Halaman

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kepenyairan Ebiet G. Ade

Oleh: Sutardji Calzoum Bachri

Bagaimana kualitas kepenyairan Ebie G. Ade?

Kepenyairan seseorang ditentukan oleh sajak-sajaknya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Bukan yang dilagukan atau dimusikalisasikan, sebab bsia saja sebuah sajak hanya lumayan, tapi karena musikalisasinya yang cemerlang menyebabkan apresiator puisi yang awam terkecoh dan beranggapan puisinya sama hebat dengan musikalisasinya.

Sama halnya juga, penyair yang sajak-sajaknya hanya kaliber lumayan tetapi punya kemampuan membaca saja yang luar biasa, berkat vokal atau kemampuan teatrikal bantuan musik, bisa menyebabkan penonton yang awam menganggap puisi itu sangat baik. Sebagai contoh pembacaan sajak Emha Ainun Najib tempo hari di Taman Ismail Marzuki. Berkat pertolongan musik gamelan, sementara para penonton yang awam mengaggap sajak-sajak Emha bermutu sekali. Padahal tidak sama sekali.

Jadi, yang paling tepat untuk menilai sajak ialah dengna memandang sajak itu dengan sejumlah kata, baris dan baitnya sebagai sesuatu yang mandiri, yang tidak ditopang oleh sesuatu di luar sajak itu seperti musikalisasinya, pernyataan-pernyataan atau statemen penyair tersebut.

Dari album Camelia I sampai dengan Camelia IV, Ebiet menyuguhukan tema-tema religius seperti sajak "Dia Lelaki Ilham dari Sorga","Hidup I","Hidup II",Hidup III", dan "Hidup IV", juga tentang cinta seperti sajak "Seberkas Cinta yang Sirna","Untukmu kekasih","Senandung Jatuh Cinta", dan tentu saja sajak-sajak Camelia I sampai dengan Camelia IV.

Tentang simpatinya pada derita manusia dan orang-orang kecil tampak pada sajak "Berita Pada Kawan","Dosa Siapa Ini Dosa Siapa","Nasihat Pengemis untuk Istrinya"," dan "Doa untuk Hari Esok Mereka". Kemudian tentang kerinduan Ebiet pada kehidupan desa serta tentang dirinya yang tengah terombang-ambing antara kehidupan desa dan kota, bisa kita lihat pada sajak "Pesta","Jakarta II","dan Cita-cita Kecil Si Anak Desa".

Oh rentangkan tanganMu
bersama datang malam
agar dapat kurebahkan kepala
pada bulan di lenganMu

    (sajak "Hidup II")

Usaha untuk berindah-indah dengan bahasa, berhias-hias dengan ucapan tak jarang terasa menjurus kepada semacam romantisme ala Pujangga Baru--suatu hal yagn hampir tak pernah ditemukan pada sajak-sajak para penyair Indonesia terbaik masa kini.

Memang tidak semua sajak Ebiet sarat dengan elusan romantis, bahkan sebagian yang lain tidak demikian. Bahasanya lebih spontan dan wajar, puisinya lebih sederhana dan segar. Namun menulis kata-kata dalam puisi secara spontan atau dengan gaya 'langsung begitu saja' bukan tidak mengandung risiko apabila tanpa seleksi kreatif.

Pada penyair yang berbakat dan berpengalaman seleksi kreatif ini beroperasi secara tidak sadar. Sang penyair tersebut bisa merasa dirinya menyair begitu saja, spontan, padahal sebenarnya menkanisme selektif memang sifatnya kreatif yang bekerja di bawah sadar untuk memilihkan kata-kata apa yang tepat keluar pada penanya.

Dari sajak-sajaknya yang terbaikj saya melihat Ebiet sebenarnya mempunyai bakat menjadi penyair. Tapi pengalaman kepenyairan, teknikalitas menyairnya masih kurang. Jika pengalaman ini sudah ada padanya, tentu sajaknya cukup wajar dan tidak kedodoran dengan gindu kata-kata seperti pada "Berita pada Kawan" akan menjadi lebih baik. "Berita pada Kawan" dan sajak "Sajak Pendek I.R" adalah beberapa dari sajak Ebiet yang terbaik.

Dalam sajak-sajaknya yang terbaik dan itu, kelemahan Ebiet terletak dalam kekurangmampuannya menguasai teknik persajakan, memilih kata-kata, komposisi, dan juga bait. Kelemahan teknik inilah yang menyebabkan kenapa sajak-sajaknya yang terbaik dan jumlahnya tidak banyak itu menjadi kurang berhasil dibandingkan puisi puisi para penyair Indonesia yang berkualitas sperti terdapat dalam majalah sastra Horison, misalnya.

Sedangkan pada sajak-sajak Ebiet yang jelek--jumlahnya sangat banyak--kelemahan disebabkan oleh visi dan persepsi terhadap hidup belum lagi personal. Ebiet belum menemukan sesuatu yang unik, dan punya ciri khas.

Sajak-sajak Ebit masih klise-klise. Kita lihat saja misalnya pada sajak "Dua Menit ini Misteri'.

dalam keranda hitam
tubuhmu membujur
ada misteri yang tak pernah terungkap
alis matanya terjal menyimpan rahasia
adalah waktu akan mampu mengurai
kematian ini memisahkan kita
selamat jalan


Persepsi penyair terhadap kematian seperti sajak di atas terlalu umum dan klise. Penyair yagn benar-benar berbobot akan menukik dalam menghayati misteri, tidak hanya sekadar menyebut misteri kata-kata umum yang klise, bahwa kematian memisahkan kita.

Setiap penyair yang sudah jadi dan matang pasti punya cara sendiri dan ucapan yang khas untuk memperkuat dan menukikkan dalam-dalam akan hakikat misteri kehidupan.

Dalam "Nyanyian Ombak", "Camelia II", "Cinta di Kerea Biru Malam","Senandung Jatuh Cinta," "Camelia III" Camelia IV" Sepucuk Surat Cinta","Camelia III" kita dihadirkan pada sang aku penyair sebagai remaja yang bercinta dengan ketulusan, kepolosan, kesetiaan, serta keremajaannya "Cinta sesaat" yang bergelimang dosa (baca: Cinta di Kereta Biru Malam) cinta yagn telah menjadi obsesi (Camelia  II dan "Mimpi Parang Tritis"), usaha merenungkan hakikat cintanya (Sepucuk Surat Cinta).

Ungkapan-ungkapan yang segar dan menarik juga terdapat pada: Sisi Ladangku/Tak lagi subur/untuk tumbuhkan cinta kasihmu. Yang terdapat pada sajak "Nyanyian Ombak", atau selimut biru yang kau ulurkan padaku/kini basah bersimbah peluh kita berdua, dan beberapa lainnya lagi yang menunjukkan kepada saya bahwa Ebiet punya potensi untuk menjadi seorang penyair yang baik. Walaupun sajak-sajak Ebiet belum sekuat puisi-puisi atau lirik-lirik terbaik John Lennon atau yang dinyanyikan Bob Bylan dan John Denver, namun sajak "Hidup III"-nya Ebiet boleh kita ketengahkan

sekarang
aku tengah tengadah ke langit
berjalan di atas bintang-bintang
bersembunyi
dari bayang-bayangku sendiri
yang sengaja kutinggal di atas bukit
Barangkali tanganMu tak akan lagi
mengejarku
untuk merenggut segenap hidupku
aku yang sembunyi di bawah kulitku sendiri
kapan lagi
aku mampu berdiri
lihatlah kedua belah tanganku
yang kini tampak mulai gemetaran
sebab,
ada yang tak seimbang
anara hasrat dan beban
atau karena jiwaku yang kini mulai rapuh
gampang diguncangkan angin
lihatlah bilik di balik jantungku
denyutnya tak rapi lagi
seperti akan segera berhenti
kemudian
sepi dan mati


Majalah Intan, 4-17 Januari 1989

Post Scriptum: esai Sutardji Calzoum Bachri ini saya tulis ulang melalui buku Isyarat: Kumpulan Esai Sutardji Colzoum Bachri (IndonesiaTera, 2007) di halaman 400-405.

2 komentar:

  1. Sayangnya, sajak-sajak Ebiet G. Ade yang dimusikalisasikan olehnya sendiri terkesan terlalu serius. Mungkin karena tata musiknya yang terkesan kolot. Kalau saya, lebih suka 'sajak hidup' yang digambarkan Iwan Fals, lebih jujur, dengan musik yang lebih mudah dicerna. Kalau Ebiet G. Ade, rasanya jadi lebih kelam.

    #IMHO :)

    BalasHapus
  2. Sajak hidup juga bagus. Iwan memang penyair, seperti Bob Dylan, bahkan barangkali lebih bagus dari itu.

    BalasHapus