Halaman

Kamis, 26 September 2013

TIM: PENGUKUHAN PEMERINTAH DAN KEBEBASAN SENIMAN

oleh: Ali Sadikin
Sebagai Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, tentu saja saya ingin jadi gubernur yang baik. Dalam karir saya, dengan takdir Allah, dimana-dimana saya bisa berhasil. Dasarnya sangat sederhana: bagaimana saya bisa melayani masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta. Yang menjadi beban ibukota negara.

Hal ini berbeda dengan Surabaya atau Bandung, misalnya. Sebagai ibukota--dan itu berarti pusat pemerintahan, tentu saja Jakarta harus bisa menampilkan wujud kecil Republik Indonesia.

Ketika saya baru diangkat menjadi gubernur DKI Jakarta, jumlah penduduk Jakarta mencapai 3,6 juta jiwa. Padahal pada zaman Belanda, Jakarta disiapkan untuk enam ratus jiwa.

Jadi, saya mendapat beban tiga juta jiwa. Akibatnya, antara lain, setiap Agustus anak-anak sekolah ribut, pasar-pasar penuh sesak, membludak. Sebagai angkatan laut, sebelumnya saya tidak pernah memikirkan hal itu.

Saya berpikir, Jakarta harus menjadi kebanggaan negara. Apalagi, pemerintah sedang berusaha menarik modal asing. Persoalannya, bagaimana modal asing bisa masuk kalau para pemilik modal itu melihat istana yang tidak bersih, kota penuh sampah, gedung-gedung tidak teratur, misalnya. Jadi, saya harus bisa menjual kota ini, dalam arti memberi kehidupan pada warga masyarakat.

Kebetulan juga, ketiga bertugas di Angkatan Laut, saya pernah mendapat tugas ke luar negeri; Paris, Berlin, London, Wina, Tokyo, Washington, New York. Kalau saya datang ke kota-kota ini, tentu saja saya dibawa pejabat atau Duta Besar dan stafnya berkeliling kota. Biasanya, yang mereka perlihatkan pertama-tama adalah istana negara. Di samping itu, saya juga dibawa ke Gedung Parlemen, Mahkahah Agung, stadion dan teater.

Saya merenung, kenapa saya dibawa ke tempat-tempat itu. Tampaknya, apa yang mereka perlihatkan adalah simbol-simbol. Parlemen merupakan simbol demokrasi. Mahkamah Agung merupakan simbol keadilan, hukum. Dan teater adalah simbol seni budaya.

Sementara itu, saya telah menggariskan juga untuk menjadikan Jakarta sebagai kota dagang dan industri. Pada zaman Belanda, yang disebut kota dagang dan industri adalalah Surabaya, bukan Jakarta. Tetapi, orang bisa memprotes kebijakan ini; Jakarta akan rusak kalau dijadikan kota dagang dan industri!

Memang, kota dagang dan industri akan rusak kalau tidak diatur dengan baik. Tetapi, kebijakan itu harus saya jalankan terutama untuk menampung penduduk yang 3,6 juta jiwa itu. Tetapi kebijakan itu harus saya jalankan terutama untuk menampung penduduk yang 3,6 juta jiwa itu. Sebab saya merasa tidak akan bisa menampung mereka tanpa menjalankan kebijakan tadi.

Ketika saya pergi ke Belanda, saya menjadi tahu bahwa yang membangun kota-kota di sana adalah pera pengusaha. Tapi akhirnya saya berpikir lagi, kalau kegiatan kita hanya sampai di sini., tanpa ada kegiatan seni budaya, dimana sesungguhnya kita berada?

Sampai pada suatu pagi, datanglah Ilen Surianegara yang saya kenal ketika masih di Sekolah Rakyat, Bandung. Isterinya, Tating, juga kenalan baik iseri saya. Ilen datang bersama dua orang seniman, Ajip Rosidi dan Ramadhan K.H. Rupanya, Illen tertarik dengan masalah seni budaya.

Pertemuan kami bertiga itu menjadi titik awal pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang kemudian bernama Taman Ismail Marzuki (TIM). Pada tanggal 7 Juni 1968--kalau saya tak keliru--Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) saya lantik. Dan pada tanggal 10 Nopember 1968 Taman Ismail Marzuki saya resmikan.

Bayangkanlah sekarang: pada zaman Bung Karno, seni budaya dipakai sebagai alat politik, karena politik adalah panglima. Tentu saja, dengan pemebntukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Taman Ismail Marzuki (TIM) ini, kecurigaan orang-orang begitu besar. Memang, seniman-seniman yang datang menemui saya itu adalah seniman-seniman yang (ingin) bebas dari politik, tapi mereka memberikan kepercayaan kepada saya.

Oleh karena itu, kepada mereka saya mengatakan, bahwa saya tidak tahu seni budaya. Yang saya tahu adalah bahwa seniman itu sulit diatur.

Karena saya tidak tahu soal seni budaya, maka pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) saya serahkan pada seniman. Saya memberik mereka kebebasan untuk menyusun program-program yang akan dilaksanakan. Aparat DKI saya larang campur tangan dalam kebijaksanaan budaya Dewan Kesenian Jakarta.

Post Scriptorium: Tulisan di atas saya tulis ulang dari tulisan Ali Sadikin di majalah  Horison/11/XXIVIII/66.  Saya merasa, saya menemukan Ali Sadikin di tubuh Jokowi
selepas menghadiri orasi Jokowi di Harlah Wahid Institute ke-9 di Matraman, Kamis (26/09).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar