Halaman

Selasa, 12 November 2013

#5BukuDalamHidupku: Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta

Apa  buku yang kau lakukan jika kau adalah seorang mahasiswa, dengan tekad  bertahan hidup di perantauan  dan  menemukan sebuah buku yang mirip-mirip dengan hidupmu? Apalagi jika kau adalah seorang yang aktif di pergerakan, forum studi dan dikutuk untuk selalu berurusan dengan teks, selebaran dan media di kampusmu, apa yang akan kau lakukan?

Tentunya jika bertemu buku tersebut, banyak orang yang mengepalkan tangan sembari berujar: Eureka!

Dan barangkali pula, akan berteriak sekencang-kencangnya, berlari sejauh-jauhnya dan tertawa sehabis-habisnya. Tapi berbeda halnya dengan saya, ketika menemukan buku bertajuk ‘Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta’ ini, badan saya tiba-tiba lemas, dan gelisah merupa kentut yang tak tertahankan untuk segera dilepaskan.

Saya bertanya, apakah hidup saya ini, dengan pilihan-pilihan dan keadaan model begini, merupakan pilihan yang sesuai: menjadi seorang dengan kebanggaan yang maha biasa,  menyebut dirinya adalah penulis, apalagi tokoh yang saya baca di buku ini hidup begitu menderita, dan berakhir dengan sedih tak ada ujung; ditipu penerbitan, tidak bisa makan, terusir dari kampus dengan status DO, dan akhirnya meninggal dunia sebelum jadi apa-apa.

Sebegitukah bengis kehidupan, di sebuah kota yang konon begitu menghargai pengetahuan dan kata-kata: Yogyakarta.  

Buku ini berhasil memengaruhi hidup saya sampai detik ini—dan entah sampai kapan akan terus membuat teror di otak saya tentang kehidupan ringkih di jalur kepenulisan, kalau tidak mau dibilang membius saya melalui narasi yang dibangun. Di buku ini pula, saya lupa untuk melihat sebuah novel dari segi estetik yang mendukung sebuah karya sastra bisa disebut bagus, atau minimal dari ulasan, percakapan maupun resensi yang menuntut saya untuk bersegera mencari dan malahapnya.

Proses saya menemukannya pun harus dengan curi baca. Berawal dari kawan saya yang—entah meminjam darimana—membawa buku ini dan dibacanya di teras depan kontrakan, dan saya hanya bisa sesekali mencuri lihat. Lalu  cara yang misterius pula,  kawan saya ini tiba-tiba ke kamar dan meletakkan sembarangan buku itu samping televisi.

Sontak saja, saya langsung membacanya dan agak mmenjauh dari kontrakan.

Tatkala kawan saya bangun dan mencari buku ini, saya enggan untuk memberi tahu, bahkan pernah terbersit di otak saya untuk sengaja mencurinya. Belakangan ia tahu, saya hanya berdalih, buku itu saya baca dan lupa. Tapi entah kenapa, sampai sekarang, saya ingin mencuri buku itu. Walaupun saya tahu, kalau pun saya merajuk dan meminta pasti dikasih, tapi sekali lagi, saya ingin mencurinya. Itu saja.  Tidak salah, bukan?

Selain soal isi dan cerita yang mirip-mirip obat bius itu kala saya baca, saya jatuh cinta dengan perwajahan muka novel ini. Jika kover buku itu boleh diambil sebagai istri saya, maka seketika itu pula saya akan mengajak orang tua saya untuk mendatangi rumah kover itu dan melamarnya.

Bayangkan, kovernya saja begitu buluk, tapi menyentak; seorang lelaki yang tampak sedang mengayuh sepeda onthel dan dibelakangnya terdapat buku-buku. Sublim, pikirku. 

Novel ini berkisah perihal kehidupan sunyi yang harus dialami ketika orang memutuskan untuk menjadi seorang penulis dan meninggalkan dunia kuliah. Orang yang begitu mencintai dunia menulis dan buku hingga ia menukarkan hidup dan nyawanya hanya untuk membaca.

Tak hanya itu, buku ini juga mengulik dunia penerbitan Jogja yang riuh oleh penerbitan. Lengkap dengan pelbagai tipu daya dan unsur humor tentang dunia yang konon mencerdaskan manusia ini. Buku ini ditulis dengan apik oleh Muhidin M. Dahlan, yang belakangan selain penulis produktif, juga membuat gerakan arsip dan suara digital dengan @radiobuku.

Satu hal lagi, buku ini merekam jejak Jogja sebagai kota buku, gerakan dan juga cinta. Juga memotret perdebatan masa  2000-an perihal debat buku terjemahan yang memantik sengit antara kubu penulis/penerjemah asal Jogja dan Jakarta yang acapkali sok pintar itu.

Namun, sayang sekali, beberapa bulan lalu saya menemukan buku ini diterbitkan ulang dengan perwajahan yang begitu mengecewakan dan diberi tajuk yang sangat buruk dan layak segera dimasukkan dalam daftar buku, yang jangan dibaca sebab judulnya unyu: Jalan Sunyi Seorang Penulis.

Ah, saya sungguh tidak simpati.

Jika Gus Muh, begitu ia disapa, membaca catatan sederhana ini, tolong kembalikan cinta saya kepada sosok pria ringkih berambut gondrong yang berada dalam ‘Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta' ini, Tolong!

@Dedik Priyanto

PS: Hari pertama, untuk #5BukuDalamHidupku yang diinisiasi @irwanbajang dkk di twitter, mudik ke blog pribadi. Entah kenapa, otak saya langsung teringat buku ini. Gambar diambil di sini

4 komentar:

  1. Dan buku ini memang cocok buat pecinta masa lalu sepertimu... :p

    Btw, maaf belum sempat ketemu. Lain waktu mungkin. :)

    BalasHapus
  2. Hahaha. Adakah yang lebih gila dari, seorang pecinta buku yang menuliskannya dalam teks Blackberry? Kau memang gila! Hahaha

    Iya nih. Kapan bisa.

    BalasHapus
  3. hahaha, wih... proyek ini jadi reunian blogger ya, sekaligus kita menggugat beberapa penulis. hahaha

    BalasHapus
  4. Iya nih. Blog ini baru lahir, sebab blog lawas sudah pensiun. Ayoklah, bikin aja, biar nanti Gus Muh takluk dan berkata: "iya, saya menyerah, akan saya kembalikan ke kover mula."

    Dan ini bisa menimpa penulis atau penerbit yang lain. Hahaha

    BalasHapus