Halaman

Rabu, 26 Maret 2014

Muasal Pendekar Tanpa Nama Seno Gumira Ajidarma


Saya belum menamatkan cerita silat setebal 815 ini, dan baru sampai setengah perjalanan. Tapi, entah kenapa, saya suka penggambaran Seno kala membincangkan kenangan dan muasal tokoh utama dari Pendekar Tanpa Nama, yang telah mengasingkan diri selama 50 tahun setelah berhasil membunuh seratus pendekar yang legendaris, dan kini berusia 100 tahun. 
~

Beginilah Seno mengisahkan pendekar itu;


Ibuku, perempuan yang kusebut ibuku, tidak menunggu waktu terlalu lama untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya tersebut kepadaku. Tidak lama artinya sampai umurku mencapai 15 tahun, ketika pasangan suami-istri yang selama ini bersikap, berlaku, dan memang selalu  kukira sebagai ayah dan ibuku membuka rahasia hidupku yang masih penuh ketidakjelasan itu.

Namun, kukira mereka bukannya menunggu, melainkan karena saat itu mereka berpamitan kepadaku untuk memenuhi tantangan bertarung menghadapi lawan yang tentunya mereka anggap jauh lebih unggul. Tampaknya mereka berdua tak akan pernah dapat kembalilagi kali ini, dank arena itu merasa perlu menceritakan peristiwa tersebut kepadaku.

Saat itu, aku tiak teralalu peduli dengan cerita tersebut. Hatiku tercekat  dan hancur karena mereka menyatakan betapa kepergian  mereka kali ini tidaklah untuk kembali.

“Biarlah aku ikut dengan kalian, Bapak, Ibu, biarkan aku ikut agar aku bisa membelamu atau ikut matai dalam pertarungan itu.”

“Dikau tidak perlu melakukanya, Nak, tidak perlu, karena inilah bagian kehidupan seorang pendekar. Itulah sebuabnya kami juga sengaja tidak ingin emiliki anak, karena sadar betapa jalan kehidupan seorang pendekar sebetulnya adalah jalan kematian—tetapi tidak dapat menolak jalan hidupmu yang berpapasan dengan jalan hidup kai, jadilah dikau anak kami yang telah sangat membahagiakan. Masa lima belas tahun terakhir ini adalah asa yang sulit membahagiakan hidup kami.”

Aku tertunduk. Airmataku menitik. Ayahku berbicara.

“Janganlah bersedih, Anakku, perlihatkanlah dirimu sebagai anak pasangan pendekar. Dalam perjalanan hidupmu untuk selanjutnya, sampai kelak dikau menjadi seorang pendekar ternama yang gagah perkasa, janganlah melupakan kenyataan bahwa dikau telah tumbuh dan dibesarkan oleh kami, Sepasang Naga dari Celah Kledung. Seorang pendekar tidak takut mati, pertarungan adalah bagian dari kewajiban hidupnya—seorang pendekar yang menolak bertarung akan mendapatkan nama buruk dan hidup terhina, sungguh nasib yabg lebih buruk dari kematian. Teguhkanlah hatimu, Anakku, jadilah anak seorang pendekar, karena jika dunia persilatan memang akan menjadi pilihan hidupmu, dikau akan sangat mengerti arti perpisahan ini.”

Aku mengerti, sangat mengerti, dan tidak akan bisa lebih mengerti lagi—tetapi ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti, ini soal perpisahan dengan orang-orang yang kaucintai. Perpisahan yang seperti sudah dipastikan akan berlangsung untuk selama-lamanya. Aku memang dilatih dengan segala cara untuk menjadi tabah dala penderitaan, tetapi inilah peristiwa yan sungguh berat kutanggungkan.

Airmataku mengalir deras membasahi pipi. Kenyataan betapa keduanya telah memungutku, dari nasib yang lebih jauh lagi dari pasti, telah membuat kepedihanku semakin tajam dan dala. Namun, sebelum mereka berangkat kutanyakan sesuatu.

“Siapakah sebenarnya namaku, Ibu?”

Ibuku tampak menahan airmata ketika telah duduk di atas punggung kuda.

“Kami tidak mengetahuinya, Anakku, kami tidak tahu namamu ketika menemukanmu dan kami membiarkannya tetap seperti itu. Kami tidak ingin mengubah jalan hidupmu meski kami wajib menurunkan ilmu silat agar dikau bisa membela diri dari bahaya yang menganca hidupmu, tetapi selebihnya kami biarkan dirimu tumbuh sebagai dirimu, kami hanya perlu selalu memupuk pertumbuhanmu itu.”

“Bapak, Ibu, jangan pergi.”

Namun, mereka tetap menarik tali kekang kuda mereka dan pergi. Ibuku masih menoleh dengan airmata berlinang yang tampak sangat ditahannya agar tidak menetes sama sekali. Kuda mereka masih melangkah perlahan di antara celah ketika aku berlari-lari di belakang mereka.

“Bapak, Ibu, katakan siapa lawanmu, agar bisa kubalas kematianmu!”

Ayahku masih terus melangkah ketika ibuku melompat turun dan memelukku erat sekali. Seperti masih terasa olehku betapa lembut ucapannya dan betapa merasa tenang aku dalam dekapannya, meski ternyata itu tidak berlangsung laa. Dari balik punggungnya kulihat ayahku tampak berhenti dan memandang kami.

Ibuku berbisik,“Hati-hati, Anakku sayang, sepanjang hidupmu…”

Lantas, ia melompat ke punggung kudanya dan melaju tanpa menoleh-noleh lagi. Aku memandang  merkea berdua menjauh dari balik tirai airmata sampai mereka lenyap keluar dari celah tebing dan tidak kelihatan lagi. Aku telah dilatih untuk tidak bersikap kekanak-kanakan dan karena itu aku tidak berlari-lari sambil berteriak-teriak menyusulnya, tetapi dalam dadaku terasa kedukaan yang teramat sangat dan tidak tertahankan.

Itulah kenangan terakhirku tentang kedua orang tuaku, sejauh kualami kebersamaanku dengan mereka sebagai ayah dan ibuku, kenangan tentang sepasang pendekar yang menjauh dan pergi, sepasang pendekar di atas kuda yang menyoren di punggung mereka… (Hal. 163-165)

PS: Kisah ini sengaja kutulis ulang, sebab menurutku, entah kenapa, ini seperti menggambarkan masa kecil Seno Gumira Ajidarma. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar