Halaman

Minggu, 13 Oktober 2013

Risalah Lima Babak Film Catatan Si Boy (Bag. II)

Jika dalam tulisan pertama catatan sederhana ini, saya  melihat adanya keterpukauan terhadap orde baru  sebagai sebuah negara dan pembangunan ala Soeharto sebagai ide, maka pertanyaannya, apakah film ini juga akan terjebak dengan keterpukauan yang serupa?

Ketiga

Sebagai sebuah ide, modernisme dan pembangunanisme ala Orde Baru begitu tampak, maka di film ketiga yang tetap diproduseri oleh Nasri Cheppy, ini juga tetap menunjukkan gejala serupa dengan barat sebagai basis kemajuan dan peradaban.

Adegan di film yang meluncur ke pasaran tahun 1989 ini pun dimulai oleh dialog antara Vera dan Boy perihal rencana ke Los Angeles, Amerika. "Sekolah disana lebih bagus," ujar Vera seraya merajuk kepada Boy.

Begitu halnya dengan kawan-kawannya yang lain; Kendi, Emon dan lain-lain juga bersifat serupa. Bahkan, Emon (diperankan Didi Petet) menunjukkan kekaguman yang uar biasa terhadap Amerika.

Ia bahkan merajuk dan enggan untuk kuliah di Indonesia lagi dan bakal menuju Los Angeles. Jika tidak—dengan gaya yang bagi saya mengejek—akan berjualan bensin, bikin warteg dan segala kerjaan kaki lima lain jika keinginannya tidak terkabulkan. "Biar papa tengsin," ujarnya.

Pada mulanya saya agak terkejut dengan dialog begini, tapi lambat laun saya mulai menyadari keadaan. Apalagi dengan mendudukkan film ini dalam konteks sebelum 90-an, serta keluarga Emon yang begitu kaya, tentu

Tapi hal ini semakin meneguhkan idiom umum bahwa, lemiskinan adalah aib bagi orang-orang kaya model mereka.

Baiklah, kita kembali sejenak untuk melihat film edisi ketiga ini. Selepas Boy pergi ke L.A untuk kuliah dengan dibiayai orang tua, ia pun dijemput dengan limosin keluarganya dan menyewa sebuah apartemen. Tak lama, ia pun  membeli mobil--sesuatu yang bagi mahasiswa kebanyakan yang merantau adalah kenihilan.

Di kota ini, ia bertemu dengan Sheila (Bella Esperance), perempuan blasteran Filipina dan Minang yang dikenalnya di sebuah klub malam. Dan seperti biasanya, cinta pun terjalin dengan tidak sengaja, walaupun Boy dan Vera harus berpacaran jarak jauh.

Singkat cerita, ShEila adalah pengguna obat-obatan terlarang dan Boy mendapat masalah dengan gangster disana. Konflik timbul kala Vera dan Emon berliburan kesana dan cemburu terhadap kedekatan Boy.

Nah, kepergian Vera dan Emon ke Amerika juga semakin menguatkan posisi orang-orang kaya di Indonesia yang sering pelesir ke luar negeri, khususnya Amerika. Bahkan dengan agak pongah, ia merajuk untuk segara diberikan doski (duit: bahasa slang jaman dulu). Sebagai orang kaya, itu mudah bagi orang tua Emon.

Barangkali satu hal yang cukup menarik bagi saya adalah  ketika Boy di rumah pamannya. Saya cukup terpantik dengan obrolan seorang bule pembantu paman si Boy. Ternyata ia memakai bahasa jawa halus. "Untuk mengingatkan kampung," ujarnya.Kontras dengan keadaan keluarga Vera yang--bahkan--pembantunya harus berbahasa Inggris. 

Bagi saya, film Catatan si Boy edisi ketiga ini cukup menggelitik untuk mengetahui posisi barat, khususnya Amerika dan lain-lain, keterkaitannya dengan orang-orang kaya Indonesia. 

Keempat

Apakah Indonesia bagian dari Bali?

Barangkali begitula guyon yang acapkali kita dengar perihal jawaban orang luar negeri terhadap posisi geografis kita. Tentunya, bagi orang-orang bule yang tidak tahu atau tidak membaca saja itu. Tapi, saya tidak ingin berbicara itu.

Film keempat ini berbicara tentang kepulangan Boy ke Indonesia--yang bagi saya tidak jelas maksud kepulangannya--serta bagaimana kesalnya Boy melihat kekasihnya, Vera, menjadi foto model seksi.

Bali adalah pilihan mereka untuk berpelesir menghilangkan suntuk dan dilema perasannya Boy.

Pembuka film ini dimulai dengan 'pamer' kekayaan dari Boy dengan menggunakan helikopter. Ya, sekali lagi, sebuah helikopter yang ia kendarai sendiri. Alangkah tajirnya Boy ini!

Nah, salah satu yang menarik di sini adalah bagaimana norma menjadi salah satu bagian penting dalam tubuh cerita. Walaupun sebenarnya sejak awal film Boy dicitrakan sebagai sosok pemuda kaya dan religius, serta enggan menggunakan obat-obatan terlarang dan seks bebas.

Keluarga Boy masih mengganggap diri mereka sebagai timur, sedangkan Vera sekeluarga tetap bersikukuh menunjukkan bahwa mereka telah memasuki gerbang barat yang modern dan rasional. Bahkan dalam sebuah percakapan, dengan bahasa Inggris pula, ibu Vera seakan menghardik keluarga Boy sebagai keluarga tradisional yang kolot dan enggan maju.

Di Bali, Boy bertemu dengan sosok cantik bernama Cindy (Paramitha Rusady) di sebuah butik. Akhirnya mereka berkenalan dan saling jatuh hati.

Tapi tunggu dulu, harus saya akui Paramitha Rusady begitu cantik—tolong katakan? siapa yang memasukkan kalimat model begini di paragraf ini.

Film Boy edisi empat yang rilis tahun 1990 ini, dan masih di produseri Nasry Cheppy, seakan ingin mengesplorasi kekayaan Bali dengan pelbagai keindahan alamnya. Tentu nya dengan menunjukkan kota ini sebagai ikon wisata Indonesia di mata dunia.

Saya belum bisa melacak keberhasilan film ini dalam memengaruhi wisata Bali pada tahun-tahun segitu, satu hal yang barangkali patut dicatat agaknya adalah mengembalikan posisi Boy ke Indonesia dengan dialek bahasa Indonesia yang cukup bagus. Bahkan saya sendiri agak jarang menemukan sapaan gaul atau prokem di edisi ini.

Satu hal yang masih menghantui saya adalah, bagaimana kabar study Boy? Apakah ia tidak melanjutkan sekolah di L.A, ataukah sudah lulus? Tidak ada keterangan pasti dari film  ini.

Saya menduga, film ini dibuat dengan agak terburu-buru tanpa mengedepankan korelasi sebagai sebuah film berseri. Bahkan saya tidak bertemu di percakapan atau yang lain di film ini. Buruk!

Satu hal yang tampaknya patut dicatat, film ini diakhiri dengan 'cara' film, bukan sinetron. Adegannya kira-kira begini:

Boy sedang berada adi di Bandara dan Boy hendak kembali ke Jakarta. Kemudian bertemu Vera dan terjadilah adu pandang. Vera hanya melongo dan bersandar di mobil, Cindy yang menyapu leher dan Boy yang tetap terdiam. Seolah mereka mengamini sajak Gonawan Mohamad, bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.

Saya kira, edisi kali ini menggelitik, khususnya melihat di edisi terdahulu berusaha mengeksplorasi wujud timur dan moralitas yang menjadi kekhasan negeri semacam Indonesia. Begitulah.

(Bersambung)

Gambar di ambil dari sini, sini dan sini

Baca juga: 

Risalah Lima Babak FIlm Catatan Si Boy (Bag. I)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar