Halaman

Sabtu, 21 September 2013

Menunggumu, yang Berharga Hanya Rindu

Kalau ada seseorang yang berharap agar sebuah jembatan menjadi jebol dilanda banjir dari hujan deras berjam-jam--dan itu merupakan harapan yang keji dan kejam--maka akulah seseorang yang sedang berharap-harap itu.

Jembatan yang kumaksudkan merupakan satu-satunya jalan penghubung antara dusunku dengan dusun yang lain yang mengarah ke kota. Jika jembatan itu benar-benar bobol sebagaimana biasanya, pada esok harinya aku tidak perlu ke sekolah mengajar beberapa muridku, sebab kami--beberapa guru dna murid--akan memperbaiki jembatan itu sehingga dalam jam yang sudah kuperhitungkan aku akan diketahui oleh Sukesi betul-betul sedang membangun kembali satu-satunya jalan yang teramat penting bagi mekanisme kehidupan dusunku. Sedikit atraktif dan akrobatik, yang kini sedang perjalanan pulang kampung setelah beberapa bulan di ibukota.

Sukesi sebetulnya warga dusun kamiu juga. Selepas SLTA dia melanjutikan kuliah di kota yang lebih besar, sementara aku--kakak kelasnya--yang selesai lebih dulu dan kuliah di IKIP program satu tahun langsung ditempatkan sebagai pengajar di sebuah SD di dusunku sendiri.

Sebenarnya ada keinginan dalam diriku untyuk mengikuti Suksesi. Mengikuti. Ada apakah di kota? Harapan macam apakah yang terbeber di sana? Banyak pertimbangan yang menjuruskan pada kesimpulan bahwa aku tidak mungkin meninggalkan dusun, yang jauh dari kota, bahkan jauh dari sub-urban pun.

Jaran dusun terpencil dari ibukota, yang kami tempuh selama tujuh hari lewat surat menyurat, kurasakan sebagai jarak yang teramat jauh. Namun, surat-surat Sukersi adalah cahaya matahari bagi dusunku yang sering diguyur hujan jika musimnya, dan kalimat-kalimat Sukesi adalah curahan gerimis yang amat menyejukkan bagi dusunku yang berdebu jika kemarau.

Banyak hal diceritakan Sukesi tentang ibukota.

Dia ceritakan tentang pantai, dia ceritakan pula ketika dia bersama kawan-kawan mahasiswanya pergi kemping mendirikan tenda di sebuah bukit. Semuanya, semuyanya memberikan ketenteraman batinku, sehingga rasa kangenku pada Sukesi pun semakin menjadi-jadi setiap membayangkan perpisahan selama beberapa bulan yang sepertinya tidak juga berkurang-kurang jumlahnya.

Ibukota kadangkala memberikan gambaran yang memasygulkan. Bukan tidak mungkin Sukesi akan terlena dan tergaet kawan-kawan sekampusnya, yang bukan saja tampang, tetapi juga kaya rakaya, atau berbagai kelebihan lain yang sama sekali tak kumiliki.

Oleh karenanya dengan berat hati perah kutulis surat kepadanya menyarankan agar Sukesi memilihs aja kawan kampusnya--atau siapapun di ibukota--untuk menjadi pendampingnya dan segear melupakan aku di tempat terpencil ini.

Sukesi tak menanggapinya dalam surat balasan berikutnya, kecuali mengirimi dua buah buku untukku yang dititipkan lewat Kandar, kawan sekampung yang bekerja di ibukota.

Tentu saja ucapan terimakasih segera kuguratkan dalam suratku berikutnya yang juga kutitipkan pada Kandar yang akan kembali ke ibukota. Dalam surat itu kukatakan kembali pada Sukesi agar tidak ragu-ragu meluipakan aku kalau ada orang yang mendekati dirinya.

Ada kenikmatan sendiri ketika aku menuliskan macam itu. Kenikmatan dalam kesedihan atau kenikmatan dalam kerinduan. Dan itu baru kurumuskan baru-baru ini, yakni ketika surat terakhir Sukesi mengabarkan akan pulang kampung liburan semester selama dua minggu.

"Aku datang tanggal 16," tulisnya.

Sekarang inilah tanggal 16. Gerimis masih rincik sejak hujan sore kemarin. Keinginanku terkabul juga, ternyata. Tuhan maha memahami. Apa pun yang diinginkan si hamba diturutiNya pula.

Ah, apa salahnya. Sukesi akan melihat kekasihnya, melihat aku, betul-betul megnabi untuk dusunnya, sehingga dia semakin yakin tidak salah memilihku sebagai pasangan hidupnya? Apalah salahnya--mengingat jembatan itu memang sering bobol setiap kali dilewati banjir karena hujan...

Jembatan benar-benar ambrol, dan itu tak semata dialami jembatan yang kumaksudkan.

Tanggul di tikungan sungai dekat gedung tempatku mengajar juga bobol, sehingga air tak mampu membelok lagi. Sebagian besar menerjang sekotak sawah dan menggenangi gedung sekolah. Akibatnya, setelah diadakan rapat pembagian tugas antar guru, akau sebagian mengurus dan membenahi gedung sekolahku bersama beberapa murid.

Aku tidak bisa menolak dan tak mungkin mengajukan pilihan memperbaiki jembatan penghubung itu, sehingga aku pun tidak sempat tahu mobil omprengan yng ditumpangi Sukesi dari ibukota berhenti dekat jembatan.

Yang lebih penting: Sukesi melihatku bersama murid-murid harapan bangsa menanggulangi satu kekuatan yang menimpa dusun kami. Sukesi tidak menyaksikan pahlawannya benar-benar pahlawan.

Aku melupakan Sukesi sampai menjelang siang ketika aku meninggalkan bangunan sekolah, setlah aku berpamitan pada Pak Karman, kepala sekolah. Mungkin terlalu payah bekerja tanpa henti, aku pun tertidur hingga hari sudah malam. Perut yang gemericik membangunkan aku untuk kemuidan ke dapur untuk mengambil makan , untuk kemudian kembali terkapar esoknya.

Esoknya, Sukesi datang ke tempatku.

"Kenapa nggak menjemputku? Kan aku sudah bilang, tanggal 16 pulang kampung. Sekarang tanggal berapa? Sudah kemarin aku sampai. Sudah tahu jembatan ambruk. eee... malah tak menungguku disana. Coba yang menyeberangkan aku kemarin siapa? Bukan kamu. Padahal, aku ingat kau tuntun menyeberangi sungai yang bajir sambil menenteng jawab? Kau biarkan orang-orang itu menderita gara-gara banjir? Ha!"

Sukesi alanggah anggun berbicara. Demikian lancarnya dia mengucapkan kalimat yang sedemikan panjang.

"Aku menjaga bangunan sekolah, Kesi. Beberapa buku nyaris tenggelam."

"Lalu? Setelah itu? Kenapa tidak menjenggukku? Kenapa nggak ke rumahku? Kan rumahku terlewati jalannya? Atau kamu mau..."

Sandiwara macam apakah in? aku pernah menyaksikan televisi di rumah Pak Karman. Waktu itu sedang berlangsung sandiwara. Aku jadi ingat salah satu tokoh perempuan yang menggebrak-gebrak marah sambil melotot. Aku jadi membayangkan Sukesi yang marah sekarang ini dengan tokoh dalam sandiwara di televisi rumah Pak Karman.

Dalam sebuah sandiwara televisi selalu ada akhirnya, setelah ada peleraian atau penjelasan dari pihak tengah. Sandiwaraku dengan ini tanpa akhir yang menarik. Seperti seperti dimatikan mendadak. Belum ada pihak lain yang mencoba menengahi pertikaian kami--kalau memang itu benar-benar pertikaian.

Aku belum sempat mendengar Sukesi, sebab dia dengan segera meninggalanku. Ahha! Kalau dia tak mau bicara denganku kenapa dia mesti ke tempatku? atau dia mendapat kepuasan dengan kemarahan tanpa reaksi? adakah ini tipikal perempuan? yang penting: marah! Siapaun yang dimarahi..

Aku sendiri--anehnya--tidak pernah mencoba untuk menetralkan kemarahnnhya. Barangkali aku sduah mulai menyadari bahwa Sukesi sekarang memang berbeda dibandingkan dengan Sukesi sebelum pergi ke ibukota. Tapi aku mencintainya.

Kalau bukan cinta namanya, kenapa aku mesti senantiasa kangen padanya ketika kami berpisah? Tapi, kalau aku sungguh-sungguh mencintanya, kenapa pula aku tidak mencoba bersambang ke tempatnya?

Dulu, ketika dia masih di ibukota, rasa kangenku menuntut pikiran dan harapan bahwa kalau dia nanti sudah kembali pulang ke kampugng, aku akan selalu bersamanya setiap hari, bahkan kalau mungkin setiap jengkal waktu dia akan selalu di sampingku.

Justru hanya kerinduan-kerinduan sajakah yang memang kuharapkan, sementara pertemuan itu sendiri sebenarnya masih kalah nilai di bawah rasa rindu? Setiap kali membuhul rasa kangen, selalu pula obsesinya menginginkan pertemuan, kendapati pertemuan itu sendiri sebenarnya tidak begitu penting, sebab hanya memang kangen yang kubutuhkan.

Dua minggu lewat begitu saja.

Aku disibukkan urusan di sekolah. Aku mengajar dari pagi hingga sore karena murid masuk bergiliran. Beberapa ruangan tidak bisa kupakai lagi akibat banjir yang lalu, sehingga untuk menampung murid-murid, jalan keluyarnya diambil pembagian jam belajar.

Waktu sudah sampai dua minggu itu mengejutkanku. Aku segera bertandang ke tempat Sukesi. DI asedang berkemas menyiapkan keberangkatannya menuju ibukota.

"Maafkan aku, Kesi. Maafkan aku tak pernah kesini," hanya itu yang mampu kuucapkan. Aku sudah siap diporak-porandakannya.

"Maafkan aku juga. Tak seharusnya aku marah-marah padamu," ujarnya pula.

Kupikir, itu hanya prolog murahannya yang lebih besar. Ternyata tidak. Kami sama-sama terpaku. Aku mengulurkan tangan. Spontan. Demikian juga Sukesi. Kami saling berjabatan. Kami merasa seperti baru bertemu.

"Aku tidak ingin kehilangan kamu," kataku."Masihkah kita berkomunikasi setelah kamu kembali ke ibukota? ucapku setengah was-was.

"Tulislah surat, kalau kangen," ujarnya.

Sukesi sudah berangkat kembali ke ibukota.

Rasa kangen itu kembali menyergapku. Ketidakinginan berpisah itu kembali mendesak-desakku. Entahlah, kapan lagi dia bakal kembali ke kampung kami. Mungkin dia akan dicintai orang lain di ibokota, sehingga aku akan tetap sendiri di sini. Mungkin aku tidak begitu mencintainya, namun aku akan senantiasa rindu padanya, dan itu sudah cukup bagiku. Bahkan sangat berharga.

"Kampungan!" gerutuku. Kudengar bunyi kaleng terlempar. Aku tak tahuy apakah aku yang melempar dan menendangnya.

Kukira, bus yang ditumpangi Sukesi basah kuyup diguyur hujan sepanjang jalan, sepanjang malam.

Ditulis oleh Veven SP. Wardhana

Post scriptorium: cerpen ini saya tulis ulang dari kumpulan cerpen (alm) Veven SP. Wardhana bertajuk 'Darimana datangnya mata' (GM, 2004). Cerpen ini pernah dimuat di mingguan Minggu Pagi, 28 Februari 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar