca di sebuah laman tentang penanda, saya jadi terpantik untuk membuat hari khusus.

Ya, saya ingin, hari ini  adalah hari pekan. Artinya, hari yang saya harus tetap senantiasa memberikan kabar ke blog saya yang baru ini, dan tentu saja saya harus senantiasa mengisinya.

Bisa jadi dalam blog ini saya akan mengisahkan beberapa hal yang terjadi dalam sepekan ini. Persis seperti laporan Mingguan yang bakal saya perbaharui tiap hari Sabtu dan berisikan rekam jejak aktivitas mulai dalam tujuh hari--walaupun memang ada beberapa yang memang harus tidak saya tulis.

Baiklah, sembari saya menunggu seorang kawan saya yang sedang mandi, saya akan meraba-raba, apa yang telah saya lakukan dalam seminggu ini.

Sabtu pertama, saya lupa telah berbuat apa. Satu hal yang saya ingat, saya membuatkan blog untuk guru saya dan belum selesai. Saya harus dan tentu saja mengingat kembali, apa yang bakal diterjemahkan nanti .

Minggu, saya mulai ingat, saya mengedit novel saya tentang silat. Ini novel anak-anak dan remaja. Ternyata, baru 100 halaman, dan yang kedua, tentang sepakbola baru 80-an halaman. Tulisan ini lawas sekali, dulu pernah diterbitkan oleh sebuah penerbit, dan ternyata tidak jadi.

Jadi, saya hari itu mengedit tulisan itu dan mulai meraba-raba, apa yang bakal saya isi untuk selanjutnya.

Senin, ada apa dengan hari ini? Saya bangun kesiangan dan mulai menuliskan resensi Rahwana Putih, karya Sri Eddy. Sudah saya kirim ke dua portal berita, tapi entah kenapa belum dimuat.

Selasa,  saya mulai membuat momen di akun kerjaan saya, ya coba lihat sendiri. Tapi, saya mulai menyukai satu aktivitas; bersepeda.

Rabu, saya menulis catatan-catatan, dan sepedaan.

Kamis. Saya lupa, apa yang telah saya lakukan. Mungkin seharian beraktivitas di dunia maya dan membaca saja.

Jumat. Saya diskusi sampai pagi dengan beberapa kawan, dan tentu saja menulis, sebab saya tidak punya aktivitas lain selain ini.

Hmm.. Kira-kira begitulah, ada beberapa memang tidak bisa saya terakan, tapi saya sudah berkabar. Demikianlah.