Halaman

Rabu, 18 September 2013

Saya dan Kekalahan Orang-Orang Berseragam Kuning

~semacam gerundelan seorang suporter

Dua tahun yang lalu di Gelora Bung Karno-dan saya tidak akan pernah melupakannya--saya melihat begitu banyak raut sedih berkeliaran, muka yang tertekuk, pelbagai umpatan dengan ragam bahasa yang entah, serta sendu yang melingkupi langit Jakarta.

Ya, kala itu, saya harus menyaksikan seragam berbaju merah-putih itu kembali ditetesi air mata dari para pemain; Gunawan Dwi Cahyo, Eggy, Patrich dll. Lalu, ada gerombolan anak muda berbaju kuning mendapatkan medali emas dengan bersorak seakan ingin menunjukkan bahwa kita ini bangsa yang kerdil.

Padalah luka itu belum benar-benar kering.

Setahun sebelumnya, di tempat serupa, saya gagal mendapatkan tiket masuk ke final AFF 2010.  Saya dan ribuan suporter lainnya menonton di depan stadion dengan layar besar. Tapi lagi-lagi, saya harus mendapati luka yang serupa; orang-orang berseragam kuning mengangkat piala di muka kita.

Tidak berhenti di situ, orang-orang berseragam kuning kembali membuat saya sakit hati dan mengumpat entah berapa ribu kali.

Peristiwa itu terjadi beberapa hari yang lalu, ketika saya dengan kepala berambut gondrong ini harus menyaksikan adik-adik kecil U-16 tahun dipermalukan di final AFF di adu penalti, hampir serupa dengan kejadian seniornya dua tahun lalu.

Padahal tim ini membuat begitu banyak orang, termasuk saya, begitu optimistis selepas mereka menundukkan tim kuat Australia di semifinal dengan dramatis; ketinggalan dua kali, seri dan menghempaskan mereka di adu penalti. Cadas!

Tapi seperti kisah yang tak sampai, perjalanan anak muda ini berhenti di puncak. Apa lacur, mental yang begitu buruk--dan entah faktor apa yang lain--saya harus kembali melihat air mata mereka tumpah membasahi seragam merah-putih.

Dan lagi-lagi yang membuat mereka menangis adalah orang-orang berseragam kuning. Itulah Malaysia!

Tapi cerita itu sedikit terobati.

Beberapa menit yang lalu saya menyaksikan anak-anak muda U-19 dengan talenta emas bernama Evan Dimas membuat Malaysia harus mundur dan gagal melaju ke final. Mereka kalah poin, kalah permainan dan kalah segalanya dengan kita.

Bagi sebagian orang, ini memang biasa. Tapi bagi saya, ini semacam obat bagi sakit yang berkepanjangan. Walapun obat ini hanya sementara dan tidak bisa mengobati seluruh luka, minimal telah memberikan sedikit angin segar.

Ya, kita memang bosan dengan harapan-harapan akan timnas. Kita pun sudah capek mendengar prestasi dari tim muda kita dan kemudian hari melempen kala memasuki era dewasa. Mungkin di negeri ini, kisah fairy tale tidak pernah ada.

Malam ini--dan perjalanan yang masih panjang itu--saya hanya bisa berterima kasih, barangkali kemenangan menendang pulang orang-orang berseragam kuning ke negerinya Malaysia menjadi sedikit obat yang mengurangi perih pada AFF 2010, Sea Games 2011 dan kekalahan lain kala melawan satu negara; Malaysia.

Perjalanan belum selesai, dan luka ini sedikit terobati. Walaupun begitu, minimal, kita telah mengusir orang-orang berseragam kuning itu dari rumah kita. Dan barangkali kita tidak akan mendengar tawa mereka lagi kala mengangkat piala seperti tahun-tahun sebelumnya.

Satu hal yang pasti, dan sekali lagi, mereka telah sedikit mengobati sakit hati saya terhadap orang-orang berseragam kuning itu.

Hmm... saya kangen mendengarkan Indonesia Raya berkumandang di GBK lagi.  Ayo garuda...

@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar