Halaman

Sabtu, 04 April 2015

SUATU HARI DALAM KEHIDUPAN PRAMUDYA ANANTA TOER


Hidup memang bukan pasar malam, juga di tempat tahanan politik Pulau Buru. Di belakang kawat berdiri itu berjajar barak-barak bambu: bangunan sederhana di tengah sunyi ilalang dan pokok-pokok meranti yang telah ditebang. Di keluasaan itu, hampir-hampir tak ada suara.

Di hari Kamis sore yang mendung tanggal 25 Desember 1969 tersebut, seorang laki-laki berkaus dan bercelana khaki-dril lusuh berdiri dekat barang yang paling ujung. Barak XIX. Rambutnya putuh seluruhnya. Dari jarak sekitar 25 meter itu saya tak segera mengenali wajahnya, yang kadang-kadang diselaputi asap sampah sedang dibakar. Tapi kemudian saya tahu: dialah Pramudya Ananta Toer.

Ia adalah tahanan pertama yang terlihat dari kamp itu. Ia melambai-lambai romobongan wartawan yang datang dari Jakarta, lewat Ambon, singgah Namlea, menyusuri sungai Way Apu, dan saat itu muncul satu demi satu—setelah perjalanan kaki yang panjang menuju kamp—di atas jalan setapak yang becek dan hitam.

“Pramudya!?“ teriak seorang wartawan.

“Ya...“ Pram menjawab berseru. Suaranya masih keras lantang, mengeletar dengan emosi dan sifat gugupnya yang lama, seperti dulu. Hanya kini tubuhnya nampak liat, kulit wajahnya lebih terbakar matahari. Ia memelihara kumis.

Saya berhenti memasang kedua kamera yang tergantung di leher dan pergelangan tangan, mencoba memotret wajah di kejauhan itu lewat kawat berduri.

Dekat saya, di samping tonggak tempat saya menompangkan bahu mengatur fokus, Bur Rusuanto berseru, memperkenalkan dirinya kembali kepada Pramudya Ananta Toer, Pram agaknya tak lupa kepada pengarang yang lebih muda satu generasi sesudahnya itu, bekas tetangganya, yang dulu pernah jadi lawannya berdebat di saat-saat bertandang, dan kemudian jadi salah satu unsur lawan politiknya di tahun 1964, ketika anak muda itu ikut menyusun dan menandatangani Manifes Kebudayaan.

Saya sendiri berteriak:“Mas Pram, ada salah dari H. B. Jassin!“

“Terima kasih!“ Ia menyahut.

Sebenarnya, saya tidak ada amanat menyampaikan salam semacam itu dari H.B. Jassin—yang tak tahu sebelumnya bahwa saya akan berjumpa Pram di Pulau Buru—tapi saat itu tak ada cara lain bagi saya untuk membuka percakapan: suatu kesempatan yang mungkin tak akan saya dapatkan lagi dalam hidup saya. Pramudya Ananta Toer tidak pernah mengenal saya, dan saya tidak pernah berkenalan dengannya secara pribadi. Ia menyangka saya adalah seorang yang bernama “Goenawan Semaun“. Dan saya hanya berseru mengiyakannya. Waktu begitu sempit dan tempat begitu tak wajar buat suatu upacara introduksi yang tak perlu.

Lagipula apa baiknya itu buat Pramudya Ananta Toer? Sudah cukup baginya untuk mengetahui bahwa dalam rombongan wartawan wartawan yang datang itu ada pengarang yang dikenalya, Bur Rusuanto dan Alex Leo, dua pengarang yang berada di pihak lain dari pihaknya, dan karena itu mempunyai peruntungan yang lain pula dari padanya: dalam kebebasan. Saya tak bisa menebak, adakah kunjungan dari orang-orang luar tempat pembuangan sore itu menggembirakan atau menyedihkannya. Hanya pada saya ada semacam kekhawatiran aneh, kalau ia mengira bahwa beberapa orang hari itu sengaja datang kepadanya untuk menyindir ketidakbebasan yang kini mengungkungnya, dengan salam dan senyum mengasihani, orang yang dulu pernah dikutuknya hingga tak merdeka lagi buat berbicara di bawah bayang-bayang Partai Komunis, sebagaimana ia kini—meskipun dalam kondisi yang lebih jelek—juga tak merdeka untuk berbicara.

Karena, soalnya sudah sedemikian jauh. Perbedaaan seta pertentangan paham telah berakhir dengan perbedaan dan pertentangan nasib, di antara pagar yang telah dijaga dan petak rumput yang luas sore itu. Hidup memang bukan pasar malam. Nasib tak terbagi serentak beramai-ramai. Saya tak yakin adakah saya—ketika untuk kesekian kalinya memandang Pramudya Ananta Toer lewat kaca kamera—jadi bersyukur, atau menyesal, karenanya.

“Klik,“ saya memotret. Pada momen itu Pram tersenyum.

*

“Di sini mas Pram beloh menulis atau tidak?”

“Mintakan izin untuk itu,“ jawabnya.
Dari penjara Bukit Duri dan Pulau Edam hingga akhir Desember 1949—dua puluh tahun yang lalu—Pramudya Ananta Toer menuliskan ceritap-cerita pendek dan beberapa novel, yang sebagian besar diselundupkan keluar oleh Prof. G. J. Resink dan diterbitkan. Dari tempat penahanannya di tahun 1960, setelah menulis Hoa Kiau di Indonesia, ia juga konon menulis naskah yang hingga sekarang belum kita ketahui, meskipun H. B. Jassin pernah membacanya. Dan dari kamp Pulau Buru ini, apakah yang hendak ditulisnya?

Malam hari di tempat penginapan jaksa agung di kamp itu, Pramudya Ananta Toer didatangkan dan berbicara. “Ia menyatakan behwa ia ditangkap ketika sedang merencanakan menulis sejarah,“ kata Jaksa Agung ketika saya tanyakan peristiwa pertemuan dan pembicaraan itu. “Ia menyatakan bahwa ia mempunyai buku-buku dan guntingan-guntingan koran tabg sejak lama dikumpulkannya untuk itu. Ia bertanya tentang kemungkinan buat mendapatkannya kembali semua itu, sebab ia merencakan akan melanjutkan penulisannya. Saya kira itu usul yang baik. Saya kira itu bisa diusahakan.“

Menulis sejarah, seperti yang dilakukannya dengan dua jilid Panggil Aku Kartini Saja? di majalah indonesia bulan Juni 1956 dimuat Sunyi Senyap di Siang Hidup, yang konon ditulis Pram beberapa waktu sebelum ia mengunjungi Peking. ”Its difficult ti see this story as anything else but a sort of final settlement with the past at the moment of his break with it. It is noteworthy that after story Pramudya as a creative artist almost ceased to exprese himself…”  tulis Teeuw tentang cerita pendek itu. Nampaknya sang pengarang telah sampai pada satu babakan, di mana ia telah siap menggantikan impian-impiannya dengan tindakan—karena kepahitannya dengan dunia di sekitarnya, karena kekecawaannya terhadap kesia-siaan hidupnya sendiri, terhadap kegagalan tulisan-tulisannya dan terhadap tidak-cukupnya rasa kemanusiaan yang ada padanya.

Menggantikan impian-impiannya dengan tindakan: itukah yang menyebabkan Pramudya pada akhirnya menjadi  penulis pamflet lewat koran dan jadi penulis sejarah perjuangan? Itu pulakan yang menyebabkan ia dapat menemukan lingkungan dalam Parta Komunis Indonesia? Kesusasteraan memang tak selamanya bisa menolong, dan tak akan langsung sanggup memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan rasa kemanusiaan. Bisa dimengerti pula apabila sastrawan sering tergoda oleh semacam rasa malu, atau mungkin putus asa, melihat dirinya sendiri hanya menulis puisi, cerita-pendek, novel dan esai, sementara ketidakadilan berlingkar-lingkar di sekitarnya: seakan-akan ia tak cukup menjadi manusia penuh yang bila perlu bertindak. Tapi kesalahan Pramudya Ananta Toer ialah bila ia dengan begitu kemudian mengira, bahwa hanya Partai Komunis Indonesia yang akan mampu memberesekan persoalan. Partai Komunis, atau partai revolusioner mana pun, atau kekuatan politik mana pun, akan terpaksa mengakui keterbatasannya di hadapan majemuk manusia. Dan apabila hidup kesusastraan yang wajar, yang bebas dan terbuka bagi segala kemungkinan hati serta pikiran, dikorbankan untuk itu, apakah artinya? Sejarah bukanlah soal yang mudah. Cita-cita besar, mungkin mulia, memang bisa menghalalkan penundaan beberapa bentuk kemerdekaan, tapi saya tidak percaya ia harus pula membenarkan tertahannya kemurnian hati. Pramudya Ananta Toer menjelang 1965 mungkin merasa telah memberikan pengorbanan buat cita-cita partai, yang tak lain artinya adalah pengorbanan rohani dalan acuan realisme-sosialis, ia rupanya harus mengorbankan diri lagi—bila ia masih percaya kepada pengertian perjuangannya—hanya kini dalam bentuk rohani dan jasmani yang terbelenggu dan terbelenggu.

Saya hanya mencoba menebak sikapnya, ketika saya kebetulan memperoleh kesempatan berbicara dengannya tanpa pengawal sore itu di depan Barak XIX. Umurnya 44, saya ingat, tapi di bawah rambutnya yang terlalu cepat memutih itu sorot matanya tetap seperti dulu, campuran keangkuhan dan kepahitan, tangkas, cerdas dan keras, tidak juga redup, memandang sekitarnya tanpa senyum, tanpa ketenteraman dan dengan segaris kebimbangan.

Bagaimanapun, saya seorang asing baginya—dalam suatu pertemuan yang tak bisa ditentukannya sendiri, di mana tak bisa diketahuinya adakah saya seorang pengunjung yang bersimpati atau seorang penyelidik dengan maksud tersembunyi.

“Menurut mas Pram, lebih enak mana di Buru atau di Salemba?” hati-hati saya bertanya, tahu bawha ia beberapa waktu lamanya berada di Rumah Penjara di pojok Jakarta itu sebelum dibawa ke mari, dan tahu bahwa mungkin pertanyaan seperti itu tidak akan dijawabnya terus-terang. Tapi ia menjawab,”Ya lebih enak di Salemba.”

Suaranya pasti.

Ia tidak mempunya kecurigaan kepada saya agaknya, untuk berkata demikian.

“Saya tadi bertanya kepada beberapa kawan-kawan,” kata saya lagi agak terbata-bata menyebut tahanan politik sebagai ‘kawan-kawan’ suatu istilah yang punya konotasi istimewa bagi mereka,”dan mereka mengatakan  bahwa makana di sini lebih baik daripada di beberapa penjara di Jawa… dan di sini ada alam terbuka yang luas… meskipun mereka mengeluh karena jauh dari keluarga.”

“Ya, tapi tenaga ktia di sini diabsordir oleh kerja yang berat.”

Saya terdiam, memandangnya. Suaranya bersemangat

*

“Di sini, sastrawan atau profesor harus bekerja sebagai tani,“ kata seorang petugas. “Mereka harus mengolah tanah ini, agar nanti bisa memilikinya dan hidup dari hasilnya.“

Dan saya bergurau.“Seorang sastrawan penganut realisme sosialis memang harus belajar hidup dengan dan dari kaum tani, seperti yang dikatakan Mao.“

Beberapa orang tertawa di sekitar saya, dan saya tak tahu adakah gurauan semacam itu tidak keterlaluan. Yang menyebabkan mereka bekerja semacam itu di pulau ini bukanlah partai mereka, tapi pemerintah yang telah membubarkan partai itu. Dan itu bisa berarti, bahwa kerja di situ adalah unsur ketidakbebasan, suatu batas yang harus mereka taati, seperti halnya pagar kawat berduri yang melingkupi kamp mereka.

Tapi tidakkah itu mungkin pula justru suatu alternatif yang lebih baik bagi mereka? Kerja, juga kerja di tanah-tanah di Pulau Buru yang telah disediakan bagi para tahanan politik, denan hutan yang telah dibuka oleh pasukan zenie dan Jawatan Transmigrasi, dengan rencana pembebasan yang konon akan terlaksana secara bertahap di masa depan, dan bibit padi serta palawija yang telah disiapkan, tidakkah itu juga bisa berarti kerja “Membangunkan Hari Kedua“ itu masih jauh, masyarakat baru yang akan mereka lahirkan kelak masih hanya satu kemungkinan, tapi kesempatan kerja di lingkungan langit terbujka, pohon-pohon serta tanah subur Pulau Buru barangkali lebih baik daripada duduk-duduk di sudut sel sepanjang hari, hingga akhir yang tak bisa diduga.

Barangkali. Tapi saya tahu bahwa masalahnya adalah masalah kenisbian: seberat-berat mata memandang masih berat bahu memikul, meskipun selalu ada kemungkinan bahwa mata yang memandang itu mata yang terlalu cepat jatuh kasihan...

Dalam catatan saya, 18 Desember 1969, Kamis, Kamp Tahanan Politik P. Buru, tertulis: “Kamp ini bukanlah neraka—seperti dinyatakan orang, juga bukan surga—sebab proyek Buru barulah suatu kemungkinan. Kita tak bisa menilai terlalu cepat, dan dari jauh, begitu saja.

“Beb Vuyk pernah tinggal di pula ini dan menulis Rumah Terakhir di Dunia. Mungkin Pusat Resettlement Buru akan merupakan rumah terakhir buat Pramudya Ananta Toer, dan yang lain-lain. Tapi sebuah rumah adalah tetap sebuah rumah, lebib baik daripada sekadar impian dan kekecewaan.”

Saya tidak tahu adakah saya benar.

Goenawan  Mohamad
Desember 1969

PS: Catatan ini saya tulis ulang dari buku ‘Kesusasteraan dan Kekuasaan’ karya Goenawan Mohamad dan terbit 1993.


Kamis, 19 Maret 2015

Gabriel Garcia Marquez Berjumpa Ernest Hemingway

Oleh: Gabriel Garcia Marquez

Aku segera mengenalinya, saat berjalan bareng Mary Welsh, isterinya, di Boulevard  St. Michel di Paris pada suatu hari yang hujan di musim semi tahun 1957, ia berjalan di sisi lain jalanan itu, ke arah Taman Luxembourg, memakai celana seperti koboi lawasan, kemeja kotak-kotak dan sebuah topi pemain bola. Satu-satunya hal  yang membuatnya tak tampak seperti dirinya adalah sebuah kaca mata logam, kecil dan bulat, dan membuatnya seperti memiliki wajah kakek-kakek tua yang yang prematur. Ia sudah berusia 59 tahun, dan tubuhnya besar nyaris kentara dan tampak, tetapi ia tak memberi kesan kekuatan brutal yang tak meragukan, dan itu ia harapkan, karena pinggulnya sempit dan kakinya tampak sedikit kurus di atas sepasang sepatu kasar penebang pohon. Ia tampak begitu hidup di tengah-tengah kios buku bekas dan di antara anak-anak muda yang banyak dari Sorbonne, sehingga tidak mungkin membayangkan ia hanya punya waktu empat tahun lagi untuk hidup.

Ernest Hemingway
Selama sepersekian detik, seperti biasanya yang selalu menjadi masalah, aku menemukan diriku terbagi antara dua peranku yang saling bersaing. Aku tak tahu apakah akan memintanya untuk sebuah wawancara atau sekadar menyeberangi jalan raya untuk mengungkapkan kekagumanku kepadanya. Namun segala pertimbangan, aku menghadapi ketidakenakkan yang sama. Waktu itu, aku bicara bahasa Inggris yang dasar, dan aku sangat tidak yakin dengan bahasa Spanyol petarung banteng-nya. Jadi, aku tidak melakukan keduanya yang dapat merusak suasana saat itu, namun tiba-tiba aku menangkupkan tangan di depan mulutku dan, seperti Tarzan di hutan, berteriak dari seberang ke ke arahnya: "Maaaeeestro!" Ernest Hemingway tampaknya mengerti bahwa tak akan ada sebutan 'master' lain di tengah-tengah gerombolan para pelajar, dan ia menoleh, mengangkat tangannya dan berteriak padaku dalam bahasa Castilian dengan suara yang sangat kekanak-kanakan, "Adiooos, amigo!" Itu satu-satunya waktu kala aku melihatnya.

Pada saat itu, aku seorang wartawan berumur 28 tahun dengan sebuah novel yang sudah diterbitkan dan telah mendapatkan hadiah sastra di Kolombia, tetapi tetap saja aku terkatung-katung dan tanpa tujuan di Paris. Guru-guruku yang terbesar adalah dua novelis Amerika Utara yang hidup nyaris berbarengan. Aku telah membaca apa saja yang mereka terbitkan, tetapi bukan sebagai bacaan yang saling melengkapi- namun lebih sebagai dua yang berlawanan, dua perbedaan dan satu sama lain hampir merupakan bentuk-bentuk ekslusif pemahaman sastra. Salah satunya adalah William Faulkner, pada siapa aku tak pernah melihatnya dan yang hanya dapat aku bayangkan sebagai petani yang mengenakan kemeja merentangkan lengannya di samping dua ekor anjing putih kecil dalam potretnya yang terkenal karya Cartier-Bresson. Pengarang satunya lagi adalah orang barusan yang baru saja mengatakan selamat tinggal kepadaku dari seberang jalan, meninggalkan aku dengan kesan bahwa sesuatu telah terjadi dalam hidupku, dan telah terjadi selamanya.

Gabo
Aku tak tahu siapa yang berkata bahwa para novelis membaca novel karya penulis lain sekadar untuk memahami cara mereka menulis. Aku mempercayainya. Kami tentu tidak puas dengan rahasia-rahasia per kalimat di permukaan halaman mereka: kami membolak-balik buku untuk melihat lapisan-lapisannya. Dalam satu cara tidaklah mungkin untuk diterangkan, kami membongkar buku itu untuk mendapatkan bagian-bagian esensialnya dan kemudian mengembalikannya bersama-sama setelah kami mengerti misteri-misteri kerumitan personalnya. Usaha ini membuat kecil hati pada buku-buku Faulkner, karena ia tak tampak memiliki suatu sistem organik dalam menulis, namun berjalan membabi-buta menembus alam biblikalnya, seperti sekumpulan kambing dilepas di sebuah toko kristal. Berencana membongkar satu halaman yang seperti ini, seorang akan memiliki kesan pegas dan sekrup berhamburan, dan tidaklah mungkin untuk meletakkannya kembali dalam keadaan sesungguhnya. Hemingway, sebaliknya, kurang inspirasi, kurang nafsu, dan kurang gila namun dengan kesederhanaan yang mempesona, meninggalkan sekrup seluruhnya tampak, seolah mereka berada dalam mobil barang. Mungkin dengan alasan itu Faulkner merupakan seorang penulis yang banyak berbuat bagi jiwaku, namun Hemingway adalah orang yang telah banyak berbuat bagi keterampilanku - tidak sungguh-sungguh bagi buku-bukunya, tapi bagi pengetahuannya mengenai aspek keterampilan dalam teknik menulisnya yang mengherankan. Dalam wawancaranya yang bersejarah dengan George Plimpton di The Paris Review, (Hemingway) memperlihatkan di segala keadaan- berbeda dengan gagasan kreativitas Romantik - kesenangan ekonomi dan kesehatan yang baik kondusif untuk menulis; bahwa salah satu kesulitan yang utama adalah menyusun kata-kata dengan baik; bahwa ketika menulis menjadi sulit adalah baik untuk membaca kembali buku-buku sendiri, untuk mengingat bahwa hal itu memang selalu sulit; bahwa seseorang dapat menulis begitu lama ketika tak ada yang berkunjung dan tak ada telepon; dan tidaklah benar bahwa jurnalisme mematikan seorang penulis. "Sesekali menulis menjadi keburukan utama dan kesenangan paling besar," katanya, "hanya kematian yang mampu mengakhirinya." Akhirnya, pelajarannya adalah penemuan bahwa setiap hari kerja seharusnya hanya dipotong ketika ia tahu di mana hari esok bisa dapat memulai lagi segalanya. Aku tak berpikir ada nasihat lain yang lebih berguna tentang menulis yang pernah orang lain berikan. Begini saja, tak kurang maupun lebih, semacam peristiwa mengerikan untuk para penulis: pagi yang menyengsarakan menghadapi halaman kosong.

Seluruh karya Hemingway menunjukkan bahwa spirit karya tersebut memang begitu brilian namun usianya pendek. Dan ini dapat dimengerti. Ada semacam tegangan internal yang ia lakukan, dan tetap tunduk pada dominasi teknik, dan untuk itu tak dapat ditopang di dalam jangkauan-jangkauan luas dan berisiko laiknya novel. Ini sifatnya, dan kesalahannya adalah mencoba untuk melebihi batas-batas kehebatannya. Dan itulah mengapa segala sesuatu yang berlebihan lebih nyata padanya ketimbang pada para penulis lain. Novel-novelnya seperti cerita-cerita pendek yang telah keluar dari proporsi yang harusnya, yang diisi terlalu banyak. Sebaliknya, segala sesuatu yang terbaik mengenai cerita-ceritanyanya adalah bahwa karya-karya itu memberi kesan tentang sesuatu yang hilang, dan inilah misteri cerita dan bukti begitu impresifnya (Cerita itu). Jorge Luis Borges, yang merupakan salah seorang penulis besar zaman kita, memiliki batas-batas yang sama, tetapi memiliki cita rasa untuk tidak coba berlebihan.

Satu tembakan dari Francis Macomber pada singa menunjukkan suatu pemberian yang besar sebagai suatu pelajaran berburu, tetapi juga sebagai suatu cara penyajian teknik menulis. Dalam salah satu ceritanya, Hemingway menulis  seekor banteng dari Liria, setelah menyeruduk dengan ganas dada sang matador, kembali laiknya "seekor kucing menuju sebuah sudut." Aku percaya, dengan segala rendah hati, bahwa pengamatan itu merupakan salah satu dari sedikit kedunguan penuh inspirasi, hanya datang dari para penulis yang begitu berbakat. Hasil kerja  Hemingway itu penuh dengan pengamatan sederhana dan mempesona, yang mana menampakkan titik di mana ia menambahkan definisinya mengenai penulisan sastra: bahwa, seperti gunung es yang terapung, ada dasar yang sangat kuat yang menopang gunung itu yang merupakan satu per tujuh volumenya.

Kesadaran teknik tersebut tak diragukan lagi merupakan alasan Hemingway tak akan mencapai kegemilangan dengan novel-novelnya, terkecuali dengan cerita-cerita pendeknya yang lebih disiplin. Membicarakan "For Whom the Bell Tolls" ia berkata bahwa ia tak memiliki pertimbangan sebelumnya untuk mengkonstruksi buku, tetapi lebih dibuat-buat setiap hari sehingga menjadi panjang. Ia tak punya apa pun untuk mengatakan itu: sudah jelas. Sebaliknya, cerita-cerita pendek instannya yang memberi inspirasi tak dapat disangkal. Seperti halnya tiga cerita yang ditulisnya pada suatu sore bulan Mei di sebuah  rumah penginapan kota Madrid, ketika suatu  badai salju memaksa pembatalan adu banteng di perayaan San Isidro. Cerita- cerita tersebut, seperti yang ia katakan juga pada pada George Plimpton, adalah “The  Killers, Ten Indians” dan “Today is Friday”, dan ketiga-tiganya magis. Pada baris-baris cerita di sana, bagi seleraku, cerita di mana kekuataannya sangat ditekan adalah salah satu ceritanya yang paling pendek," Cat in the Rain."

Meskipun begitu, bahkan jika hal itu muncul menjadi suatu olok-olokan nasibnya, bagiku karyanya yang paling mempesona dan manusiawi adalah karyanya yang paling tak sukses:"Across the River and Into the Trees". hal tersebut  sebagaimana ia nyatakan, diawali sebagai sebuah cerita pendek dan jadi tersesat ke dalam rimba mangrove sebuah novel. Sukar dimengerti begitu banyaknya retak-retak struktural dan begitu banyak kesalahan mekanik sastra dalam seorang teknisi yang bijaksana seperti demikian - dan dialog begitu seperti dibuat-buat, bahkan disusun, dalam karya salah seorang pandai emas paling cemerlang  sejarah sastra.

Ketika buku itu diterbitkan tahun 1950, para kritkus menjadi galak tapi salah cara (Dalam memahami). Hemingway merasa terluka, begitu sakit hati, dan ia membela diri dari Havana, mengirimkan sebuah telegram penuh gairah yang tampak tak sopan untuk seorang yang terkenal sebagai penulis terkenal.Tak hanya novel terbaiknya, itu juga merupakan yang paling pribadi, ditulis pada saat fajar di suatu musim gugur, dengan nostalgia pada tahun-tahun hidupnya yang tak dapat ditebus kembali dan suatu pertanda pedih tahun-tahun yang telah ia lewati. Tak ada satupun di dalam bukunya ia meninggalkan banyak hal dari dirinya sendiria, tidak juga ia menemukan - dengan segala keindahan dan kelembutan hati- suatu cara untuk memberi bentuk pada sentimen penting karya dan kehidupannya; kesia-siaan kemenangan. Kematian protagonisnya, seolah-olah begitu damai dan alami, merupakan penyamaran bunuh dirinya sendiri.
Ketika seseorang hidup begitu lama dengan karya seorang penulis, dan dengan intensitas dan rasa sayang, seseorang itu terjebak tanpa suatu cara memisahkan fiksi dari realitas. Aku telah menghabiskan banyak jam berhari-hari membaca di cafe itu, di Place St. Michel, yang ia anggap tempat baik untuk menulis karena tempatnya nyaman, hangat, bersih dan bersahabat, dan aku selalu berharap untuk menemukan sekali lagi gadis yang ia lihat masuk pada satu hari yang buas, dingin dan berangin, seorang gadis yang begitu cantik serta tampak segar, dengan rambut dipotong diagonal, wajahnya seperti sayap seekor elang. "Kau bagian dariku dan Paris adalah bagian dariku," ia menulis padanya, dengan kekuatan menulis dan tulisannya yang  kuat seperti yang ia miliki. Aku tak dapat melewati jalan Rue de l'Odeon No. 12 di Paris tanpa melihatnya berbincang dengan Sylvia Beach, di dalam sebuah toko buku yang sekarang tak lagi sama, membunuh waktu sampai jam enam malam, ketika James Joyce mungkin akan datang. Di padang rumput Kenya, melihatnya hanya sekali, ia menjadi pemilik kerbau dan singa-singanya, dan pemilik rahasia-rahasia berburu yang paling intim. Ia menjadi pemilik petarung banteng dan petinju bayaran, para seniman dan jago tembak yang hanya ada sesaat sementara mereka menjadi miliknya. Italia, Spanyol, Kuba--setengah dunia diisi dengan tempat-tempat yang ia ambil secara sederhana dengan hanya menyebut mereka. Di Cojimar, sebuah desa kecil di dekat Havana di mana nelayan kesepian "The Old Man and the Sea", tinggal ada sebuah tanda peringatan keberanian yang heroik, dengan patung  Hemingway berlapis emas. Di Finca de la Vigia, tempat ia mengungsi  Kuba, di mana ia tinggal hingga menjelang kematiannya, rumah itu tetap utuh di tengah-tengah pepohonan yang rindang, dengan koleksi beragam bukunya, piala-piala berburunya, podium tempatnya menulis, sepatu orang matinya yang sangat besar, pernah-pernik yang tak terhitung dari seluruh dunia miliknya sampai ia mati, dan yang hidup tanpanya, dengan jiwa yang ia berikan pada mereka dengan magis  atas benda-benda itu.

Beberapa tahun yang lalu, aku masuk ke dalam mobilnya Fidel Castro—Ia pembaca sastra yang kuat—dan di tempat duduknya aku melihat sebuah buku kecil dengan sampul kulit berwarna merah. "Ini guruku, Tuan Hemingway," Fidel Castro berkata padaku. Sungguh, Hemingway terus menjadi tempat di mana orang berharap menemukannya - 20 tahun selepas kematiannya - waktu yang singkat yang abadi sebagaimana pada pagi itu, barangkali bulan Mei, ketika ia berkata "Adios, amigo" dari seberang, kala melewati jalan Boulevard St. Michel.

*Diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Randolph Hogan, artikel ini saya terjemahkan dari ini

Selasa, 24 Februari 2015

Lima Jurus Jitu Menerbitkan Novel

Yang Harus Kamu Ketahui Tentang Menerbitkan Novel


 

Pertama, yang harus kamu ketahui adalah:
 

Kedua, ada langkah-langkahnya tentu saja. 





Ketiga, Kamu tentu ingin tahu proses menerbitkan novel.











Keempat, untuk bisa ke mokamedia, bagaimana caranya.



















Kelima, tentu ada banyak alasan kenapa naskahmu ditolak dan kamu akan terus bertanya-tanya, kenapa? Tidak ada jawaban pasti, tapi kira-kira kamu bisa menelaah kembali melalui gambar di bawah ini.
























Dan, jika semuanya sudah kamu lakukan, maka kamu akan berada di sini, bersama para penulis novel lain.






Dua Pencerita, Sepuluh Kisah dan segala Omong Kosong tentang Kenangan

Ada dua fakta penting yang harus kau ketahui sebelum terperosok lebih jauh ke dalam buku ini. Pertama, cerita-cerita di sini akan membuatmu sakit dan menyuruhmu pulang kampung sesegera mungkin—kalau dirimu adalah perantau yang telah lama tak sanggup pulang, entah karena biaya,nasib buruk yang membuatmu gagal pulang atau sudah tidak dianggap bagian dari kampungmu lagi, dan barangkali yang paling menjengkelkan: ada bagian dari masa lalu yang ingin kau kubur dalam-dalam. Kedua, silakan simak baik-baik fakta pertama dan persiapkan dirimu dengan kemungkinan besar bahwa segala sesuatu yang ada di sini hanyalah omong kosong belaka.

Sebelum segalanya tampak kacau dan membuat sakit kepala, saya akan mulai bercerita tentang dua penulis buku ini. Dua orang yang sudah lama saya kenal dan memiliki bakat alamiah yang diinginkan semua orang waras di dunia: bercerita dengan bagus. Saya sangat yakin, dua makhluk ini diciptakan ketika Tuhan sedang hobi mendongeng.
Orang pertama adalah Abdullah Alawi, kami biasa memanggilnya Abah atau ajengan atau Alawi. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sunda, ia orang yang paling tepat diajak bercakap. Saya mengenalnya sebagai lelaki dengan rambut gondrong sebahu, kulit kuning langsat,kemampuan bergitar yang pas-pasan, serta ketidakmampuan mendapatkan pasangan kala akhir pekan tiba. Tapi soal kemampuan bercerita, di antara kami, jelas Alawi juaranya.

Sayangnya, orang ini tidak pernah mengirimkan cerita-cerita yang ia buat ke media massa arus utama. Kalau toh mungkin pernah, itu hanya sekali-dua. Itupun setelah bujuk rayu kami, sejawatnya. Berkali-kali saya memintanya untuk mengumpulkan cerita dan mulai mengirimkannya,tapi berkali-kali pula ia menjawab pendek, “Aku menikmati cerita-cerita ini di komputer dan ini adalah kesenangan pribadi.”

Begitu gemasnya, saya pernah memiliki keinginan buruk, mencuri cerita yang ia bikin, lantas mengirimkannya. Tentu saja tetap dengan nama Abdullah Alawi sebagai penulis. Tapi rencana itu urung saya lakukan. Dan meski begitu, beberapa kali cerita pendeknya dimuat di sejumlah majalah, zine dan tabloid terbitan pelbagai LSM.

Cerita-cerita Alawi di sini umumnya tak jauh dari tema orang-orang biasa, kerinduan akan rumah dan kampung halaman. Dari sekitar 30-an cerita yang saya baca dengan ragam tema, dengan pelbagai pertimbangan, saya memilih lima cerpen: Gula Kawung, Jalan Aspal Bulan Lima, Listrik Mati Lagi, Jalu Mengasah Golok, serta Antara Ibu dan Ayah.

Listrik Mati Lagi adalah cerpen Alawi tentang sebuah desa yang kerap mati listrik. Kisah yang biasa, tapi ternyata di dalamnya ada sepasang orang yang tidak tahan hidup dalam keadaan menghimpit, keduanya memilih mengakhiri hidup anak-anak mereka. Listrik adalah metafora yang membuat pembaca terkecoh dan percaya bahwa, segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan ini, mungkin hanyalah bualan. Hal serupa juga terjadi pada cerita Jalan Aspal Bulan Lima, yang mengangkat janji dari perangkat desa akan pembangunan pada bulan kelima, janji tersebut terlanjur menjadi mitos yang turun temurun dan dianggap sebagai kebenaran.Sedangkan Gula Kawung mungkin lebih layak disebut sebagai cerita mistis tentang kepulangan seorang pada kampung halamannya dan menjadi pewaris generasi yang hilang; para penyadap pohon aren.

Cerpen Jalu Mengasah Golok adalah bentuk satir yang lain; tentang kebosanan pada hidup dan omong kosong orang-orang kampung dengan golok yang saban hari diasah Jalu. Lalu, cerita bertajuk Antara Ayah dan Ibu menyoroti bagaimana seorang anak mendapati kebingungan sikap kedua orang tuanya. Cerpen ini begitu asyik bermain dengan segala omong kosong dan ketidakjelasan, tapi dituturkan dengan gaya yang begitu jenaka.

Orang kedua yang ingin saya ceritakan adalah A. Zakky Zulhazmi; lelaki dengan tubuh agak gempal, pakaian yang selalu rapi dan rambut laiknya pemuda yang terlahir jaman revolusi. Ia seorang yang menggeluti studi media. Di sela-sela aktivitas akademiknya, ia juga melakukan banyak hal sebagai seorang cerpenis, pengamat kuliner, komentator, penasihat politik yang-yangan, penakluk hati perempuan, pencinta mie goreng Mas Ari garis depan. Baiklah, tiga yang terakhir agaknya berlebihan.

Zakky memang terlahir sebagai orang kreatif dan produktif. Tak heran, tulisannya tersebar di pelbagai media dan acapkali dibukukan.  Zakky adalah kebalikan dari Alawi yang selalu tampak kesepian dan menikmati kesendirian sebagai jalan hidup. Zakky hidup berkomunitas sejak masih sekolah di Solo. Komunitas Ketik, Karpet Merah, Senjakala dan Surah Sastra adalah tongkrongan tempatnya berproses.

Dari sana pula, lahir pelbagai cerita pendek yang ia kirimkan ke media massa, dan beberapa kali pula memenangkan lomba menulis. Saya cukup kebingungan ketika harus memilih lima cerita di buku ini, mengingat orang ini begitu produktif dengan cakupan tema yang cukup luas. Tercatat ada dua kumcer, tiga antologi dan tulisan lainnya.Total, ada sekitar 40-an naskah yang harus saya pilah, dansaya pun mengambil garis cerita; kampung, kepulangan dan kenangan masa kecil.

Cerpen pertama yang saya pilih bertajuk Masjid Abah, cerita yang mengingatkan satu keluarga akan kehilangan yang mereka alami; sebuah masjid yang menjadi penanda tumbuh,juga kenangan yang sebenarnya ingin terus mereka pelihara tapi terbentur realitas. Sama halnya dengan cerita Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya, berusaha menautkan peristiwa bencana alam Situ Gintung dengan sudut pandang percakapan orang-orang kampung dan kerinduan akan sebuah situ pada masa silam.

Cerpen bertajuk Tak Ada yang Minum Kopi Malam Ini sebenarnya juga berhasrat serupa. Sebagai orang yang tumbuh di Ponorogo dan Solo, Zakky seolah ingin meneguhkan angkringan sebagai penanda ruang bertemunya warga dan tentu percakapan yang hangat lainnya. Namun, tatkala politik dan persaingan bisnis kian meruyak dan mulai menggerus, semua jadi tampak konyol. Salah satu poin menarik dari Zakky adalah eksplorasi sudut pandang.

Di sisi lain, dalam cerita bertajuk Diam-Diam Aku Simpulkan, Alangkah Indahnya Rahasia, Zakky berkisah tentang kehidupan seorang Amik yang ditinggal orang tuanya. Cerita yang biasa, bukan? Tunggu dulu, silakan baca sampai usai dan temukan bahwa sudut pandang juga akan mengecohmu dan menjadi omong kosong. Senada dengan cerpen ini, Pohon Avokad juga menyiratkan hal serupa; kenangan adalah soal omong kosong yang terus dipelihara.

Lima kisah Zakky yang ia ceritakan di sini akan membuatmu kian bertanya: apakah kenangan itu hanyalah bualan, omong kosong yang tidak penting? Tapi kenapa membuatmu tampak lunglai, nyaris tanpa kekuatan apapun jika harus mengingatnya? Dan, jika kau percaya bahwa kesunyian adalah wajah lain dari omong kosong itu, maka cerita-cerita di sini merupakan kawan hangat, yang mengajakmu terus bercengkerama, hingga membuatmu mengumpat dan tertawa.

Zakky dan Alawi adalah dua penulis yang memiliki bakat bercerita yang baik. Mereka bercerita dengan asyik dan renyah. Membaca keduanya, kau akan merasa seperti kedatangan seorang kawan jauh yang tak henti-hentinya berkisah tentang hidupnya, masalahnya, kampungnya dan omong kosong lainnya. Kau tentu tidak akan melewatkan bertemu kawan lama yang begitu pandai bercerita, bukan? Tugasmu adalah menjadi pendengar yang baik, menyiapkan bercangkir-cangkir kopi dan menemaninya bercakap sampai pagi tiba. Cerita-cerita dalam buku ini coba mengisahkan orang-orang biasa dengan gaya tutur yang lancar mengalir.

Tentunya akan lebih manis lagi jika mereka senantiasa berinovasi dan terus meningkatkan kemampuan, misalnya, dengan memakan buah terong tiap hari dan keramas tiap malam. Baiklah itu omong kosong. Tapi, dengan umur yang masih begitu muda, sebaiknya mereka senantiasa memperbaiki gaya bercerita. Apalagi keduanya bergiat bersama di satu komunitas anak muda: Surah Sastra.

Surah, sebetulnya sudah lama mengupayakan penerbitan buku ini. Belakangan didorong lagi oleh salah seorang kolega, Savic Ali. Sejatinya ia adalah seorang ‘provokator’ yang terlatih dan piawai, sehingga buku ini bisa  terbit dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ke depan, Surah berkomitmen menerbitkan buku-buku bagus lainnya. Percayalah, buku bagus akan membuatmu senantiasa menjadi orang waras di tengah dunia  yang bising dan menyebalkan ini.

Kira-kira begitulah catatan singkat ini atas sepuluh cerpen Zakky dan Alawi. Tidak ada catatan ilmiah, juga hal-hal jelimet laiknya sebuah pengantar. Ini adalah kesaksian biasa seorang sahabat kepada sahabatnya yang masih biasa juga. Tentunya kau bisa membuat kesaksian yang serupa.

Tapi, apakah kau masih percaya omong kosong ini?

Jabat erat,

Dedik Priyanto


NB: tulisan ini terdapat dalam pengantar kumpulan cerpen dua kawan saya, Zakky Zulhazmi dan Abdullah Alawi, yang bertajuk 'Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita pendek lainnya' dan diterbitkan oleh penerbit Surah, Komunitas Surah Sastra.  Silakan ke majalah surah jika ingin memiliki buku asyik ini. 







Kamis, 23 Oktober 2014

Surat Cinta untuk Ajo Kawir yang Burungnya Enggan Berdiri

Belakangan ini kita melihat orang-orang menulis surat terbuka, baik yang dicintai maupun yang ia benci. Tapi, saya tidak ingin menyebar kebencian. Saya hanya ingin menulis surat untukmu, Ajo Kawir. Kau mungkin diciptakan dari tawa—yang mungkin kau anggap sebagai hinaan dan beban dalam rentang hidupmu. Percayalah, banyak yang hidup dengan rasa malu yang dahsyat dan membuat kebohongan-kebohongan untuk menutupinya. Tapi, bukankah kebohongan yang diciptakan terus-terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran? Atau yang lebih busuk lagi, kebohongan yang diceritakan dengan bagus akan tampak sebagai kebenaran pula?

Baiklah. Namaku Dedik Priyanto, orang biasa saja, sama sepertimu. Kau mungkin tidak mengenalku, dan seperti halnya orang-orang yang kukenal baik lainnya, misalnya Florentino Ariza—tahukah kau bahwa ia menunggu kekasihnya selama 53 tahun, 7 bulan dan 8 hari, sama sepertimu yang harus menunggu begitu lama untuk burungmu berdiri lagi, dan kembali melihat Iteung, kekasihmu itu.  Saya juga mengenal Pilon, seorang filsuf di tengah kejenakaaan Danny dan kawan-kawannya di lembah Monterrey, atau barangkali saudara tuamu, Margio, orang biasa aja yang enggan dianggap membunuh dan menyalahkan harimau di tubuhnya. Mereka kukenal dengan baik, sama sepertimu.

Mungkin kita bisa bersahabat dengan baik, Ajo Kawir, dan tentu sangat hangat. Orang-orang biasanya menyebut kata ‘lawan’ untuk seorang yang diajak bicara, tapi aku ingin menyebutmu seorang kawan. Kawan bicara. Dan laiknya seorang kawan, saya akan berbicara apa saja—walaupun nanti dianggap ngawur dan tidak penting. Kau tentu menyadari, biasanya hal-hal yang tidak penting tidak layak untuk dibicarakan, bukan? Tapi, melihat kisah hidupmu yang diambil orang-orang yang tidak penting, pinggiran dan nyaris dilupakan, kukira, surat ini juga patut kau baca. Kau bisa menggantungkannya di sisi busmu atau dilipat dan ditaruh dompet—tentu ini permintaan bodoh sebab di dompetmu sudah ada foto Iteung, yang kau simpan ke manapun kau pergi.

Ajo Kawir yang baik,

Saya mengenalmu terlebih dahulu melalui dunia yang dibangun dalam cerita panjang bertajuk ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’. Maaf, ternyata bukan kali itu pertama saya mengenalmu. Saya pernah membacanya di sebuah cerpen yang dibuat oleh Eka Kurniawan. Saya menunggu karya ini begitu lama. Tapi, saya penasaran, bagaimana membuka dari ketiganya. 

Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi lutut, tapi semua orang mengenalnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun, hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya. 

(Cantik itu Luka)

Senja ketika Margio membunuh Anwar Sadat, Kyai Jahro tengah masyuk dengan ikan-ikan di kolamnya, ditemani aroma asin yang terbang di antara batang kelapa, dan bunyi falseto laut, dan badai jinak merangkak di antara ganggang, dadap, dan semak lantana. Kolamnya menggenang di tengah perkebunan cokelat, yang meranggas kurang rawat, buah-buanya kering dan kurus tak lagi terbedakan dengan rawit, hanya berguna bagi pabrik tempe yang merampok daunnya setiap petang. Di tengah perkebunan, mengalir sungai kecil penuh dengan ikan gabus dan belut, dikelilingi rawa yang menampung tumpahan arus kala banjir. Orang-orang datang, selang berapa lama selepas perkebunan dinyatakan bangkrut tumbang, untuk memberi patok-patok dan menanam padi di rawa-rawa itu, mengusir eceng gondok dan rimba raya kangkung. Kyai Jahro datang bersama mereka, menanam padi untuk satu musim, terlalu banyak minta diurus dan menggerogoti waktu. Kyai Jahro yang bahkan tak mengenal apa makna bintang waluku mengganti padi dengan kacang yang lebih tangguh, tak minta banyak urus, namun dua karung kacang tanah di musim panen tak alang membuatnya bertanya-tanya, dengan cara apa ia mesti memamahnya. Demikianlah petak tersebut berakhir menjadi kolam, dilemparkan ke sana benih mujair dan nila, dan jadi kesenangannya untuk memberi pakan setiap senja, melihat mulut mereka cuap-cuap di permukaan air menggenang.

(Lelaki Harimau)

Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa perihal Ajo Kawir. Ia satu ari beberapa orang yang mengetahui kemaluan Ajo Kawir tak bisa berdiri. Ia pernah melihat kemaluan itu, seperti anak burung baru menetas, meringkuk kelaparan dan kedinginan. Kadang-kadang bisa memanjang, terutama di pagi hari ketika pemiliknya terbangun dari tidur, penuh dengan air kencing, tapi tetap tak bisa berdiri. Tak bisa mengeras. 

(Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)

Apa yang membedakan?

Cerita yang bagus biasanya membuka dengan memikat, dan kau telah memperkenalkan pembukaan kepada kami. Tapi, ada satu hal yang sangat mengganjalku; kenapa kau langsung menutup itu dengan tanda jeda, seolah ini kerangkeng. Apakah kau berusaha memisahkan dan menjadikan scene patah laiknya menonton sebuah film?

Quentine Tarantino membuat hal serupa di film Pulp Fiction, pasangan kekasih yang bercakap-cakap untuk merampok sebuah kedai kopi, percakapan tentang layak atau tidaknya merampok ditempat seperti itu—biasanya merampok di bar, atau bank. Ini teknik pembocoran cerita yang lazim sebenarnya. Marquez melakukan hal itu, Aureliano Buendina berhadapan dengan senapan-senapan di regu tembak. Tapi, kalau kita lihat. Kau memakai pembocoran di tengah cerita, seperti 100 tahun kesunyian. Cantik Itu Luka pembuka konvensional, menyentak dan tampak terpengaruh gaya klasik Kafka dalam metamorfosa di pembukanya, atau Lelaki Harimau yang memakai alur mundur; awal adalah akhir dari cerita. Sedangkan di Seperti Dendam, awal adalah pembocoran tengah cerita. Seperti tengah cerita

Tapi, lagi-lagi, Eka menabrak itu dengan menggunakan kerangkeng sebagai jeda baca. Membuatmu menjadi cerita yang berbeda.

Tentu saja, dengan pola seperti ini, plot akan terbangun dengan tidak biasa. Ada banyak subplot di dalam cerita ini. Misalnya, bagaimana kehidupan Iteung yang ternyata mendapat perlakukan senonoh dari guru sekolah, atau si Mono Ompong yang malu pada keluarga karena naksir seorang pelacur dan lain  sebagainya. Dan sekali lagi mengingatkan saya pada adegan Pulp Fiction, dimana tiap adegan berlangsung pendek dan dibagi-bagi pada adegan-adegan terpisah. Seolah memasuki ruang yang besar dan mempunyai pintu-pintu kecil yang saling bertautan. Orang akan bebas untuk duduk dan termangu di pintu saja, tapi tetap ia akan tertarik memasuki pintu-pintu selanjutnya.

Ajo Kawir yang baik,

Saya membayangkan penciptamu telah bercakap-cakap dengan Sigmund Freud. Seorang tua dari Wina. Ia dengan tongkat tuanya berjalan-jalan menuju rumah Eka, cakap tentang trauma masa kecil. Tiga tesis utama; Id, Ego Superego. Id adalah ruang masa kecil dan traumatik dari tokoh-tokohnya; Ajo Kawir, Iteung, Mono Ompong. Sedangkan Ego adalah Realitas yang terjadi dan senantiasa jadi ruang pertarungan psikologis mereka; Ajo Kawir yang enggak mau mengecewakan orang yang dicinta, Iteung yang mencari orang biasa saja yang ia cinta—tapi ia akhirnya kalah oleh keinginan dan hasrat seksual hingga bercinta dengan Budi Baik, sesuatu yang kelak membuat retak rumah tangganya. Lain halnya adalah Superego, ruang ideal, yang harusnya ia inginkan; Ajo Kawir ingin burungnya berdiri dan hidup laiknya pemuda lainnya, dan hidup bahagia dengan Iteung.

Di perjalanan hidupnya, Ajo kawir mempu mendamaikan antara Id, Ego dan Superego dala dirinya. Misalnya, ketika di akhir, saat ia lebih memilih diam dan tidak berkelahi lagi. Padahal, ia sudah didesak oleh Jelita untuk membantu Mono Ompong. Tapi, kalau ia melakukan hal serupa seperti jaman muda, ia tidak akan melakukan kesalahan serupa. Apalai, saat ia membunuh macan, ia terdorong oleh rasa marah akibat tahu istrinya selingkuh.  Begitulah, ruang tarik menarik menjadi demikian menarik di novel ini sepanjang cerita

Ajo Kawir yang baik

Salah satu hal menarik di novel ini adalah kekuatan bercerita. Dibanding dua novel penciptamu sebelumnya, di sini adalah ruang eksplorasi bahasa. Misalnya. … nyamuk berdengung. Nyamuk dan gerimis… (hal.23) Selain itu, ada narrator novel ini, saya menenemukan ketidakjelasan (hal.32, 144, 155) lalu, perubahan dan suara-suara lain (hal, 97,100, 144,155). Deskripsi cerita yang dibikin cukup menarik. Tapi, ada beberapa pertanyaan-pertanyaan, misalnya, kenapa deskrpsi hujan dan keheningan dikerangkeng (Hal 22) dan kurang menambah cerita.
Ajo Kawir yang baik

Kekuatan fiksi adalah membuat ruang adegan di otak pembaca. Misalnya, pada kasus Cantik Itu Luka, saya masih teringat adegan Kamerad Kliwon yang menanti datangnya revolusi melalui tanda telatnya koran yang biasanya ia baca atau bagaimana Danny dan Pilon di Tortilla Flat

Di kisah hidupmu,  saya juga menemukan hal serupa. Misal, bagaimana kegundahan hati Ajo Kawir selepas kejadian di rona merah. Pertama, adegan burung yang diolesi cabe rawit, dengan perlahan berubah menjadi panas dan membuatnya blingsatan. Kedua, ia menyengatkan burungya pada tawon biar tambah membesar. Ketiga diajak jajan dan ancaman untuk dikapak. Ruang-ruang ini yang menjadi kekuatan yang bisa kita temui sepanjang novel ini.

Ajo Kawir yang baik,

Saya menduga-duga, sebenarnya, kapan kau dilahirkan. Sebenarnya sangat mudah ditebak, sebab ia menggunakan tanda puncak orde baru, di mana kekerasan dan pembunuhan menjadi biasa saja. Ini tampak dari brutalnya kehidupan Ajo Kawir dan Si Tokek dan Iwan Angsa. Di sini, saya taruh lengkap semacam pledoi, untuk kita tahu, sebenarnya apa maksud dari Eka Kurniawan untuk membuat gaya bercerita tak lazim.

Dua Tradisi

Eka Kurniawan 10 May 2014 (1)

Saya selalu membayangkan ada dua tradisi besar dalam bercerita/menulis novel (saya rasa sebenarnya dalam kesusastraan secara umum). Pertama, tradisi menulis dengan wadah; kedua tradisi menulis yang bebas mengalir. Saya tak yakin apakah istilah itu tepat atau tidak, tapi mari kita membayangkannya. Tradisi pertama, berawal atau berkembang dipengaruhi oleh tradisi panggung. Tradisi kedua, tentu saja berawal atau berkembang melalui tradisi mendongeng. Penyebutan pertama dan kedua ini bisa kita bolak-balik. Saya tak mengasumsikan yang satu lebih utama dari yang lain. Kenapa tradisi dari panggung ini saya bayangkan sebagai tradisi menulis dengan wadah? 

Ya bayangkan saja panggung sebagai wadah. Ada ruang terbatas sebesar panggung. Ada durasi waktu sebuah cerita akan dipentaskan. Jangan lupa, penonton juga dikondisikan di situasi tertentu: duduk di tempat penonton, memandang panggung dari sudut pandang yang tetap. 

Artinya, ada ruang-waktu yang secara ketat membatasi sejauh mana cerita akan disajikan. Keadaan ini secara langsung tentu saja sangat berpengaruh terhadap cara dan teknik bercerita. Saya melihatnya, tradisi ini menciptakan satu aturan-aturan dramatik yang sangat ketat. Jika kamu pernah dengar dari editormu, buang bagian yang tidak mengganggu cerita jika ia menghilang, maka saya yakin, editormu merupakan bagian dari aliran ini. Aliran yang menjunjung tinggi efisiensi. 

Aliran ini memerhatikan dengan ketat kapan sebuah karakter harus muncul, kapan permasalahan ditampilkan, di bagian mana konflik memuncak. Tentu saja dalam menulis novel, kita tidak membayangkan panggung. Meskipun begitu, bukan berarti tradisi ini, tradisi bercerita dengan wadah, tak terasa di novel. Bahkan saya melihat, pengaruhnya sangat kuat sekali. Saya bisa menyebut, Hemingway berada di tradisi ini. Kebanyakan sekolah menulis, akan mengajarkan aliran ini. Kita tak memerlukan panggung untuk membuat batasan-batasan ruang dan waktu, karena kita menciptakannya sendiri. Tentu saja bapak dari aliran ini, saya akan membayangkannya: Shakespeare. Aliran kedua, yang bersumber dari mendongeng, tentu bersifat sebaliknya. Ia mengasumsikan bebas ruang dan waktu (meskipun ya sebenarnya tidak). Sebagaimana layaknya dongeng, ia bisa diceritakan di mana dan kapan saja. Nyaris tak ada batasan durasi (bisa bersambung bermalam-malam layaknya Syahrazad di Hikayat Serbu Satu Malam). Pendengar dongeng juga bisa mendengarkan dongeng dengan cara apa saja, sambil tiduran, duduk di belakang pendongeng, atau di mana pun. Tak ada ruang dan waktu yang mengungkung, karena itu aturan-aturan ketat tangga dramatik tidak dikembangkan di sini. Yang berkembang adalah justru teknik “hipnosis”, teknik mencengkeram minat pendengar dongeng dengan apa pun tergantung situasi (karena situasinya tidak bisa dikendalikan, sebagaimana keadaan di ruang pertunjukan). Kadang-kadang pendongeng mengambil teknik dramatik panggung, tapi lain kali ia mungkin menyanyi untuk membuat pendengarnya betah, lain kali ia melantur dulu ke cerita yang lain. Disgresi, permainan kata, bunyi, berkembang di aliran ini yang bebas-merdeka selama pendongeng yakin bisa mempertahankan pendengarnya. Di aliran ini kita bisa menemukan kisah yang semena-mena, novel yang tak ke mana-mana (bayangkan If On A Winter’s Night A Traveler Italo Calvino), alur yang maju-mundur bertumpuk-tumpuk (bayangkan novel-novel Faulkner). 

Ada kesan aliran ini seenak udel sendiri, tapi saya rasa kesusastraan tak akan berkembang banyak tanpa mereka. Saya bayangkan editor harus bekerja keras melihat novel-novel seperti ini (dan mereka kadang tetap memakai ukuran “wadah” untuk mengatasinya). Aliran ini juga berkembang pesat. Ada Marquez. Ada Salman Rushdie. Ada James Joyce. Bapak dari semua penulis ini, tentu saja saya akan menyebut: Cervantes penulis Don Quixote. Saya menaruh hormat pada kedua kecenderungan ini (eh, jangan dilupakan para penulis yang kadang berada di area abu-abu keduanya), dan jauh di dalam hati kecil saya, saya selalu berpikir kondisi ideal menjadi penulis adalah menjadi Shakespeare dan Cervantes di waktu yang bersamaan. Berpikir tentang wadah sekaligus merasa mengalir bebas, atau sebaliknya. Itulah kenapa kita sering berpikir tentang aturan-aturan dalam menulis (seolah kita membayangkan menulis untuk ruang-waktu tertentu seperti panggung), sekaligus punya hasrat besar untuk melanggarnya (membebaskan diri sebagaimana pendongeng).

Dari sini, kita akan melihat benang merah penceritaan yang dianut. Eka memilih jalur tradisi mendongeng, yang mengutamakan kekuatan memengaruhi orang untuk senantiasa menunggu cerita ini rampung, tanpa memedulikan bahwa cerita itu konvensional atau tidak, benar atau tidak, tapi kekuatan cerita itu yang memikat.

Ajo Kawir yang baik

Satu hal yang membuatku tertawa  adalah, sebagai orang yang terlahir di generasi santri, saya tertawa terbahak-bahak ketika tahu bahwa semua yang ada dicerita ini hanyalah perjalanan sufi seorang Ajo Kawir. Melalui burung—yang selalu ia tanya tentang apa yang bakal ia lakukan selepas keluarga dari penjara akibat membunuh macan.

Membaca ceritamu di novel ini ini, saya diajak untuk eksplorasi gaya bercerita, sekaligus tertawa mengingat jaman cerita keemasan cerita silat dan seks. Dan sekali lagi meneguhkan bahwa seberapapun absurd ide sebuah cerita, jika ia mampu diceritakan dengan baik, maka akan membuat orang percaya bahwa cerita itu benar-benar terjadi. Dan mengaburkan ruang antara fakta dan fiksi di dunia nyata. Selain itu, novel ini memiliki struktur yang sangat tebal selain cerita sufi, yakni tentang kekerasan dan operasi-operasi militer (hal.183) sesuatu yang berat, tapi dibuat jenaka.

Kira-kira begitu.  Dan selamat burungmu sudah bisa berdiri. Tapi, sayang, kau tidak bisa bercinta dengan iteung karena ia sudah kembali ke penjara.

Jabat erat
Dedik Priyanto


PS: Ditulis sebagai bahan diskusi para penggerutu, jumpa lagi book club, bersama A.S. Laksana, Eka Kurniawan, Linda Christanty, Yusi Avianto Pareanom, Zen Hae, Dea Anugrah dkk di resto jumpa lagi resto, 26 Agustus 2014.

Rabu, 15 Oktober 2014

Tortilla Flat

“Novel ini yang menginspirasi Ronggeng Paruh adalah Dataran Tortilla. Karya Steinbeck,” seloroh Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, ketika kami berdiskusi di Pojok Gus Dur beberapa bulan lalu.

Waktu itu kami diskusi di pojok Gus Dur, ruang kerja presiden keempat kita yang juga digunakan sebagai perpustakaan lantai bawah gedung pusat NU. Seketika itu pula saya terdiam, dan menolah ke arah Abah.

Sejenak mata kami bertaut, seolah ingin berteriak bersama,”Brengsek Steinbeck!”

Saya sendiri membaca berkali-kali, dan mata saya begitu tertohok dengan percakapan Pilon dan Pablo di hutan perihal  hujan dan air yang turun saat itu. Mereka berdebat soal bagaimana air hujan yang turun. Ada yang berkata bahwa  jika turun berupa permata. Maka, tentu mereka akan kaya, dan banyak uang untuk dibawa ke Torelli guna dibelikan anggur.

Namun, akhirnya mereka sepakat bahwa air hujan yang turun malam itu alangkah lebih indah jika berupa anggur. Tentu anggur Torelli.  Karena dengan itu,  mereka akan lebih bisa menikmati tiap jengkal, tiap waktu untuk menikmati anggur. Imajinasi ini, bagi saya, begitu gila.

Anggur Torelli begitu merasuki otak saya, dan kerap mengusik alam bawah sadar. Bahkan sampai sekarang saya masih terus mencari tempat ini di Ciputat. Jika saudara tahu, ajaklah saya. Bahkan saya yakin, jika pun Tuhan tahu, ia pasti sekarang sedang di Torelli.  


Selepas baca ini, saya begitu bernafsu untuk mencari karya Steinbeck yang lain, dan juga mencari novel asli. Hingga bertemu dengan Of Mice and Men, Cannery Row dan lain-lain.

Pernah suatu tempo menemukannya tergeletak di antara buku terjemahan  lainnya, tapi malang tak bisa ditolak, saat itu isi dompet saya hanya setengah dari harga yang tertera di buku tersebut. Dalam hati saya mengumpat, namun juga bahagia.

Gembira karena saya akan mendapatkan buku asli tersebut. Bukan fotocopy, begitu pikir saya. Dan menunjukkan pada mereka yang sering meremehkan para sivitas pemfotocopy. Sebulan selepas peristiwa itu, saya mengumpat kembali sembari mendengar dinginnya seorang kasir berkata lirih,”Sudah tidak ada, Mas. Stok habis kayaknya. “

Sontak, saya kecewa untuk kembali. Saya pun mencari di toko-toko buku langganan. Tapi hasilnya sama; nihil. Dan sampai sekarang saya hanya mempunyai versi fotocopy. Entah bagaimana tawasul saya nanti, seperti kebiasaan saya waktu dulu saat ngaji, yang harus melafalkan doa kepada mereka yang berjasa atas keberadaan buku ini di muka bumi.

Maka, ketika saya ditanya banyak orang tentang sebuah novel yang patut ditempatkan di tempat utama dalam perpustakaan. Jawaban saya bulat, Tortilla Flat karya John Steinbeck.

Jadi bagaimana, kamu sepakat, bukan?

Selasa, 14 Oktober 2014

Media, Sastra, dan Kita

“Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru yang sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya,”Foulcher; Pujangga Baru; Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, (1991)”

Apakah Anda tiap hari baca Koran cetak atau online? Saya kira jika pertanyaan itu diajukan oleh mereka yang terbiasa mengikuti alur informasi akan menjawab spontan, ”Pasti. Tiap waktu.”

Lalu saat ditanya, “Apakah Anda baca karya sastra, baik itu cerpen, esai atau puisi tiap hari?” Maka, saya berani bertaruh, jawaban serempaknya akan begini, ”Tidak. Saya hanya baca hari minggu.” Beruntung kalau tidak ditambah embel-embel kalimat “itupun kalau sempat.”

Realitas seperti itulah yang kerap saya temui, bahwa sastra diciutkan hanya minggu dan “kalau sempat”. Seolah sastra hanyalah sampingan dan sudah sepatutnya ditaruh di bagian paling tak terjamah manusia. Berdebu, kumuh, pinggiran dan hanya disentuh oleh mereka yang berperilaku aneh.

Saya kira Anda sepakat, jika saya berbisik lirih di telinga pacar saya, ”Ini karena media, Sayang. Media yang membuat kita tidak menikmati sastra sebagaimana para orang tua, dan nenek kita menikmati karya-karya besar dunia.” Dan dia sembari mengamit tangan saya berujar pelan, ”Jangankan dunia. Sastrawan Indonesia saja kita jarang bertemu. “

Media dan sastra adalah ibarat dua saudara kandung yang kerap tidak bertemu, atau jangan-jangan enggan bertemu karena yang terakhir tidak pernah mendapatkan uang saku yang berlebih untuk sekadar bertahan hidup. 

Sedang yang pertama, media, acapkali dianggap sebagai tonggak keempat demokrasi, yang tentu saja bisa hidup jika mampu diolah dengan manajerial yang hebat. Laiknya pohon yang dirawat sang pemilik dan ditaburi prinsip jurnalisme yang begitu ketat.

Kalau toh mereka bertemu dalam satu rumah. Maka saudara pertama mendapatkan kamar yang begitu luas. Dan ia akan mendapatkan mainan yang begitu banyak. Mainan itu bisa berupa politik, hukum, kriminal, maupun ekonomi.

Sedangkan saudara kedua ibarat anak tiri yang hanya bisa  memandang sayu saudaranya bermain-main dari balik jendela.

Bagi saya, media dan sastra adalah tonggak peradaban. Kenapa?

Saya kira, ukurannya begitu jelas jelas; literasi. Literasi inilah yang menjadi akar. Bahwa corak literer bisa dilihat sebagai pijak dimana peradaban dapat menjelaskan dirinya lewat teks. Teks yang terus bergerak dan ditafsirkan oleh mereka yang hidup sekarang, ataupun anak cicit kita. 

Maka laiknya kita naik motor. Sesekali kita harus melihat kedua spion agar kita tidak jatuh, terjungkal, dan tertabrak. Dan perjalanan imajinasi bernama Indonesia pun tidak terlepas dari corak dan sastra menandai dirinya dalam tangkup kebudayaan yang memaknakan diri dalam tradisi. Tradisi yang terus menerus membaurkan sekat etnisitas dan agama.

Saya tidak mau berpolemik oleh kategorisasi HB Jassin yang menisbahkan pada peristiwa politik sebagai penanda gerak kesusasteraan. Saya hanya ingin menandaskan bahwa sastra mempunyai pengaruh yang begitu luar biasa pada imajinasi tentang peradaban, dan Indonesia sebagai, meminjam kata Sanusi Pane, Faust dan Arjuna yang selalu berada dalam pencarian dan bertabrakan dengan dinamisme baratnya Sutan Takdir Alisjahbana (Ulumul Quran, edisi masa depan sastra, 1998).

Medio 20-an para pemikir cum-sastrawan ini telah mengimajinasikan mau ke mana bangsa bernama Indonesia akan bergerak. Mereka gandrung pada Barat di satu sisi, dan Timur pada di lain sisi. Mereka tidak hanya menggunakan media-media konvensional untuk menabur apa yang dirasakan di balik tempurung mereka, namun juga mengimajinasikan dalam karya sastra sebagai bentuk pertaruhan literer seorang intelektual.

Seorang sastrawan, meminjam kelakar Mahbub Djunaidi, merupakan seorang futurolog. Ya, mirip-mirip dukun tapi berpendidikan. Mereka mengetahui apa yang tidak dipikirkan orang. Bahkan mampu menerawang apa yang bagi mereka orang biasa tidak dipedulikan. Capung yang bertengger di pohon tetangga rumah pun mereka mampu melihatnya.

Tentu, seorang sastrawan lahir tidak hanya sendiri di ruang hampa nan sunyi. Atau tiba-tiba turun dari langit Krypton dan diberi nama Clarke dalam narasi Superman. Bukan!

Mereka hadir pada saat suasana sastra dan pemikiran berkembang dengan kondusif. Bahkan riuh dengan pelbagai hal yang mendukung tempurung mereka berpikir banyak hal; tentang nyiur yang melambai bagai seorang gadis, tentang matahari yang selalu mengabarkan kesadaran baru, atau tentang perlawanan pada penguasa yang sengaja lupa.

Sebagai contoh, adanya majalah Pujangga Baru terbit sebagai mandegnya Balai Pustaka dan ketakutan kolonial terhadap bacaan. Mereka melahirkan STA, Arjmin dan Sanusie Pane, Hamka dst. Tentu kita masih berharap majalah sastra Horison mampu menjadi anak muda. Tidak lagi menjadi generasi tua yang seakan gagap menghadapi kebaruan, globalisasi, dan seterusnya.

Saya merindukan generasi ini. Generasi majalah sastra Kisah HB Jassin medio 50-an, yang pada akhirnya berkembang menjadi polemik yang begitu terkenal dalam sejarah kita; Lekra dan Manikebu.  Atau generasi Horison 80-an yang melahirkan sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, NH Dini, dan masih banyak lagi. Ada yang menyebutnya generasi Koran, tapi tidak spesifik. 

Nah, saat ini saya kira kita menemukan jaman yang hampir serupa. Teknologi telah mengajak kita bergumul pada dunia. Di jejaring sosial twitter, misalnya, mata kita akan tertohok dengan ribuan puisi yang ditulis oleh pelbagai orang. Kadangkala hanya sebagai pemindah kegalauan, namun tak jarang pula yang bernas dan sublim. Belum lagi akses terhadap karya-karya sastra dunia yang begitu mudah.

Persoalannya adalah media-media kita tidak memberi ruang yang cukup untuk ‘suasana sastra’. Energi mereka terlalu terserap pada politik dengan segala manipulasinya. Kalau toh ada, mereka menempatkannya sebagai tempat peristirahat saja, dan itupun terus berkurang.

Maka yang diperlukan adalah keberanian untuk menciptakan suasana itu. keberanian untuk keluar dari kotak rumah yang membuat saudara ‘tiri’ itu mampu berdiri sendiri, hidup sendiri. Karena anak tiri inilah yang mampu mengisi kekosongan yang ada pada otak tempurung kita. Yang mengajarkan tentang hidup dan kebudayaan yang menjadi titik pijak peradaban. 

Saya kira sudah saatnya kita memberikan warna baru pada geliat yang sudah terlalu dan selalu terkooptasi dengan politik. Kita butuh media yang khusus berbicara tentang sastra. Yang tidak hanya bermain-main dengan esai, cerpen, puisi. Tapi sastra dengan tiga aspeknya yang paling penting; manusia, alam dan tuhan.

Ketiga elemen itu laiknya ruh yang pada akhirnya melahirkan pribadi yang yang mengerti akan hakikat dirinya, dan memahami sebagai kebudayaan sebagai penentu peradaban bangsanya.

Tentu kita tidak mau disindir oleh Subagio Sastrowordojo (1968) dalam bakat alam dan intelektualisme,” orang boleh tinggi tingkat kesardjanan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerdjaannja,  tetapi selama ia tidak punja minat ataupun peka kepada rangsang2 budaja, ia belum berhak dinamakan intelektuil.”


@DedikPriyanto

NB: esai di  NU Online kolom budaya